Setelah jam pulang sekolah, berlari lah Rafael saat sampai di depan rumah sakit, untuk membayarkan semua biaya pengobatan ibunya termasuk obat-obatnya.
Ia berkaca-kaca saat hendak membuka pintu kamar rumah sakit ibunya, dengan memegang di tangan kirinya kwitansi pembayaran, yang bertuliskan "Lunas!"
"Ibu, Ak-" ucapannya terhenti ketika melihat ibunya tengah tertidur pulas, saat ia membuka pintunya. Rafael menaruh buah-buahan yang biasa dibawanya, ke atas meja pasien.
"Lebih baik, Aku kupas semua apel ini, sambil menunggu Ibu terbangun." Rafael mengeluarkan pisau khusus mengupas buah, dari dalam tas miliknya dan mengupas apel-apel itu. Usai mengupas sekian banyaknya apel, ibunya masih terlihat tertidur pulas. Sampai-sampai, Rafael juga tak kuasa menahan kantuk, sehingga ia tertidur juga di kursinya.
Dalam mimpinya, ia melihat pria bersayap dan bercahaya terang, berdiri di hadapannya. Pria itu juga mengenakan mantel serba putih bercahaya, dengan menggenggam pedang yang juga bercahaya putih, di tangannya.
"Si-siapa Kau? Apa Kau malaikat?" kaget Rafael yang tercengang, melihat pria bercahaya dan bersayap besar tersebut, di hadapannya.
"Bisa dibilang begitu. Kau tidak perlu takut, sebab Aku bermaksud baik padamu. Kau telah terpilih sebagai pahlawan suci yang akan memegang tanggung jawab besar."
"Ap-Apa? Tanggung jawab besar? Maksudnya apa? Tolong jelaskan secara rinci."
"Kau juga tahu kan? Dunia yang sekarang ini penuh dengan kesombongan, yang merajalela di mana-mana. Tapi, dari kesombongan mereka yang tidak sedikit itu, menyebabkan munculnya para Mamon yang akan memperbudak manusia, sedikit demi sedikit."
"Ma-mamon? Apa itu?"
"Monster yang timbul dari kesombongan manusia, dan yang akan menghasut manusia lain agar menjadi budaknya. Mereka juga memiliki kekuatan yang dapat mengancam nyawa manusia, saat mereka ketahuan."
"Ketahuan? Ketahuan dari apa?"
"Mereka akan berubah wujud persis seperti manusia pada waktu yang cerah, dan berada dengan santainya di tengah-tengah manusia. Lalu menghasut para manusia untuk menghasut manusia lain, sehingga dapat menyebarluas dengan cepat perbudakan uang di negeri ini. Namun, mereka hanya dapat berubah pada waktu yang cerah saja, sehingga mereka tak dapat menyamar pada malam hari, dan kembali lagi pada wujud aslinya. Yaitu monster dengan bentuk aneh dan besar-besar."
"Jadi, mereka bersembunyi pada malam hari, karena hal itu?"
"Tepat. Mereka akan mencari tempat persembunyiannya dan akan langsung menyerang manusia, yang tak sengaja melihatnya. Sudah banyak korban yang bermunculan karena, diserang oleh Mamon-mamon tersebut. Mereka melakukan itu, demi meloloskan diri dari pandangan manusia, agar dapat beraksi kembali pada esok harinya. Dan tak ada satupun manusia yang mempercayai korban, dari yang selamat, karena mereka sudah tenggelam dalam hasutan Mamon-Mamon itu."
"Apa ada suatu cara, untuk membedakan mereka saat menyamar menjadi manusia? Agar dapat terhindar dari hasutan mereka dan ancamannya?"
"Tidak ada. Justru akan menimbulkan kepanikan besar dan membahayakan banyak nyawa. Karena, mereka selalu berada ditengah-tengah keramaian banyak orang. Maka telah dipilih, Pahlawan Suci untuk menghakimi para Mamon itu pada malam hari."
"Siapa?"
"Kau. Kau yang telah terpilih untuk menjadi Pahlawan Suci, yang akan menghakimi para Mamon tersebut."
"Kenapa Aku? Aku hanya seorang pelajar biasa, yang duduk di kelas sebelas IPA 20. Pilih saja yang gagah perkasa dan yang sanggup bela diri."
"Tidak. Tidak ada lagi, karena ini bukan soal gagah perkasa ataupun beladiri. Tapi hati yang tidak terpikat oleh keinginan dunia, yang sesuai sekali dengan pedang ini. Pedang ini akan memberikan kekuatan kepada penggunanya, dan hanya bisa digunakan olehmu saja."
