Selamat membaca
°•°•°
Raja timur mulai menampakan wujudnya. Dari celah kain penutup jendela, cahaya yang masih malu-malu bersinar itu mampu membelai wajah dua gadis remaja. Salah satu tubuh perempuan di atas ranjang lantas menggeliat pelan, siapa lagi kalau bukan aku.
Kuregangkan otot-otot dari pinggang sampai tangan, sebelum mengucek sudut mataku yang kini kupejamkan lagi.
"Udah bangun, De?" tanya sahabatku.
Mataku mulai terbuka perlahan, dan mendapati Alin yang menyingkap selimut. Aku menjawab dengan seulas senyum, "baru aja."
"Tidur nyenyak?"
Rambut panjang yang hampir sepinggang pun kugulung. Masih dengan senyum yang tertera di wajah khas bangun tidur, bibirku membalas, "cukup nyenyak." Kuputuskan, lebih baik berkeramas di sore hari daripada awal hari yang di mana, nyatanya memang pagi ini tubuh dan otakku terasa sangat segar.
"Baguslah." dengan tangan menata bantal dia melanjutkan, "kamu mau mandi duluan?"
"Aku dulu?" Alin mempersilakan. "Oke kalo gitu, aku memang pengen cepet-cepet mandi."
Tanpa basa-basi aku menyambar kain penghisap sisa-sisa air yang saat ini terjemur di gantungan khusus, di dekat kamar mandinya. Dua puluh menitku sudah terpakai untuk bersih-bersih. Aku juga sudah berpakaian ala-ala murid SMA.
Aku kelar mandi bertepatan dengan Alin yang baru saja menyiapkan seragam. "Dea, sarapannya ada di mejaku, itu..." Alin menunjuk meja belajar yang menempati sisi kiri jendela kamarnya, tepatnya di sudut kamar, dekat nakas. "...buruan dimakan, tehnya keburu dingin. Kalau aku, aku udah sarapan duluan." Alin memberikan cengiran khasnya dengan satu jari sibuk memancing di rongga hidung.
Kepalaku geleng-geleng mendengar jawaban polos sekaligus jarinya itu. "Jorok!"
Sambil menggoyangkan jari telunjuk dan terkekeh, "nggak masalah...!" ia masuk lalu membanting pintu kamar mandi.
"Dasar! Alin-Alin...." sembari menuju meja belajarnya dan kemudian duduk anteng di sana untuk menikmati menu makan pagiku.
Gigi-gigiku sibuk mengunyah nasi goreng, setelah meminum air putih segelas hingga tandas. Perlu bermenit-menit untuk mencerna sepiring nasi itu ke dalam perut. Penutupnya, aku menghabiskan teh ---satu gelas berukuran sedang yang terisi penuh--- sudah tidak panas, tapi masih hangat. "Kenyang banget..." aku jadi teringat saudari kembarku. "Diya udah berangkat apa belum ya?"
Karena sarapan sudah selesai, aku pun mencari ponsel yang tadi malam kusimpan di bawah bantal. Ada satu pesan dari aplikasi untuk berkomunikasi, yang kutahu itu dari Diya. Aku mulai membaca. "ASTAGA! AKU LUPA!"
"Kenapa, De?" tanya Alin yang entah sejak kapan berdiri di sampingku.
"AKU LUPA NELPON MAMA...!" berdecak kesal kerena daya ingatku yang lemah. Padahal aku belum termakan usia. "Ck, aku lupa, Lin... Padahal Diya bilang kemaren, kalo Mama ada waktu jam delapan malem. Mestinya tadi malem aku udah ngobrol sama Mama... Barusan Diya bilang kalo Mama nanyain aku, kenapa aku enggak jadi nelpon Mama."
Alin mengusap pundakku. "Udah, nggak papa De... Coba kamu nanti tanyain ke kembaranmu, Mamamu ada waktu kapan lagi... Biar kamu bisa ngobrol sama Mamamu."
Aku hanya bisa mengangguk lemah. Aku benar-benar kelupaan! Padahal waktu mengobrol bersama Mama adalah waktu yang kutunggu-tunggu. Aku merindukannya. Sangat merindukan sosok Mama.
"Udah selesai sarapan?" aku mengangguk sekali. "Ya udah, bisa berangkat sekolah sekarang?" tanyanya yang sudah berkali-kali itu, dan cuma kuberi anggukan. Mendadak semangat pagiku lenyap.
"Heiii...! Mau sekolah apa enggak? Senyum dong, jangan cemberut, ini masih pagi lho..." aku beranjak dengan kepala manggut-manggut menuju tas ranselku. "Dea?"
"Iya Alin... ayok," cicitku lemah dengan satu tangan membuka pintu kamarnya dan meninggalkan Alin di ruangan itu sendirian.
Selama mobil yang kutumpangi melaju, aku hanya diam memandangi jalanan. Alin pun sama sepertiku, dia tak mengeluarkan suara setelah insiden di kamarnya tadi. Mungkin dia sengaja memberikan ruang untukku menikmati lamunan dan menyelami perasaanku sekarang ini.
