"Tidak ada yang salah. Yang salah itu, hati, pikiran dan pandangan kalian tentang semua itu tadi. Pamer, sombong, senang-senang, keinginan mata, kalian seperti budak dunia. Bukankah Rafael telah bilang, hati dan pikiran kalian yang sudah keliru? Yang artinya, letak kesalahannya pada kekeliruan kalian," sahut Josuha yang telah membuat mereka berenam menoleh kepadanya.
"Dari mana kalian bisa tahu tentang kebenarannya?" tanya Gebby, salah seorang dari mereka yang baru berkutik.
"Minggu lalu, Apa Kau hanya duduk saja di Gereja? Dan apa Alkitab kalian hanya menjadi pajangan saja?" pertanyaan Josuha yang sedikit menyinggung mereka.
Sontak, membuat mereka terhening usai mendengar ucapan Joshua. Dengan rasa penuh malu dan bersalah, mereka berpisah dan melanjutkan pekerjaannya lagi, meskipun masih sepi.
Rafael dan Josuha hanya memperhatikan mereka berjalan, dengan rasa penuh malu dan bersalah. Melihat mereka yang kembali bekerja, Joshua mulai membuka buku yang dipinjamnya dari Rafael.
"Wow, jadi Kau memberiku buku yang sangat bagus ini, di saat yang tepat ya? Aku jadi bisa tahu dan mengerti tentang strategi penjualan kuliner," kata Josuha saat membaca daftar isinya.
"Iya, sebenarnya Aku tidak tahu sama sekali kalau hari ini sedang sepi. Aku hanya ingin membaca buku yang berhubungan dengan resto ini, setelah mengembalikan buku Novel Fantasi favoritku."
"Ini semua bukan kebetulan, tapi hanya oleh kebaikan Tuhan yang mendukung resto ini."
"Amien."
Tibalah dua hari kemudian, yaitu pada hari Senin, Rafael kembali ke sekolahnya. SMA Semangat Jaya, sekolah swasta yang bangunannya sangat besar, seperti setengahnya Apartemen.
Dan jumlah kelas yang begitu banyak, setiap tingkat kelas ada dua puluh kelas, serta ruangan pendukung belajar yang tak kalah banyaknya. Seperti, dua perpustakaan, dua ruang olahraga dengan alat yang lengkap, sepuluh lapangan olahraga indoor dan sepuluh ruang praktek laboratorium, belum termasuk kantin, kantor guru dan aula sekolah.
Rafael mendengar seseorang yang memanggil namanya dari belakang. Rafael tak menoleh karena ia mengenali suara itu, dan orang tersebut sudah berjalan di sampingnya. "Hei Rafael," kata temannya, sambil mereka tetap berjalan.
"Kenapa? Apa Kau ingin menceritakan hal aneh lagi padaKu? Sudah Kubilang, Aku sangat benci dengan pembahasan seperti itu!" kata Rafael dengan ekspresi yang tiba-tiba berubah kesal.
"Ini bukan soal itu kok," jawab Steve dengan senyuman ciut.
"Aku, hanya memberi kabar tentang pelajaran Matematika untuk hari ini saja. Apa Kau sudah tahu?" terangnya.
"Kabar Matematika? Belum, Aku sama sekali tak tahu tentang itu," jawab Rafael yang seketika ekspresi kesalnya reda.
"Kalau begitu Aku beri tahu ya. Hari ini, jam pelajarannya ditambahin menjadi setengah jam, karena hari ini Bu Ratna datangnya agak siangan."
"Apa masalahnya? Sepertinya Kau sangat cemas dan tak semangat?" ucap Rafael sebelum mereka masuk ke dalam lift.
"Kau tidak cemas? Apa Kau sangat menyukai matematika? Ditambah lagi, Bu Ratna kan bisa ngasih tugas untuk mengisi jamnya yang kosong."
"Aku sama sekali tidak cemas, dan untuk urusan jadwal mereka, itu bukanlah urusan kita."
"Lalu kenapa Kau bisa sesantai itu, Kau kan juga tak suka dengan matematika?" tanya Steve saat mereka sudah keluar dari lift lantai lima.
