Selamat membaca
°•°•°
Nah saat ini! Akhirnya, kita berlima ditambah sama si mas fotografer, sampai di spot foto yang paling terakhir. Tepatnya ada di wilayah bertemakan salju. Ya, SAL-JU! S-A-SA... L-J-U-JU... SALJU! Maaf aku ketularan alaynya si Alin. Tapi... aku sangat-sangat bahagia! Terserahlah kalau masih mau bilang aku alay, it's okay!
Sekadar mengingatkan, kita tetap ada di luar ruangan ya! Dan juga, ini bukan salju beneran! (Salam dua jari, hehe) Padahal aku sudah berandai-andai kalau kita semua akan merasakan hawa yang dingin! super duper dingin! HAHAHA... heeeh-ternyata... jauh sekali dari ekspektasi!
Aku menatap boneka salju yang tingginya sangat melebihi tubuhku. Sampai-sampai, kepalaku menengadah. "Cantik-cantik..." lirihku begitu melihatnya hingga pucuk.
Lalu Kulirik benda lainnya, menjelajah satu-persatu. Dan... yang tertangkap oleh netraku adalah sebuah bangku putih. Benda yang tiga puluh sampai empat puluh persennya berbalut salju tipuan. Hingga beberapa detik kemudian, benda berkaki empat itu ditempati Alin sama Sean.
Oh iya, ada beberapa pohon cemara juga ternyata! Mungkin jumlahnya lebih dari lima, aku enggak terlalu memperhatikannya. Yang aku tahu, tumbuhan itu juga dilumuri salju dan diletakkan di belakang kursi serta di belakang boneka salju tadi. Menurutku ya, tinggi pohon itu lebih dari empat meter. Betul sekali, pohon yang sangat tinggi!
"Karena propertinya cuma ada syal, sarung tangan, sama jaket doang, aku pilih syal aja deh..." Alin yang lagi-lagi paling heboh dengan barang-barang yang baru ia ambil dari tangan si tukang foto.
"Dea pakek jaketnya tuh!" suara Sean terdengar garang, aneh. "Lengannya tuh, lengan... Udah pendek, ketat lagi..." mendengar nadanya yang meninggi, aku hanya bisa menelan ludah. Entahlah, aku takut jika dia marah-marah. Aku benci dia teriak-teriak di depan umum seperti ini. "Gerai juga rambutnya!"
Dengan diam dan langkah kaki gontai, aku mengambil jaket hitam di kardus coklat yang masih Alin bawa. Begitu terbentang, kugunakan untuk membungkus tubuh. Panjangnya sampai setengah paha saja. Ini pun jaket kancing, bukan resleting.
"Boleh duduk berempat? Karena tema salju kan dingin... apalagi kursinya juga muat, Mas-Mbak?!"
"Boleh-boleh!" Nino dengan senang menyetujui, dia langsung berada di tengah-tengah antara Sean dan Alin.
Aku lantas memilih duduk di sebelah pemakai jepit pita itu. Tapi buru-buru dicegah oleh teriakan dari fotografer cerewet itu, "Mbaknya yang pakek jaket hitam! Duduk sama pasangannya Mbak! Itu udah cocok, pakaiannnya kan sama-sama merah!"
"Kurang ajar! Ngatur bangeeet...!" gumamku kesal tapi sangat pelan.
"Bisa digerai rambutnya?" pelan tapi sangat dalam.
"Kenapa emang?!"
"Dilihat cowok-cowok dari tadi, Dea! Kamu sadar apa enggak?! Baju kamu yang atas aja potongannya pendek sama ngejiplak tubuh...! Sadar diliatin apa enggak kamu itu?!" unek-unek Sean yang membuat perasaanku sakit. Bisa kan dia ngomong baik-baik? Lagipula aku masih memakai pakaian dibatas wajar.
"Bawahannya panjang tapi kalo atasnya ketat sama sampek bawah pusar doang ya sama aja..." ucapnya pelan yang lagi-lagi menohok. "Lanjut Mas!" pekiknya lagi.
Aku berdeham keras. "Tunggu, Mas!" ucapku seraya menatap Sean. "Mau buka ikatan rambut saya dulu." begitu tanganku terangkat ke atas untuk membuka ikatan cepolan rambut panjangku, napasku seakan tertahan.
Sean menatap tepat ke dasar mataku. Kedua tangannya sibuk merekatkan jaket yang kupakai ini. "Aku nggak suka kalo tubuh sahabatku dilihat sama mata cowok-cowok yang jelas-jelas punya pikiran yang udah kemana-mana..." jari-jariku dengan susah payah membuka lilitan karet rambut yang masih mengikat.