Lagi-lagi aku teringat Mama. Di saat aku dan Diya masih tinggal bersama wanita yang rela mati untuk melahirkanku itu, kami berdua selalu berdebat kecil di depannya. Aku dan Diya berakhir menerima nasehat-nasehat yang membuat kami selalu melempar kesalahan.
Aku juga ingat, sesekali Mama membela Diya dan membuatku cemburu dibuatnya. Bukan betulan, hanya godaan semata. Tapi membuatku tetap terbakar api cemburu.
Begitu melihat ekspresi cemberut dari muka imutku, Mama dan Diya akan sama-sama meledek dan menertawaiku habis-habisan. Namun selanjutnya, Mama akan mendekapku erat-erat, melupakan Diya yang cuma menatap pelukanku bersama Mama. Dengan begitu, giliran akulah yang menggoda Diya. Sungguh, aku merindukan sosoknya. Aku sangat merindukan Mama.
Bukan cuma Mama, sosok Diya yang sebetulnya memiliki hati yang baik pun, diam-diam kurindukan. Meskipun kakak kembarku itu terkadang kasar, tapi dia memiliki tingkat kepedulian yang lumayan pada adik kandungnya. Aku sangat tahu, Diya paling benci sama orang yang terlalu ikut campur dengan urusan pribadinya. Maka dari itu, sosok singa muncul langsung dari dalam dirinya. Dan karena itulah, aku lebih baik diam, menutup mulut rapat-rapat. Enggan untuk menasehatinya atau meminta dia bercerita, dalam segala hal yang berbau sangat privasi ataupun yang menjurus ke rahasianya.
"Ayok, turun." suara serta tepukan pelan Alin di bahu kanan, membuat kenanganku bersama Diya, dan juga Mama buyar seketika.
Begitu kakiku menuruni mobil dan menutup pintu, ponsel yang belum sempat kumode diam dan kumatikan datanya, lantas bergetar. Tak lupa untuk pamit pada supir Alin terlebih dahulu. Aku tetap berjalan dan mengecek pesan WhatsApp dari Diya.
Ia mengabari kalau Mama masih ada waktu untuk mengobrol hari ini. Tepatnya lagi jam lima sore. "Akhirnya..." kelegaan yang terhingga memenuhi dadaku.
Beruntung aku masih memiliki kesempatan. "Oke!" aku bergumam sembari mengetik kata tiga huruf itu di papan ketik benda pipih ini, dan mengirimnya langsung ke pembawa kabar baik.
"Akhirnya apa, De?"
"Diya bilang kalo Mama masih ada waktu Aliiin...! Aku seneng, akhirnya masih ada kesempatan buat ngobrol! Huuuh. Lega banget! Banget-banget-bangeeettt...!" teriakku yang menurutku kurang kencang, sambil memberikan cengiran lebar di kalimat terakhir.
"DEA...!" refleks aku menengok ke belakang, di mana suara itu bersumber. Mataku menangkap jaket yang kemarin dia beli. Jaket itu membungkus tubuh tegap Sean.
"Eh, De... Aku ke kelas dulu ya," pamit gadis berjepit ungu ini tiba-tiba. "Da...."
"Loh-loh, kenapa Li--" pertanyaanku disambar oleh suaranya lagi.
"Ada urusan, DAAA...!" sambil menjauh dariku dengan berlari kencang. Sampai-sampai, sosoknya berubah mengecil dari tatapanku.
Kini aku giliran fokus pada sosok laki-laki yang menghampiriku. Jalan sembari membenarkan poni yang menurutku terlihat sangat rapi. Jadi apa lagi yang harus dibetulkan lagi? Aneh.
Tapi kelakuan tangan kirinya itu yang membuatku menelan ludah, terpesona. ketampanan Sean kian bertambah. "Ini..." seraya menyodorkan jaket 'DUWEKKU' yang membuatku terbelalak. "...kemarin ketinggalan di lacimu." kepalanya menggeleng kecil dan tersenyum geli. Lalu dengan sengaja, jari-jari kanannya mengusap pucuk kepalaku dan dia bilang, "pikun, mbak?"
"Tunggu..." aku menahan tangan Sean agar jaket yang dia sodorkan tidak kuambil.
Seketika juga aku tersadar. Ingatanku langsung tersambung dengan makian Alin tadi malam setelah dia menerima telepon Sean. Ah, aku tahu. Aku sekarang benar-benar paham, Alin berbohong tentang semalam! Ya, dia cuma menggodaku. Dasar.
"ALIIINNN...!" teriakku. Detik ini juga kakiku terayun, meninggalkan Sean secepat yang sepatuku bisa. Entah sekarang laki-laki itu sedang apa, aku lebih fokus ke Alin. Keberuntunganku saat ini, sekolah masih sepi, jadi tidak perlu malu untuk teriak.
"Hiiiih... Alieeennn..." gumamku selama menuju kelas XI IPAku. "Kurang ajar, berarti semalem dia akting doang?! Emang minta dicincang!"
°•°•°
Terima kasih sudah hadir :) terutama untuk pembaca setianya Dea yang mendukung selalu lewat vote, komentar, dll :*
STAY HEALTHY!!! XD
See you :D
God bless you <3