"Apa Aku boleh gabung?" terdengar suara gadis yang memotong pembicaraan mereka. Sontak membuat tubuh Steve bergemetar ketika menolehkan pandangannya.
"Kau kenapa?" tanya Rafael saat melihat ekspresi Steve sebelum ikut menoleh. "Ternyata Kau lagi ya. Ada apa?"
"Tadi kan sudah kenalan, panggil Aku Nata! Aku hanya ingin gabung dengan kalian, tak masalah kan?"
"Memangnya tak ada meja lain?" ucap Rafael dengan datar.
"Iya, hanya meja ini yang tersisa," jawabnya dengan senyuman ramah, namun membuat Steve semakin gemetar alias gugup.
"A-A-Aku makan di kelas saja ya. A-Ada yang lupa soalnya," ucapnya sebelum beranjak dengan cepat. "Duh, Aku tak kuat melihat senyumannya, meskipun cuma sedikit," dalam hatinya sambil berjalan cepat.
"Si Saus sambal itu kenapa?" tanya Nata sebelum ia duduk menghadap Rafael.
"Saos sambal?" heran Rafael dengan yang dimaksud Natalie.
"Iya, dia belepotan Saus sambal di mulutnya."
"Kenapa Kau sendirian? Temanmu tidak ada kah?"
"Mereka semua menjauhiku. Aku tak punya teman deh," ujar Natalie sambil tersenyum padanya.
"Kenapa Kau masih sempat tersenyum? Padahal, Kau tidak punya teman?" heran Rafael dengan tingkah Natalie.
"Ya, Aku merasa tenang. Karena yang menjauhiku adalah teman yang tidak baik. Meskipun semua temanku, termasuk teman-teman sekelasku. Tapi, Aku sudah dapat satu teman baru, dan sangat baik."
"Siapa? Kalau begitu, di mana satu-satunya teman baikmu itu? Apa dia sedang ke toilet?"
"Tidak. Dia sudah berada di hadapanku," ucapnya dengan senyum yang tulus.
"Maksud Kau Aku kah?" pertanyaan dari Rafael yang dijawab Natalie, dengan anggukannya sambil tersenyum. "Sejak kapan kita berteman?" jutek Rafael.
"Sejak kita bersalaman tadi pagi; sewaktu di depan kelas. Bukannya saat dua orang yang bersalaman dan berkenalan, sama saja sudah jadi teman kan?"
"Terserah Kau saja. Tapi bagaimana Kau bisa tak punya teman? Kenapa Kau dijauhi oleh orang-orang, termasuk teman sekelas mu sendiri?"
"Mereka menjauhiku karena Iri dengan parasku dan prestasiku. Mereka sampai membenciku karena itu, tapi bukan hanya itu saja. Pasangan mereka, selalu tidak bisa lepas lirikannya padaku, dan selalu membuat konflik di antara mereka."
"Sudahlah... itu semua karena mereka yang bodoh. Pacaran di usia segini, belum tentu juga berakhir bahagia. Lalu cowok-cowok mereka yang melirikmu juga bodoh, tidak bisa mengendalikan nafsunya."
"Ya, maka dari itu Aku tahu Kau orang baik. Karena sejak tadi kita bertemu, tatapanmu berbeda jauh dan sama sekali tidak seperti mereka."
"Apa yang Dia maksud, wajah datarku ini?" dalam hatinya.
"Tuhan telah menjawab doaku, di hari ulang tahunku ini. Bertemu dengan orang yang benar-benar baik, walaupun hanya satu saja, tapi Aku tetap bersyukur," ucap Natalie dengan penuh haru, sambil mengelap setetes air mata yang menetes.
Hal itu membuat Rafael tercengang, karena belum pernah ia melihat orang seperti ini. "Dia sama sepertiku, dijauhi juga oleh satu kelas karena dibenci. Tapi kalau Aku, dibenci karena tak suka pembahasan Dunia," dalam hati Rafael yang juga terharu, karena bertemu dengan orang yang tidak terpikat Dunia.
Rafael sedikit meneteskan air mata karena haru, lalu mengelapnya. "Selamat ulang tahun ya," ucap Rafael sebelum menyuap suapan terakhir.
"Iya, terimakasih."
Terlepas dari mereka bertemu kembali untuk kedua kalinya, dan menjadi teman baik karena mempunyai sifat yang sama. Tibalah istirahat kedua, dimana Rafael dipanggil ke ruang Kepala Sekolah, untuk urusan yang belum diketahuinya.
Saat ia membuka pintu setelah mengetuknya tiga kali, ia melihat Kepala Sekolah yang sedang bersama Pak Yohan; wali kelasnya. "Silahkan duduk Rafael," ucap Pak Yohan yang menyuruhnya duduk.