"Aku selalu biasa saja dalam mata pelajaran apapun di sekolah. Aku tak peduli nilanya ataupun bisa atau ngga nya. Aku hanya mempelajari hal yang menarik dan yang membuatku penasaran. Terlebih lagi untuk pelajaran yang tak Kusukai ataupun tak menarik, Aku hanya menjalankan tanggung jawabku sebagai pelajar. Dan tak peduli dengan yang Kau bahas tadi."
"Jadi begitu ya. Kau hanya ya. Melakukan tanggung jawab sebagai pelajar dan tak peduli dengan bisa atau tidaknya. Tapi kenapa?"
"Bukannya sudah Ku bilang? Jika Aku tak tertarik, penasaran, apalagi tidak sesuai dengan kemampuanku. Untuk apa harus dipaksa?"
"Sepertinya Kejam sekali, jika Kau berbicara seperti itu. Apa itu tak salah?"
"Aku tak menghina pelajaran dan Aku hanya bilang yang sebenarnya. Jika bakatmu dalam hal lain, kembangkan lah. Jangan memaksa hal yang tak bisa Kau lakukan. Tapi, bukan berarti lepas tanggung jawabmu sebagai pelajar, saat Kau masih bersekolah. Kalau ada tugas atau ulangan, ya kerjakan saja sebisanya."
"Seperti itu ya. Artinya kalau ada tugas, Aku ngasal saja saat mengerjakannya, hehehe."
BUK! suara jitakan dari Rafael yang mendarat pada kepala Steve. "Bukan gitu bego! Sebisa Kau artinya semampu Kau. Bukan ngasal semuanya!"
"Tapi, Aku tak bisa jawab semua soal dan selalu mencontek jawaban dari ponsel. Duh sakit juga ya," ucap Steve sambil mengusap bagian kepala yang terkena jitakan Rafael.
"Terserah Kau lah. Sekalian saja menulis di kertas jawaban; Aku malas mengerjakannya."
Setelah berjalan sejauh dua belas meter, tibalah mereka di depan kelas mereka, dan disambut oleh tatapan sinis dari mereka, orang-orang sekelasnya.
"Tak usah dipikirkan," nasihat dari Steve saat melihat reaksi Rafael yang mendadak berhenti.
"Aku tahu! Aku berhenti bukan karena itu, tapi seperti ada suara yang memanggilku." Rafael menoleh ke arah pintu kelas yang baru saja dilaluinya.
"Si-" ucapan Steve terpotong oleh kedatangan seorang siswi dari kelas lain. Siswi tersebut berjalan dengan cepat menghampiri Rafael, dan langsung menariknya keluar dari kelasnya.
"Ada apa? Kau dari kelas mana?" tanya Rafael yang dibuat kaget usai mereka berada di luar kelas.
"Aku dari kelas Sebelas IPA Dua, dan namaku Natalie Angela. Panggil saja Nata," ucapnya sambil menjulurkan tangan.
"Kau jauh sekali dari IPA dua ke IPA dua puluh?" tanya Rafael yang mengabaikan salaman hangat dari Natalie.
"Perkenalkan nama dulu!" tegas Nata yang masih menjulurkan tangan kepadanya. Melihat Nata yang memaksa dan bersikeras, akhirnya ia menjulurkan tangannya.
"Namaku Rafael Fernando, dari kelas IPA dua puluh. Panggil saja Rafa." Mereka berjabat tangan, dan terlihat Nata mendanga ke atas, karena pandangannya hanya sampai pada dagu Rafael. Yang artinya Rafael lebih tinggi dari Nata.
"Jadi, Kau kenapa kemari?" tanya lagi Rafael usai bersalaman.
"Aku disuruh Pak Yohan, untuk menghampirimu. Saat Aku sedang berjalan di lobby dan tiba-tiba Aku dipanggil untuk mengikutimu."
"Masa? Bagaimana Kau yakin tidak salah orang? Dan apakah Pak Yohan menyuruhmu dengan kecepatan Rap? Sampai-sampai Kau tak ketinggalan jejak?"
