Chereads / The Curse of Warlord / Chapter 8 - Menang, Namun Kehilangan

Chapter 8 - Menang, Namun Kehilangan

Langit dengan malu-malunya semakin menunjukkan semburat cahaya dari ufuk timur, setelah malam panjang mereka lalui dengan terjaga, regu Jeon masih tak kenal lelah bejalan menyusuri hutan belantara. Jalur hutan sengaja mereka pilih untuk rute terpendek menuju pantai yang menjadi tujuan mereka, regu Rald dan Jimmie sudah berangkat lebih dahulu, melalui jalur timur dan barat. Sedang Josh sudah berangkat sehari sebelum mereka, guna memasang ranjau sepanjang jalan yang kemungkinan akan dilewati oleh musuh. Begitulah spesialis Josh, menanam ranjau yang sering kali menelan korban berupa ban truk yang meledak kuat.

"Segera tempatkan posisi kalian, aku yakin mereka sudah melepas beberapa kutu disini, cari yang lain!" titah Jeon.

Samar-samar terdengar pergesekan benda tajam bersaut dengan teriakan dan seruan. Jeon yakin regu dari Rald dan Jimmie sudah bertemu lawan, sehingga ia pun harus segera melancarkan aksinya.

"Ayo," Jeon mengulurkan lengannya kearah Rose yang masih duduk diatas pohon yang sudah ambruk. Perlahan Rose meraih uluran tangan Jeon dan mengikuti langkah lelaki sialan super mesum bin cabul itu.

"Kita akan melakukan dimana?"

Jeon hanya diam, tak ada sautan, langkahnya semakin lebar dengan cengkramannya pada lengan rose yang semakin erat. Udara pagi masih sangat dingin, bahkan pakaian yang mereka kenakan sama sekali tidak menangkal rasa dingin yang menusuk. Namun, cengkraman hangat tangan Jeon bak mengaliri aliran listrik yang menghidupkan pemanas dihati Rose. Jantungnya terus berdetak kencang bersamaan dengan langkah kakinya yang tergopoh.

Rose menggeleng, saat pikiran liar mulai menghinggapi hatinya, sejak kapan ia seberdebar ini hanya untuk melakukan ritual itu? Biasanya ia bahkan tak peduli, yang ia fokuskan hanya segera menyelesaikan ritual penambahan tenaga dan segera berperang. Pasti karena Rose tidak ikut berperang, ya! pasti!

"Hey! Sakit!" Ringis rose seraya menghempas lengan Jeon "Aku tak mau melakukan disini! Siapa yang menjamin kalau tak ada yang melihat kita?"

"Tak ada yang menjamin, jadi lakukan dengan cepat!" Jeon berhenti tepat didepan batu besar, melepas kain yang melilit badannya dan dihempaskan ketanah.

Entah mengapa Rose juga heran, lelaki dihadapannya ini begitu menyukai shirtless, sehingga hanya kain saja yang ia lilitkan asal pada badannya. Oke badannya memang bagus, terbentuk dengan indah dan pas, dadanya terlihat berotot dan kuat, namun memiliki pinggang yang kecil. Jika harus menggambarkan badan yang ia dapatkan dengan perjuangan keras itu, rasanya Rose tak sanggup menjabarkannya dengan tepat. Terlebih otot bisepnya, begitu kekar dan kencang.

"Kau atau aku yang memimpin?"

Rose terkesiap dan tertegun sejenak kala menatap mata Jeon, hanya raut serius yang ia tangkap dari sorot itu, tatapannya  lurus dan dalam tanpa kejenakaan. Badan Rose semakin menegang saat Jeon melangkah semakin mendekat kearahnya, bagai terhipnotis, Rose hanya diam kaku saat tangan Jeon meraih ikatan pada baju Rose. Melepasnya dengan sekali hentakan dan meluncurkan kain penutup badannya hingga jatuh tepat diantara kedua kakinya.

"Kita tak punya waktu, sungguh."

