Chereads / Hakim Tengah Malam (Midnight Judge) / Chapter 7 - Kerja kelompok pertama bagi Rafael

Chapter 7 - Kerja kelompok pertama bagi Rafael

Rafael datang ke tempat part timenya kembali, yang biasa ia lakukan setiap pulang sekolah. Ia merasa ada sesuatu yang kurang, saat melihat-lihat sekeliling tempat itu.

"Kak Josuha! Ke mana Kak James? Apa hari ini, dia tidak masuk kerja ya?" tanya Rafael kepada Kak Joshua yang baru saja melayani pelanggan, di meja kasirnya.

"Oh, kalau dia sudah pulang duluan. Dia hanya bekerja setengah hari saja, untuk hari ini. Ada urusan penting katanya."

"Oh iya Kak. Besok, Aku juga minta libur atau cuti ya. Ada kerja kelompok, yang ngga tahu kapan selesainya."

"Tumben sekali, Kau kerja kelompok? Bahkan baru kali ini Aku dengar, Kau meminta cuti untuk kerja kelompok?"

"Iya. Aku tidak pernah kerja kelompok sebelumnya, soalnya Aku lebih memilih mengerjakannya sendiri tanpa kelompok, ataupun membuat kelompok."

"Oh begitu, artinya ini pertama kalinya Kau bekerja kelompok ya?"

"Benar. Apa besok Aku diizinkan cuti?"

"Ya tentu saja boleh. Kau kan belum pernah minta cuti, sejak awal Kau part time di sini."

"Terimakasih."

Usai menyelesaikan tugas part timenya, dan saat ia hendak pulang. Tiba-tiba ada telepon dari Ibunya, yang membahas tentang pembayaran sebelumnya.

"Rafa!" suara Ibunya yang keluar dari Speaker Ponsel.

"Ya Bu?" jawabnya.

"Dari mana Kau dapat uang sebanyak itu? Yang Kau gunakan untuk membayar semua biaya pengobatan Ibu, termasuk dengan obatnya?"

"Itu dari teman yang ku tolong Bu."

"Teman? Siapa? Kau tak pernah cerita?"

"Aku mau cerita, tapi di saat itu Ibu sedang tertidur pulas. Jadi kan kuceritakan sekarang saja. Dia adalah teman baruku, Aku pertama kali melihatnya, saat sedang dibully oleh tiga orang anak nakal. Dan Aku menolongnya karena merasa tak tega. Setelah itu, tiba-tiba dia bersedia membayarkan biaya rumah sakit, saat Aku curhat tentang masalahku. Aku sudah berkali-kali menolaknya, tapi ia tetap saja memaksa dan akhirnya ya, Aku terima saja."

"Tapi temanmu itu dapat duit dari mana? Kenapa dia mampu membayarkan, semua biaya rumah sakit ibu?"

"Dia telah mendapat izin dari ayahnya, karena ayahnya seorang pengusaha katering sukses. Dan sangat menyetujui sekali, uangnya dipakai untuk membantu teman anaknya. Bahkan ditambahin pula untuk biaya tunggakan sekolahku."

"Jadi begitu ya. Tolong ucapkan terimakasih Ibu, pada teman baikmu itu ya."

"Baiklah," jawab Rafael sebelum menutup teleponnya. Seketika, Rafael teringat oleh sesuatu yang melintas di dalam kepalanya.

"Gawat! Aku lupa mencuci seragamku dan semua pakaianku."

Dengan cepat, Rafael berlari melalui jalan pintas yang sudah lama tak dilaluinya. Jalan tersebut sangatlah sepi, namun ia tak tahu ada palang perbaikan jalan di belokan kelima. Membuatnya tak sempat berhenti dan memilih mendorong kakinya ke bawah, untuk meloncat karena sudah tak sempat. Namun yang terjadi adalah, ia melompat dengan sangat tinggi bahkan ia sendiri pun terheran, kenapa lompatan yang dikira akan biasa saja, dapat melesat setinggi itu nan jauh.

"Apa? Aku bisa lompat setinggi ini dan sejauh ini?" terkejut Rafael sebelum mendarat di atap gedung perkotaan. Terlihat ada seseorang yang melihatnya, saat sedang menjemur pakaian di malam hari.

Rafael dengan sigap langsung menutupi wajahnya, dan mengeluarkan jaketnya dari dalam tas. "Maaf-maaf. Anda salah lihat!" ucap Rafael sambil mengenakan jaketnya dan membelakangi orang itu.

Hembusan angin kencang yang tiba-tiba muncul, membuat kain besar yang baru dijemur orang tersebut. Terbang ke arah Rafael tepat di hadapannya, saat selesai mengenakan jaket. Dengan cepat Rafael mengambil kain itu dan mengulung-gulungnya kemudian, melemparkannya ke wajah orang tersebut. Tepat mengenai wajahnya, sebelum Rafael melompat kembali.

Saat berhasil membuka kain yang sulit sekali dibuka, karena ukurannya yang terlalu besar, membuat orang itu mengucek-ngucek matanya. "Apakah tadi Aku berhalusinasi?" ucapnya, saat Rafael telah menghilang dari pandangannya.