Sedangkan tangan Sean masih erat memegang jaket ini, di bagian perutku. "Aku cuma enggak mau itu aja, aku peduli sama kamu. Inget, aku peduli... ngerti?!" sambil menelan ludah aku mengangguk paham. "Buruan copot karetnya, udah ditungguin sama yang lain."
"I-iya..." bukan apa-apa. Aku gugup juga karena kamu, Sean! Perlakuanmu, kedekatan ini, tatapan itu, semuanya buatku benar-benar sesak napas.
°•°•°
Sejak kejadian tadi, aku tidak lagi menggulung rambut. Kubiarkan rambut sepinggang ini menutupi bagian depan tubuhku dengan membaginya menjadi tiga bagian, satunya menjuntai di tengah, bagian belakang atau punggungku, dan keduanya di bagian depan, kanan-kiri untuk menutupi dada.
Sedari tadi, Sean terus menemani. Dia melangkah di sisiku dengan sesekali merangkul atau bahkan menautkan jarinya pada jemariku. Alin sudah pulang karena kedua orangtuanya akan segera ke bandara, katanya ada urusan mendadak.
Mau tak mau, aku harus membiarkan Alin menyusul mereka. Sedangkan temanku yang dulunya sangat tengil dan sekarang sedikit usil, yaitu si Nino, dia izin ke toilet sebentar. Sudah pasti, kini jaraknya ketinggalan jauh sama kita berdua.
"Besok lagi, kamu kamu jangan pakek baju kaya gini," sarannya setelah menarik dan membuang napas berat. "Aku enggak suka kamu dilihat sama orang banyak, sampek pandangannya enggak enak gitu."
Aku pun sama, membuang napas sebanyak-banyaknya. Tanganku sampai gatal ingin mengelus-elus dada. Agar apa? Agar aku bisa sabar menghadapi sikap Sean yang kelewat perhatian ini. "Iya... aku ngerti, tapi ini kan model bajunya juga Sean...."
Lagi-lagi dia mengembuskan napas panjang. Aku tahu, dia mencoba menyimpan emosinya supaya tidak membentak seperti saat di lokasi musim salju. "Aku ngerti, paham. Aku tau kalau itu ngetrenlah, keren, atau biar kamu cantiklah. Tau aku... tapi mestinya kamu bisa kan nutupin pakek jaket? Biasanya kamu juga pakek jaket jeans, kenapa enggak dibawa? Kenapa enggak sekalian dipakek? Minimal nutupinlah... Nutupin perut kamu yang bisa keliatan sewaktu-waktu tanganmu ke angkat-angkat."
"Ya kan tadinya aku mikir kalo kita mau foto doang... apalagi berangkatnya pagi-pagi, nggak mungkin kena panas kan? Makanya aku nggak pakek jaket. Eh, taunya... tempatnya rame banget," terangku tanpa mendongak menatapnya.
Sean nampak diam sembari melingkarkan tangannya di pundakku lalu bersuara, "terus kenapa rambutmu harus diiket tinggi-tinggi tadi? Jarang banget aku lihat rambut kamu dimodel-model gitu. Buat apa?"
"I-itu-ya kan, em... pengen tampil beda. Apalagi mau foto kan?"
Sean berdecak. "Kamu tuh..."
"Kenapa?" tanyaku penasaran seraya menatapnya meminta penjelasan.
"Heeeh... Kamu enggak ngerti kalau kayak gitu, cowok-cowok bisa ngebayangin yang aneh-aneh! Sudahlah, besok lagi enggak usah dikucir kayak gitu! Ngeri lihatnya, Nadea!" belum sempat aku membuka mulut Sean menyambung katanya, "Elisa tadi makan di mana ya? Perasaan waktu kita tinggal dia masih di situ kan, De?" sembari menunjuk tempat yang memang sempat disinggahi pacarnya.
"Mungkin masih di tempat lain, atau ke toilet."
"Ya udah, kamu duduk dulu. Aku telpon dia sebentar." aku pun mengangguk setuju.
Tapi, dari arah dalam, paling ujung kafe, sosok Elisa muncul. Gadis itu keluar sambil membenahi rambut dan roknya secara bergantian. "Sean... itu, Elisa dateng..." aku menarik-narik tangannya yang tengah memegang ponsel. Sean berbalik kemudian.
"Sean... udah selesai kan? Ayok pulang, aku udah dicariin."
"Tunggu bentar ya... Nino masih di kamar mandi. Kita temenin Dea di sini dulu."
"Tapi aku udah dicariin orang rumah!" pekik Elisa dengan raut wajah jengkel yang kentara.
°•°•°
Makasih sudah menyimak :) makasih banyak juga sudah vote sama komen :* kalau bisa vote terus tiap aku update ya, biar banyak yang mampir XD
Selalu jaga kesehatan buat kalian! =)
See you :D
God bless you <3