Badan Rose melayang setelah ucapan itu menggelitik telinganya, badannya terhempas dengan perlahan pada tanah yang hanya dilapisi oleh kain. Suasana yang akan pertama kali Rose rasakan, bercinta tepat menghadap langit, bercinta dengan pemandangan hutan dan diiringi suara binatang. Pasti Tuhan sedang mengejaknya sekarang, rasanya kekesalan semakin menyelimuti hati Rose, saat ini ia benar-benar merasa ditelanjangi bulat-bulat. Bukan hanya oleh Jeon namun akan keadaan, serta makhluk apapun yang berada disini. Bahkan tak ada sehelai atap-pun yang menutupi mereka, bahkan sebujur dinding yang menghadang pun tidak.

Mata Rose kini teralihkan pada sosok Jeon yang sudah mengungkungnya, satu siku lelaki itu terlipat disisi kanan kepala Rose. Nafas Jeon terdengar memburu dengan kecupan lembut diantara leher Rose yang berkali-kali membuatnya menggelinjang. Udara dingin perlahan menipis, bergantikan kehangatan yang perlahan datang.

Rasanya Rose ingin berteriak lantang, mengumpati lelaki diatasnya yang entah mengapa sangat piawai membuatnya tak berkutik, namun Rose memilih bungkam, dengan menggigit bibirnya rapat.

"Jangan lakukan sendiri," bisik Jeon lalu melumat habis bibir Rose.

Double sialan!

Jeon Ararich adalah lelaki penuh trik, lelaki yang selalu memiliki segala macam taktik jitu, terbukti dengan langkahnya yang selalu tepat saat merampok. Namun tak hanya itu, Jeon Alarich juga memiliki bibir yang mematikan, bahkan Rose selalu dibuat terbuai dan dimabukkan oleh bibir lelaki itu. Seakan akal sehatnya hilang entah kemana saat lelaki itu menciumnya, Rose seakan bukan dirinya saat Jeon menjelajahi bibirnya, ia bahkan selalu pasrah dan menerima apapun yang lelaki itu lakukan, bukan dirinya yang biasanya!

Tidak!

Rose mendorong dada Jeon penuh tenaga, walau Jeon menatapnya bingung, namun lelaki itu hanya menurut saat Rose membalik keadaan. Rose terbiasa memimpin, dan kini ia harus memimpin pula, ia tak mau selalu kalah dengan lelaki ini. Walau hanya menang dalam bercinta, setidaknya ia harus memimpin!

"Baiklah sayang, kau pemeran utamanya." lirih Jeon pasrah, ia harus menjemput pelepasan secepatnya.

Rose seakan tak sadar, dengan cekatan ia segera memposisikan dirinya, suara binatang yang terdengar saut-sautan dan tumpang tindih, kini berbunyi dengan merdunya. Bersamaan dengan suara lembut dari Rose dan geraman dari Jeon yang seakan memberikan dukungan untuk Rose agar segera membawa mereka mencapai tujuannya.

Satu geraman panjang Jeon menjadi penutup aktifitas mereka, dan lagi-lagi Rose dibuat kesal, saat dirinya merasakan lemas pada badan dan sekujur tulangnya. Namun lelaki bernama Jeon ini malah seakan terisi penuh daya hidupnya, rasanya daya hidup Rose ikut ditarik dan direnggut habis oleh Jeon sialan ini!

"Segera pakai pakaianmu, ayo." diusap kening Rose yang berkeringat, dikecup lembut dan dibantu Rose mendudukkan diri.

Rose hanya mencebik kesal dan pasrah ketika Jeon memakaikan pakaiannya dengan telaten. Jangan tanyakan apakah Jeon tahu cara memakaikan segala pakaian Rose, karena jawabannya pasti iya! Jeon sangat tahu, entah sudah berapa kali lelaki itu yang memakaikan pakaian Rose, hingga kini mungkin sudah ahli?

Walau Rose kesal, walau ia sering merasa rendah, namun perlakuan lembut Jeon selepas bersetubuh, terus membuat Rose melunak. Lelaki itu berubah lembut, bahkan tindakannya sangat berbeda dengan dirinya yang biasa. Seakan, lelaki itu sedang meminta maaf melalui tindakan yang terselubung.

"Setidaknya biarkan aku istirahat bangsat!" Gumam Rose lirih.

Senyum lebar terukir dibibir Jeon, diusap bibir Rose pelan, sungguh bibir wanita itu selalu membuatnya pusing, ingin rasanya menggigitnya ketika ucapan kasar yang keluar dari sana, dan ingin rasanya mengecupnya tanpa jeda ketika bibir itu tersenyum dengan manisnya. Yang pasti, Jeon ingin selalu menyatukan bibirnya dengan bibir wanita sexy ini, tanpa ingin dipisahkan.