"Ternyata memang benar, Aku bisa melompat setinggi ini!" ucap Rafael yang melompat dengan lihai dari atap ke atap, seperti tupai dari pohon ke pohon.

"Whohohoo! Amazing!" teriaknya.

Tibalah ia di rumahnya sendiri, lebih tepatnya di apartemen sederhananya. Ia melepaskan kupluk jaketnya dan masih terheran dengan apa yang baru saja terjadi.

"Kenapa Aku bisa melompat setinggi itu? Sepertinya, ada hubungannya dengan mimpi kemarin."

***

Rafael sudah bersiap-siap untuk pergi kerja kelompok, untuk pertama kalinya. Tapi, ada sesuatu hal yang membuat ia merasa janggal. "Oh, Aku lupa bertanya harus membawa apa?" Tak sengaja ia melihat nomor telepon yang tercantum di atas secarik kertas tersebut, yang berada di atas meja makan.

"Sudahlah, Kutelepon saja," ucap Rafael saat memegang kertas tersebut.

"Hallo!" suara gadis yang keluar dari speaker ponsel.

"Ini Aku, Rafael Fernando. Aku harus bawa apa?"

"Sudah, Kau bawa dirimu saja. Ada lagi?"

"Tidak ada." Mereka menutup teleponnya dengan sangat dingin. Usai ia menaruh ponselnya ke dalam saku, munculah ide yang terlintas di kepala Rafael.

Rafael melihat ke arah pintu balkon, yang tak jauh dari tempatnya berdiri, dan pergi ke balkon yang ada dibalik kamarnya. Rafael menghela nafas saat melihat pemandangan dari atas balkon itu, terlebih lagi atap-atap yang tak jauh dari pandangannya. Kemudian, entah apa yang ada dipikirannya, Rafael melompat dari balkon lantai delapan kamarnya, ke atap bangunan yang lebih tinggi dari balkonnya. Dan alhasil, ia mendarat di atap gedung yang ditujunya itu. "Sebenarnya ada apa ini? Apa Aku punya kekuatan parkour super? Ya sudahlah, sepertinya Aku tak perlu naik transportasi umum, untuk kali ini."

Rafael kembali lagi ke apartemen, mengambil tasnya yang tertinggal di kamar. "Hampir saja lupa," ucapnya sebelum kembali melompat dengan senang hati, layaknya tupai yang lihai dalam hal melompat. Tidak lupa juga ia telah mengenakan jaket hitamnya.

Keadaan Rumah, yang akan dipakai kerja kelompok, sebelum kedatangan Rafael. Terlihat sudah berkumpul empat orang gadis, yang tengah menyiapkan alat-alat dan bahannya.

"Tunggu! Sepertinya ada sesuatu yang terlupa?" tanya Maya yang merasa janggal.

"Tenang, itu hanya Rafael yang belum datang," ucap Ivana saat ia tiba di hadapan mereka, usai berteleponan dengan Rafael tadi.

"Ihh... bukan itu maksudku. Kalau itu Aku sih tahu. Tapi bahan-bahan untuk bikin kerajinannya, kayaknya ada yang kurang."

"Apa? Sepertinya tidak ada yang kurang deh. Aku sudah teliti saat mengeceknya tadi."

"Iya, Aku juga merasa begitu," ucap Dewi.

"Oh...! Kita lupa membeli origami berwana merah jambu," sahut Clara yang terkejut menyadarinya.

"Benar, pantas saja kita sampai tak menyadarinya. Warna yang kita beli sangatlah banyak. Apa kita harus membelinya juga, untuk melengkapi pembuatan miniatur tamannya?" terang Dewi.

"Ya haruslah. Warna untuk tamannya kan harus sesuai dengan tema-nya, penuh dengan warna bunga. Bagaimana bisa cantik, kalau tidak lengkap salah satunya?"

"Baiklah, Aku akan keluar dan membelinya," ucap Dewi yang berinisiatif membelinya.

Saat Dewi hendak keluar dari pintu pagar rumah itu, ia mendengar suara dari arah belakangnya. Saat menolehkan wajahnya, dilihatnya seseorang, yang tiba-tiba berada di depan pintu rumah itu, lalu membuatnya pingsan.

Mendengar suara orang terjatuh, membuat Rafael terkejut, sebelum menoleh dan menghampirinya.

"Hei-hei! Kenapa malah pingsan? Apa Kau tadi melihatku mendarat? Padahal Aku sudah sangat yakin, Kau tidak melihatku mendarat."

Mau tak mau, dia menggendongnya ke dalam rumah, yang entah siapa pemiliknya di antara mereka. Sontak, reaksi mereka saat melihat Rafael membuka pintu secara tiba-tiba, menjadi terkejut dan terheran.

"Dewi kenapa? Kenapa Dia bisa pingsan dan bisa ada dalam tanganmu? Bagaimana caranya, Kau membuka pintu sambil menggendong orang?" panik Clara yang melihatnya.