Rafael duduk di sofa, yang berada di hadapan mereka berdua. "Ada apa Pak, manggil Saya ke sini?" tanyanya.
"Kita langsung saja ke pointnya ya. akhir-akhir ini tunggakan Kamu semakin naik. Di saat itu tak masalah Kau mencicil uang pangkal. Tapi selepas itu, muncul tunggakan baru dari uang buku, karena sudah memasuki semester yang baru. Ditambah lagi uang SPP kamu yang nunggak dua bulan," terang Pak Kepala Sekolah sambil melipat tangannya.
"Supaya tak membebani kamu, setidaknya Kamu melunasi dengan cepat, salah satunya saja."
"Tapi, Aku punya saran lain daripada saran yang Bapak berikan. Agar tak membebani Saya, bukannya bisa memakai beasiswa? Saya kan juga berprestasi di sekolah ini."
"Maaf sekali Rafael. Prestasi kamu di bidang parkour dan Roller Skate, tidak termasuk dalam syarat beasiswa di sekolah ini. Hanya untuk yang berprestasi di bidang Sains, Matematika, dan Sastra saja," terang Pak Yohan guru berkumis tebal; kepala setengah plontos.
"Kenapa begitu? Apa ekskul yang Saya jalani salah?" tanya Rafael kepada mereka berdua.
"Bukan salah. Tapi, itu tak ada kaitannya dengan pendidikan, dan citra sekolah di sini. Sekolah ini, hanya mendukung mereka yang memiliki potensi, di bidang yang disebutkan tadi," terang Pak Kepala Sekolah mengenai syarat beasiswa di sekolah mereka.
"Lagipula, hanya Kau seorang satu-satunya, yang mengikuti Ekskul itu," sambung Pak Yohan.
"Jika Saya tak sanggup membayarnya, bagaimana? Apa tak bisa di akhir semester saja?"
"Ya... maafkan Kami, jika terpaksa mengeluarkanmu dari sekolah ini."
Rafael tercengang saat mendengarnya dari mulut kepala sekolah, sambil tangannya bergemetar. Ia diperhadapkan oleh hal yang tidak diharapkannya, dan memilih keputusan yang bijak untuk membuat mereka tenang.
"Baiklah. Saya sudah menyiapkan uangnya yang sedikit lagi terkumpul, untuk melunasi salah satu tunggakannya. Saya minta waktu seminggu ya."
"Baik tak masalah. Terimakasih atas kerja samanya, sekarang Kau boleh istirahat."
Rafael keluar dari tempat itu dan kembali beristirahat, untuk jam makan siang kedua. Dan pada waktu pulang sekolah, usai genap dua jam setelah istirahat kedua berakhir.
Rafael menyempatkan diri sebelum kembali bekerja part time, untuk ke rumah sakit menjenguk ibunya sejenak. Tak lupa juga ia membawa buah-buahan untuk ibunya yang sakit.
"Ibu, bagaimana? Apa sudah mendingan?" tanya Rafael yang menaruh buah-buahannya di meja pasien.
"Sudah, Ibu sudah mendingan. Bagaimana kabar sekolahmu?"
"Baik-baik saja kok Bu. Aku kupaskan apelnya ya Bu. Dan Aku tak bisa lama-lama, karena habis ini ada yang harus ku kerjakan."
"Ya, Kamu sempat berkunjung dan membawa buah-buahan, sudah sangat cukup bagi Ibu, walaupun hanya sebentar saja."
Mata Rafael tercengang lebar, saat mendengar ucapan Ibunya barusan. Membuatnya teringat dengan yang dikatakan Natalie, sewaktu di kantin tadi. "Tapi Aku tetap bersyukur, meskipun hanya satu."
"Kamu kok berkaca-kaca seperti itu? Ada yang salah kah?" tanya Ibunya yang melihatnya berkaca-kaca, saat mengupas apel.
"Tidak, Aku hanya teringat dengan temanku," ucapnya sambil mengelap mata. "Kenapa bisa mirip seperti itu ya? Benar-benar tulus dari hati," dalam hatinya.
Rafael pergi dari Rumah sakit, setelah selesai menjenguk Ibunya dan, mengupas semua apel di meja. Rafael pergi ke tempat part timenya, yaitu restoran sederhana kemarin.
"Selamat sore Rafael, bagaimana Sekolahmu?" tanya Joshua Abraham.
"Kurang baik. Apa Aku boleh bicara sesuatu padamu?" pinta Rafael dengan mohon.
Ekspresi Rafael yang sepertinya tidak baik, dari hari-hari normalnya. Membuat hati Joshua yang sudah akrab dengannya, tergerak belas kasih. "Iya, baiklah. Ayo kita bicara di lantai atas."