"Kau mau disini sendiri dan ditiduri oleh macan?"

"Brengsek!" Desis Rose sinis, matanya sudah memicing dengan sadisnya.

"Awww," gumam Jeon dengan dramatis, namun bersamaan dengan tawa renyahnya saat Rose memukul beberapa kali mulut Jeon.

Andai badan Rose tak lemas, sudah puluhan pukulan ia layangkan pada mulut sialan itu! Kini semua orang akan tahu mengapa Rose begitu kasar dan bengis pada Jeon. Semua karena mulut lelaki itu yang seakan dilumuri oleh ghost pepper, ucapan yang keluar dari sana begitu pedas dan menyebalkan. Mungkin didalam mulut lelaki itu juga tersarang beberapa sampah? Hingga ucapannya sering kali terdegar kotor dan cabul?

Rose kembali pasrah saat badannya direngkuh kedalam gendongan Jeon, dan apa yang ia rasakan selanjutnya sudah tak membuatnya kaget lagi. Dimana Jeon berlari kencang seakan beban Rose tak terasa sedikitpun membebaninya, sebegitu besar kekuatan Jeon saat setelah mereka bercinta. Rose tak mau tahu lagi, yang ia butuhkan saat ini hanyalah memejamkan matanya dan tidur!

######

Mata Jeon menyapu penjuru hutan yang kini begitu ramai, bukan karena pesta, dihadapannya sekarang peperangan telah terjadi. Mata Jeon mencari badan bertali kuning, beberapa diselimuti darah, namun rasanya ia datang tepat waktu, karena belum ada nyawa yang melayang dan menyisakan raga yang kaku.

"Jaga dia!" Tegas Jeon begitu menahan lengan lelaki berikatkan kain kuning dilengannya yang berdiri tak jauh dari mereka.

Beberapa detik Jeon menatap lelaki yang kini membungkuk hormat. Lalu beralih pada Rose yang sudah terlelap beralaskan rumput, wanita itu bahkan sanggup tidur nyenyak disaat peperangan sedang terjadi, luar biasa!

"Baik ketua!"

"Jeon! Cepat!"

Jeon segera mengalihkan tatapannya pada Josh yang kini sedang kualahan melawan beberapa lawan sekaligus.

Tak ada waktu! Jeon harus cepat, nyawa adalah yang utama!

Ditatap sekali lagi Rose yang masih terlelap damai, ia akan cepat, dan segera membawa Rose tidur di ranjang nyaman mereka.

"Apapun yang terjadi, lindungi dia dengan nyawamu, mengerti!"

Lelaki dihadapan Jeon mengangguk, dan setelahnya Jeon berlari menuju gerombolan manusia yang sedang bertarung. Lagi-lagi ia hanya memamerkan kekuatan tubuhnya, hentakan tangan dan kakinya bekerja seirama menyambut badan musuh yang seketika terkapar akibat kekuatan penuh Jeon.

Rasanya kini ia merindukan pedang Rose, pedang yang memberinya rasa percaya diri lebih. Namun pedang cantik itu masihlah ditangan Christ, saat otak Jeon mengingat Christ, matanya memicing, gerakannya otomatis menjadi semakin cepat, bahkan kini seutas tombak telah ia curi dari lawan. Dengan mudahnya tombak itu seakan sedang bercocok tanam kedalam badan lawan, menancap membuat lubang dan menariknya, begitu terus berlangsung bagai tanpa jeda.

Badan Jeon terlumuri darah, kala tombak bermandikan cairan merah itu menghunus perut musuh yang kini dihadapannya, dan kembali darah memuncrat dari badan itu kala Jeon menarik tombaknya. Ditatap sekeliling yang mulai sepi, hanya lengan berkain kuning yang wira-wiri, hingga suara lengkingan terompet mengalihkan fokus Jeon.

Tatapan Jeon, Josh, Rals dan Jimmie otomatis saling cari dan bertemu, setelahnya mereka melangkah mendekati sumber suara, saat suara terompet kembali melengking kencang.