"Pertanyaanmu banyak sekali! Aku jadi bingung. Intinya Pak Yohan dan Aku, secara bersamaan melihatmu sedang berjalan menuju lift. Dan Aku disuruh mengejarmu untuk mengatakan; jam istirahat kedua Kau dipanggil ke ruang Kepala Sekolah. Itulah alasan dan tujuanku datang kemari," terang Nata de coco.
"Kenapa Pak Yohan menyuruhmu? Memangnya, dia sendiri tak bisa melakukannya?"
"Kau tahu sendiri kan, Pak Yohan sudah tua dan pinggangnya sering encok. Makannya dia menyuruhku untuk ini."
"Begitu ya. Aku masih tak percaya dengan ucapanmu," kata Rafael dengan ekspresi biasa saja pada orang yang berdiri di hadapannya.
"Masa Kau tak percaya? Padahal yang Kukatakan memang benar kok."
"Pak Yohan tak salah tunjukkah?"
"Tidak," ucap Nata sambil menggelengkan kepalanya. "Dia menunjuknya persis kepadamu, yang tadi berjalan dengan satu orang teman. Hanya Kau saja yang tadi berjalan berdua dengan temanmu."
"Sebenarnya Aku hanya ragu. Karena hari ini tak ada pelajaran Pak Yohan. Bisa saja Dia tak masuk hari ini, dan Aku harus minta nomormu untuk menjaminnya."
"Boleh-boleh. Akan Aku buktikan, bahwa Aku ini adalah orang yang jujur."
Mereka bertukar nomor telefon melalui fitur Barcode Scan from Contacts, pada ponsel masing-masing. "Oke sudah. Kalau begitu Aku akan ke kelasku. Lihat, Aku masih menggendong tasku," ucap Nata sambil menunjukan tas pada punggungnya.
"Ya sudah sana," ucap Rafael sebelum berbalik badan ke kelasnya. Di situlah mereka berdua bertemu dan berpisah untuk pertama kalinya.
Rafael berjalan masuk ke dalam kelas tanpa mempedulikan tatapan sinis mereka semua. Tibalah ia di meja yang sebangku dengan Steve, di meja bagian belakang.
"Kau ada urusan apa dengannya?" tanya Steve yang kepo dengan urusan orang.
"Apakah ini juga urusanmu?" ucap Rafael sambil duduk di kursinya.
"Apa Kau pacaran dengannya? Sehingga Kau tak mau membicarakannya?"
"Memangnya ada apa sih dengan Gadis itu? Sepertinya Kau memaksa sekali dengan urusanku?" heran Rafael sekaligus risih dengan kekepoan Steve.
"Jadi, Kau tidak tahu siapa Gadis itu?"
"Benar, justru Aku baru berkenalan dengannya tadi."
Steve menepuk keningnya sendiri. "Masa Kau tidak tahu, dia itu salah satu dari Gadis-gadis populer karena kecantikannya dan kepintarannya."
"Masa Kau tidak tahu juga, kalau sekolah ini memiliki jumlah kelas yang sangat banyak. Luasnya saja tak kira-kira, apalagi jumlah semua orang di sekolah ini?"
"Masa Kau juga tak tahu, Kalau dia populer di kalangan kelas sebelas! Kita kan saat ini juga kelas sebelas tahu!"
"PergaulanKu kecil dan jarang bergaul dengan siapapun. Masa Kau juga tak tahu tentang itu?"
"Ehm... Kau benar juga. Maafkan Aku, harusnya Aku memberi tahu yang sedang diperbincangkan oleh orang-orang, kepadamu."
"Tidak, bukan salahmu. Aku yang telah melarangmu untuk tidak menceritakan berita yang sedang hangat dibicarakan. Karena Aku sangat malas mendengarnya, dan membuang-buang waktu."
"Iya benar juga sih. Pantas saja, tadi Kau sudah hampir marah padaku, padahal Aku belum selesai bicara sewaktu berjalan ke lift tadi."
"Iya, itu karena kemarin Aku sudah banyak sekali mendengar pembicaraan yang aneh-aneh itu, bahkan sampai berdebat dengan lima orang pegawai dari tempatku part time."
"Tapi apa yang salah dengan Gadis itu? Kau kan tidak suka dengan hal dunia, gengsi dan hal yang banyak gaya. Apakah Gadis itu ada hubungannya?"