"Kenapa? Kenapa hanya bisa digunakan olehku saja?"
"Karena pedang ini terhubung dengan hatimu, yang selalu mematahkan kepalsuan dunia, oleh kebenaran firman Tuhan yang Kau dapatkan. Sama seperti pedang ini, yang akan membelah para Mamon-mamon menjijikan itu."
"Aku akan mendapat kekuatan dari pedang ini. Lalu, bagaimana dengan jumlah Mamon itu? Apakah Aku sanggup untuk mengalahkan semuanya?"
"Mamon yang muncul hanyalah sepuluh, sebab setiap satu Mamon, berasal dari satu juta orang sombong di negeri ini. Dan Mamon yang paling terkuat adalah Mamon yang terakhir. Karena Mamon itu akan menyerap semua kekuatan dari Mamon-mamon yang kalah."
"Ada dua hal yang akan terjadi, untuk meyakinkan Kau sebagai yang terpilih, yaitu Kau akan melawan Mamon pertama, saat Kau bersama dengan teman-temanmu, kemudian akan muncul kitab guide yang akan menampilkan setiap skill dari pedang ini. Tapi, ada satu hal yang harus Kau hadapi, setelah mengalahkan semua Mamon itu. Kau akan melawan Raksasa yang mengerikan, dan dua temanmu akan menjadi pendukungmu, untuk mengalahkannya. Sekarang, terimalah pedang ini dan lakukanlah tugasmu sebagai, Hakim Tengah Malam."
Pedang yang bersinarkan cahaya tersebut, melayang-layang dari genggaman Pria Bercahaya tersebut, dan mendekati Rafael secara vertikal. Saat Rafael menjulurkan tangannya untuk mengenggam pedang itu, cahaya dari pedangnya semakin menyilaukan matanya, sehingga ia terbangun dari mimpinya.
Terlihat Suster yang membuka jendela kamar Ibunya Rafa, sehingga menyilaukan mata Rafael sampai terbangun. Melihat Ibunya yang masih tertidur pulas, membuat Rafael bertanya kepada Suster tersebut.
"Suster, Ibu Saya kenapa tidurnya lama banget ya?"
"Oh, itu efek dari pengobatan sebelumnya dek. Dia sudah tertidur dari satu jam yang lalu dan, kira-kira butuh tidur selama lima jam lebih. Lebih baik, biarkan ibunya beristirahat dulu, karena sangat membantu proses pemulihannya."
"Ya sudah Suster, terima kasih. Tolong jaga Ibu Saya baik-baik ya. Saya akan kembali lagi besok, kalau sempat." Rafael beranjak dari kursinya lalu meninggalkan mereka berdua, di kamar itu. "Kalau Aku menunggu empat jam, sama saja, Aku menghabiskan waktu part timeku," dalam hatinya.
"Baiklah, Kau hati-hati ya," jawab Suster tersebut, ketika melihat Rafael membuka pintu.
Tibalah di sekolah lagi, dimana pada waktu jamnya Bu Mentari ada di kelas mereka. Untuk memberikan tugas kelompok, ke semua pelajar di kelasnya. Sementara pandanganya tertuju pada Rafael, ketika memberikan tugas tersebut.
"Baiklah. Khusus untuk Rafael, yang selalu mengerjakan tugas kelompok sendirian. Untuk kali ini, Kau akan Ibu pilihkan kelompok ya!"
"Tidak. Kenapa harus dipilihkan?" Padahal Aku bisa mengerjakannya sendiri."
"Ya. Tapi khusus di mata pelajaran Ibu saja, karena Ibu yang terpilih untuk bertanggung jawab, mengisi data kegiatan kelompok kamu. Kalau kamu tidak ada satu pun keterangan, di laporan kegiatan kelompok. Kamu bisa-bisa mengulang semester lagi loh. Emangnya kamu mau?"
"Ya sudah. Kalau begitu, Aku membuat kelompok dengan Steve saja. Dua orang saja, juga dapat dibilang kelompok kan?" Tiba-tiba, Steve bangkit berdiri dari bangkunya, serta menggendong tas miliknya.
"Maaf Bu! Saya sudah mendapatkan kelompok baru sebelumnya."
Sontak, membuat reaksi Rafael terkejut saat mendengarnya dari mulut Steve. "Maksudmu apa? Kau tidak serius kan?"