Satu seringaian melengkung dari bibir Jeon saat melihat pancingnya menangkap sebuah mangsa besar berroda. Sebuah truk mangkrak tak bergerak diatas tanah yang sudah Josh tanami ranjau.

"Mencari siapa tuan?"

Jeon kembali menyeringai saat menatap ekspresi kesal lelaki yang masih berdiri kaku didekat truk, dapat Jeon lihat dengan jelas lelaki itu tengah melepas tarik nafas dengan susah payah.

"Akhirnya kita bertemu lagi..." Vante menyeringai lebar, dengan sebilah pisau yang ia jilati, seringaiannya berubah menjadi tawa lantang yang membuat Jeon mengatupkan rahangnya rapat.

"...Lelaki lemah!" tambah vante dengan wajah penuh ejek.

Dari atas truk turun beberapa orang dengan persenjataan lengkap, tak begitu banyak memang, karena mungkin hanya itulah sisa dari pasukan dari Vante. Setelah banyak dari merek gugur akibat peperangan yang baru saja terjadi.

"Hanya segitu pasukanmu?" Cibir Jimmie dengan senyuman remehnya "aku bertanya-tanya, apakah kau masih akan bicara omong kosong setelah pasukanmu habis?" dengan serempak keempatnya kini saling menularkan tawa untuk mengejek Vante.

Sedangkan lelaki yang diejek kini tersenyum kecut penuh penekanan. Seakan menerima begitu saja cibiran yang jelas-jelas ditujukan untuknya.

"Ahhh! Atau kau akan kabur lagi bagai kutu?" Tambah Jeon.

"Sialan, hentikan mulut menjijikkan kalian! Aku lelaki! tak ada waktu untuk bergosip!" kesal Vante, namun wajahnya dengan susah payah ia tekan menjadi tak berekspresi.

"Bagaimana?" Satu tepukan mendarat dipundak Vante saat Abercio turun dari truk.

"Plan B." gumam Vante.

Abercio mengangguk, dan setelahnya sisa dari pasukan yang mereka miliki berlarian menyerang Jeon, Josh, Rald dan Jimmie. Tak terkecuali Vante, tujuannya adalah menghunuskan anak panahnya pada jantung Jeon, segera Vante mengangkat busur panahnya, matanya memicing dalam, membidik sasaran yang sedang bergerak kesana kemari.

"Matilah kau bangsat sialan!" Geram Vante seraya melepas anak panahnya.

"Arrrgghhhhhh!!!" Geram-an kembali meluncur dari mulut Vante, bersamaan dengan tangannya yang menangkup perutnya.

Satu besi anak panah menancap disana, cairan merah seketika merembas dari baju yang ia kenakan. Matanya menatap lurus kearah sasarannya, meleset! Sialan!

"Vante!"

Persetan! Vante segera berlari dengan tergopoh-gopoh, tatapannya sesekali terarah pada jeon yang kini menatapnya tajam. Langkah vante semakin dekat dan dengan sigap naik keatas mobil tanpa atap yang kini sudah menampung Abercio, anak buahnya dan wanita yang ia cari-cari.

Rose.

Seringaian lebar kembali tercetak dari bibir Vante saat mobil berlalu menjauhi Jeon yang tak kenal lelah masih berlari.

Slappp!

Seutas tombak melintas melewati sisi kiri telinga Vante, beruntung ia sedikit mengelak, jika tidak mungkin sekarang tombak itu sudah menancap tepat dikepalanya.

"Bodoh! Arrgghhh!" Geram Vante saat meloloskan anak panah dari perutnya.

Kembali ia arahkan anak panahnya pada busur, matanya kembali memicing mengunci sasaran utamanya, Jeon!

Anak panahnya meluncur cepat, mendarat  pada dada atas Jeon, walau sasaran Vante tak tepat pada jantung Jeon, namun anak panahnya cukup membuat langkah jeon terhenti.

"Selamat tinggal pecundang!" Vante melambaikan tangannya dengan senyuman lebar.

Jeon kembali berlari, namun langkahnya kalah cepat dari roda bermesin dihadapannya. Satu teriakan lantang ia lengkingkan bersamaan dengan ambruknya lututnya menyentuh tanah. Memang mereka menang, membawa pulang harta dan bahan pangan, namun disaat bersamaan mereka juga ikut kehilangan harta, Rose.

"Bangsat!!!!!!"