"Tidak ada. Apa tadi Aku bilang jangan membahas gadis itu? Apa sejak tadi Kau melihat ekspresiku kesal, saat membicarakan Gadis itu?"
"Tapi Gadis itu kan populer, apalagi sering diperbincangkan orang-orang karena cantik dan pintar."
"Populer karena cerdas apa masalahnya? Cantik juga tak salah, yang salah mereka yang sangat berlebihan karena tatapan genitnya itu. Pembahasan yang berhubungan dengan itu, yang paling malas Aku bicarakan. Lagi pula Aku biasa saja saat bertemu dengannya tadi."
Steve mengernyitkan dahinya, "Itu sih tidak usah ditanyakan."
Saat melihat ponsel yang sejak tadi digenggam Rafael, ketika mereka tengah bicara. Membuatnya bertanya lagi pada Rafael, "Kau tadi meminta nomornya ya?"
"Ah? Dari mana Kau tahu? Apa Kau tadi menguping?"
"Ti-tidak Kok, Aku hanya menebaknya saja. Berarti benar ya Kau memintanya?" ujarnya dengan sedikit meneteskan keringat. "Sebenarnya Aku sempat balik lagi untuk keluar kelas, tapi karena melihatmu sedang bertukar kontak. Maka Aku duduk kembali untuk tidak mengganggumu," dalam hati Steve.
"Ya sudahlah, Aku juga tak tahu yang sebenarnya. Ku harap Kau jujur mengatakannya."
"Kau hebat juga dapat bertukar kontak dengannya?"
"Kenapa?" heran Rafael dengan ucapan Steve.
"Banyak sekali yang meminta nomornya, namun tak pernah dikasih. Bahkan, teman-teman segadisnya sangat setia untuk merahasiakannya. Sepertinya dia tertarik denganmu," ucap Steve dengan penuh kagum, namun diabaikan dan tak direspon oleh Rafael.
"Hei, kenapa Kau tiba-tiba jutek padaku?"
"Kau ingat-ingat saja kata-kataku tadi!" tegas Rafael sebelum diam kembali. Melihat ekspresi Rafael yang tiba-tiba berubah, membuatnya merasa bersalah.
"Apa yang baru saja kukatakan, sepertinya hal yang tidak disukainya. Tadi, Dia mengatakan tidak suka dengan hal yang genit-genit, apa dia menyangka Aku genit?" dalam hati Steve.
Jam Istirahat pertama.
Terlihat Rafael dan Steve baru saja memesan seporsi makanan dan duduk di meja yang sama. Kantin sekolah mereka terbilang sangat luas, bahkan hingga dua lantai yang terhubung satu sama lain.
"Hei, kenapa Kau mengikutiku Steve?" tanya Rafael yang baru saja duduk di meja yang paling dekat dengan jendela.
"Apa Kau masih marah padaku? Aku tidak tahu kalau Kau, tak suka dengan pembahasan yang tadi itu."
Rafael menggelengkan kepalanya. "Bukan karena itu. Kita berdua ini cowok tahu! Masa Kau tak merasa malu sama sekali, paling tidak merasa jijik gitu!"
"Sudahlah, nanti juga ada yang duduk di sini kalau tidak kebagian kursi. Tapi Aku masih penasaran, kenapa Kau tadi tiba-tiba terdiam?" ucap Steve saat duduk menghadap Rafael.
"Aku malas sekali, jika membahas soal cinta-cintaan. Karena yang sebenarnya ada, hanyalah nafsu dan bukan cinta yang sejati."
"Cinta yang sejati, memangnya seperti apa?" Steve menyuap nasinya.
"Mereka yang menganggap cinta sebagai alasan pacaran, hanyalah nafsu belaka dari kekeliruan Dunia. Itu semua karena mereka berporos pada perasaan, dan itu akan berubah menjadi nafsu saat semakin besar. Cinta yang sebenarnya bukan pada perasaan, tapi pada tindakan seperti sabar, mengampuni, setia, murah hati, tidak mencari keuntungan, dan tidak sombong."
Rafael menyuap nasinya sampai menelannya, kemudian lanjut berbicara lagi.