"Maaf. Aku sudah diterima di kelompok lain. Jadi, Kau terima saja kelompok pilihan dari Bu Mentari." Steve dengan santai meninggalkan Rafael yang masih tercengang di tempat duduknya, dan Steve duduk di kelompok yang ia maksud.
"Apa ini pengkhianatan? Sakit sekali rasanya! Padahal Aku sudah bersikap baik padanya, tapi Dia membalasku dengan cara seperti ini?" dalam hatinya.
Kejadian tadi, berawal dari peristiwa waktu itu....
"A-A-Aku makan di kelas saja ya. A-Ada yang lupa soalnya," ucapnya, sebelum beranjak dengan cepat dari tempat duduknya. "Duh, Aku tak kuat melihat senyumannya, meskipun cuma sedikit saja," dalam hatinya sambil berjalan cepat.
Saat Steve tiba di depan lift, ia bertemu dengan empat orang yang sekelas dengannya, serta masuk ke dalam lift bersamaan. Beberapa saat mereka terdiam, lalu salah satu dari mereka menyahut. "Heh! Kau."
"Aku?" tanya Steve saat menolehkan pandangannya.
"Iya Kau. Kami kekurangan kelompok untuk pelajaran Bu Mentari. Kau mau gabung tidak?"
"Gabung? Ke kelompok kalian? Bukannya kelompok kalian selama ini sudah cukup?" Mereka tiba di lantai yang sama, serta keluar dari lift sambil berbincang-bincang.
"Sebenarnya, Kami selalu kekurangan orang. Ayolah Kau gabung saja dengan kami. Ngga akan rugi kok, kalau Kau satu kelompok dengan kami. Soalnya di rumah Rendy ada banyak fasilitas seru dan, ada banyak video game juga. Kita bisa menggunakannya setelah selesai kerja kelompok, sepuasnya lagi," ucap Feris salah seorang dari mereka.
"Benar, ditambah lagi Aku sama Glenn membawa minuman yang enak-enak loh. Lalu Feris yang menyediakan semua alat-alat untuk kerja kelompoknya, dia punya banyak loh," ucap seseorang teman mereka yang bernama Justin.
"Jadi begitu ya. Tapi, Kalian tahu dari mana ada tugas kelompok dari Bu Mentari? Pelajarannya kan besok lusa."
"Kami tahu dari teman satu ekskul kami, kemarin ada jam pelajarannya Bu Mentari."
"Begitu ya. Kelihatannya menarik juga." Steve tersenyum, "Maaf Rafael."
"Bagaimana? Kau setuju ingin bergabung dengan kelompok kami?"
"Iya, Aku sangat setuju bergabung dengan kelompok kalian."
Lalu, mereka mengajarkan tos kelompok mereka, kepada Steve, anggota baru mereka.
Kembali lagi, di posisi sekarang....
"Baiklah, sudah Ibu putuskan Rafael mendapat kelompok dari pilihan Ibu. Ivana, Maya, Dewi dan Clara adalah anggota kelompok Rafael."
Empat orang yang tadi disebutkan oleh Bu Mentari, mendadak berdiri kompak, seakan menolak ucapan Bu Mentari.
"Ibu! Maaf, kami tidak bisa sekelompok dengan orang yang tidak pernah, kerja kelompok sama sekali."
"Benar! Itu karena, dia selalu mengerjakannya sendirian, jadi mana mungkin bisa bekerja sama dengan kami?" ucap Clara sambil terkekeh.
Rafael menggebrak meja dengan sangat keras. "Kau pikir Aku mau sekelompok denganmu. Aku juga ragu, kalau Kau bisa mengerjakan sesuatu sendirian."
"Hei, sudah-sudah. Apapun yang kalian katakan, Ibu tak akan pernah mengubah ketentuannya. Jadi, tugas kalian akan Ibu tunggu minggu depan ya."
"Ibu Ka-"
"Sudahlah, tak ada waktu lagi. Mau tak mau, kalian harus bekerja sama."
Usai Bu Mentari keluar dari kelas mereka, setelah jamnya yang sudah habis. Datanglah salah seorang dari kelompok gadis tersebut, yang bernama Ivana menghampiri Rafael, dengan wajahnya yang datar.
"Ini, alamat rumah kami. Besok sore datang ke alamat ini dan, jangan sampai telat." Tanpa menunggu sepatah kata keluar dari mulut Rafael, Ivana langsung kembali begitu saja ke mejanya.
Rafael tidak membaca alamat yang bertuliskan di atas secarik kertas tersebut, dan memilih langsung mengantonginya saja.