"Aku sangat membenci sekali, dengan orang-orang yang mengumbar cinta dengan foto serta quotes-qoutes yang menjijikan. Apalagi curhat-curhat sakit hati, dikecewakan, ditipu, disakiti secara perasaan ataupun, secara fisik lah. Padahal mereka semua yang bodoh dan buta, tidak tahu makna dari cinta yang sejati, seperti yang tadi Aku katakan padamu."
"Jadi begitu ya, bukan pada perasaan namun tindakan. Lalu bagaimana dengan jodoh, yang sering dikatakan orang berasal dari cinta yang berporos pada perasaan?"
"Itu juga termasuk pembahasan yang Aku benci. Mereka sangat sok tau sekali dengan jodoh mereka, dan menganggap perasaan sebagai alasan jodoh. Omong kosong! Manusia, apalagi hanya sekedar perasaan, tidak sedikitpun menentukan jodoh. Hanya sang Raja Alam Semesta ini yang menentukannya dan tak ada yang bisa mengubahnya."
"Kenapa begitu?" tanya Steve setelah meminum es tehnya.
Rafael menatap tajam Steve setelah mendengar pertanyaan konyolnya itu. "Bukankah Tuhan yang menciptakan manusia? Artinya Dia juga yang menciptakan jodohmu bukan! Terlebih lagi Dia yang lebih mengerti siapa yang sepadan untukmu! Karena pasangan diciptakan-Nya dengan tujuan saling melengkapi!" terang Rafael sebelum menyuap dan mengunyah makanannya lagi.
"Artinya perasaan yang ada pada kita, diciptakan untuk ehm... ya itulah. Lebih tepatnya hubungan dalam pernikahan kan?"
"Tepat sekali! Perasaan hanyalah nasfu, dan bisa ke siapa saja. Maka tidak heran banyak yang kecewa, itu karena kebodohan mereka sendiri, dan buta tentang kebenaran. Tapi, beda lagi dengan Sepadan, yang hanya dapat ke satu orang yang tepat saja. Karena orang itu hanya bisa melengkapi Kau, dan Kau hanya dapat melengkapinya."
"Aku mulai mengerti dengan pandanganmu. Tapi Aku punya pertanyaan: Apa setiap orang salah, jika mereka mempunyai kelimpahan?"
"Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu? Apa yang tadi ada hubungannya dengan kekayaan?"
"Kau kan sangat membenci dengan hal dunia, seperti salah satunya kekayaan. Apa manusia tidak boleh memiliki kehidupan yang lebih baik dari masa lalunya?"
"Aku paham dengan yang Kau maksud. Aku memang membenci dengan hal dunia seperti contohnya kekayaan, tapi dalam pengartian yang salah. Dunia atau tidaknya, tergantung dari hati dan pandangan kita menyikapinya, juga alasan dan tujuan kita tentang itu."
"Seperti apa? Coba Kau jelaskan; Aku sangat penasaran."
"Jika Kau menargetkan tujuan hidupmu pada kekayaan dan untuk hal yang tak baik, seperti pamer, boros, sombong. Itu sangatlah salah dan bersifat Dunia, karena menganggap uang sebagai Tuhannya. Tapi tidak salah, jika kita berserah dan meminta Tuhan menuntun kita untuk kehidupan yang lebih baik. Justru Tuhan selalu punya rencana untuk masa depan yang cerah, alias kehidupan yang lebih baik. Tergantung dari kitanya, mau atau tidak?"
"Jadi begitu ya. Oh iya, Aku juga pernah dengar; orang-orang yang mendapat kelimpahan dari Tuhan. Salah atau tidak sih?"
"Jika itu kelimpahan dari Tuhan, ya tidak salah. Asalkan pandangan dan hatinya tetap pada Tuhan, tidak ada masalah. Dan kelimpahan yang dimaksud, bukan soal harta saja. Bisa dari kelimpahan Job, Kesehatan, Hubungan baik dan masih banyak lagi."
"Wah, Aku merasa seperti botol yang terisi kembali, setelah mendengar jawabanmu yang sangat memukau dan memberkati."
"Bless the lord. Tuhan sumber kebenaran. Kebahagian sejati hanya datangnya dari Tuhan."
"Terima kas-"