Rose mengerjapkan matanya, rasa perih menyeruak begitu kesadarannya menyatu, rasa sakit semakin membelai sekujur badannya saat gerakan pelan ia lakukan. Namun dengan segera rose melebarkan matanya begitu kilasan ingatan bagaimana rasa sakit akibat hantaman kencang menumbuk kepalanya sebelum dirinya tak sadarkan diri.
Mata Rose menatap lurus, menyambut cahaya matahari yang mencuri tampak pada celah dedaunan rimbun. Saat ini ia masih berada dihutan, setidaknya dengan satu teriakan Jeon akan menghampirinya. Namun saat Rose berusaha menggerakkan tangannya, rasa kebas menyelimuti tangannya, Rose yakin saat ini ia tengah terikat, dan kebas pada tangannya akibat kedua tangan yang terikat dibalik punggungnya.
"Roseanna, putri tunggal Christ sang penguasa." kekehan sinis terdengar nyaring, bersamaan dengan suara langkah kaki yang semakin mendekat.
"Akhhhh!" ringis Rose dengan geliatan kesal, matanya melotot menatap lelaki yang kini menginjakkan sepatu kulitnya tepat pada lehernya. Menekannya kencang hingga rasa sesak semakin menggerogoti habis udara didalam paru-parunya.
Rose hanya bisa menggeliatkan badannya, dengan tatapan mata yang memicing tajam menatap lelaki yang seakan tak punya hati nurani. Lelaki itu malah bahagia saat melihat Rose terengah akibat kekurangan nafas. Kedua tangan Rose terikat, begitupun dengan kedua kakinya, hanya mata yang dapat ia gunakan untuk menyorotkan tatapan tajam, hidung untuk bernafas, dan mulut untuk mencaci, namun Rose tak mau gegabah, ia memilih bungkam terlebih dahulu.
"Ahhh..... maaf, aku lupa kau wanita," ringis lelaki itu dengan senyuman meremehkan.
Segera Rose meraup rakus udara yang kini dapat ia hirup dengan bebas saat kaki dari lelaki itu telah beranjak dari lehernya. Lelaki yang tak Rose ketahui siapa itu, kini menundukkan diri berjongkok mendekat kearah Rose yang masih terkulai diatas tanah.
"Namun kau tetap harus mati!" seringaian lolos dan melengkapi rona kejam dari lelaki dihadapan Rose.
Seketika Rose sadar, saat ini pasti ia berada amat jauh dari Jeon, pasti lelaki sialan dihadapannya ini adalah musuh yang harusnya Jeon kalahkan. Tapi mengapa ia bisa berakhir disini? Ia hanya ingat jika ia tertidur setelah menyalurkan kekuatan pada Jeon, lalu tiba-tiba tersadar saat mendengar suara berisik disekitarnya. Namun hanya sekejap karena tiba-tiba pukulan kencang menumbuk belakang kepalanya, selanjutnya....
"Ingatlah sesuatu Rose!" Teriak Rose dalam hati.
"Akkhhhhhhh!" Rose memekik kencang saat meraskan perih yang kembali menyerang lehernya "Brengsek.." lirih Rose pelan, namun ekspresi wajahnya sedari tadi tak kendur. Mata dan wajahnya saling menyesuaikan untuk memberikan seranganĀ tatap pada lelaki dihadapannya.
Rose mengernyit dalam, matanya terpejam rapat saat merasakan perih yang menjalari lehernya, bersamaan dengan rasa geli akibat cairan yang mengalir lambat pada lehernya. Jika tadi lehernya hanya merasakan perih, kini perih ia rasakan bersamaan dengan terangkatnya besi tajam berupa pisau yang sudah berbalut cairan merah, darah tentu saja.
"Kalau kau memang lelaki, lepaskan ikatanku dan ayo bertarung, bangsat!" Tegas Rose dengan badan yang terus meronta, rasa perih dilehernya tak lagi ia hiraukan, apapun harus ia lakukan untuk bertahan hidup.
Ini bukan hanya hidupnya, nyawa yang sekarang bersarang ditubuhnya adalah tumpuan untuk orang lain juga. Jeon, bagaimana dengannya jika Rose mati? Bagaimana nasib desa tanpa ada Jeon? Dan Ayah..
Nafas Rose semakin memburu, matanya berkilat ketika bertemu tatap dengan mata lelaki dihadapannya. Lelaki itu hanya diam dengan seringaian yang seakan pajangan yang tak luntur dari wajah sialannya. Luka disudut bibirnya begitu mengeramkan, menambah kesan kejam pada wajah tak berwelas asih itu.
Kembali Rose meronta dan mendesis kesal saat pisau mendekat kekening Rose, dapat ia rasakan besi dingin itu menyusuri pelipis hingga pipinya. Tusukan kecil terasa disana, namun tatapan Rose belum melemah. Matanya masih berapi-api seakan siap menerjang mangsanya jika saja tangannya kini terbebas.
"Sebenarnya kau lumayan..." lirih lelaki itu masih menusuk-nusuk pelan pipi Rose seakan sedang bermain-main. "Namun sayang, kau hanyalah jalang dari Jeon sialan itu! Dan jika kau mati...." lelaki itu memejamkan kedua matanya sekejap, memiringkan kepalanya dan menjulurkan lidahnya "Cepat atau lambat dia juga akan mati, hahaha kutukan yang sangat menarik."
"Brengsek! Dasar banci! Lepaskan aku!!" Teriak Rose dengan berontakan tak kalah kencang, tusukan pada pipinya semakin terasa dalam.
Damn! Dari mana lelaki ini tahu kutukan itu?
Rose begitu benci saat dirinya lemah, super duper benci saat sedikitpun ia tak dapat bertindak apapun, seperti saat ini! Sungguh rasanya Rose kesal, andai ia tak terikat, akan Rose kerahkan kekutannya hingga tetes terakhir. Rose lebih rela mati namun berjuang, daripada mati sia-sia tanpa melakukan apapun, seperti tikus bodoh tak berdaya yang terjerat perangkap.
Sekejap Rose memeras otak untuk berfikir, setidaknya ia harus mengulur waktu, pasti Jeon akan menyusulnya, pasti!
"Apa maumu?" Seketika pergerakan Rose melemah, matanya seakan kehilangan sorotan tajamnya dan hanya menyisakan tatapan lurus kearah lawannya.
"Mauku?" Lelaki itu terkekeh pelan, wajahnya berakting seolah sedang berfikir keras, dengan ujung pisau yang sengaja ia tempelkan pada pelipisnya sendiri dengan mata terpejam "Mengajak negosiasi?"
Lelaki dengan luka disudut bibirnya itu mengembangkan senyuman lebar, berdiri dari jongkoknya dengan tatapan yang masih terarah pada Rose.
"Baiklah....." desahnya panjang "Mari lakukan negosiasi, sebelum itu..." lelaki itu melempar pisaunya dan melempas kancing bajunya, "Tidurlah denganku"
######
Nafasnya mulai putus-putus, dengan bulir keringat yang seakan memandikannya dibawah teriknya matahari, matanya masih menatap jalanan tanah yang membekas roda kendaraan besar. Entah sudah berapa lama Jeon berjalan dan berlari, lelah tak membuatnya menyerah, walau tenaga yang Rose berikan tadi pagi seakan mulai memudar. Hingga langkah kaki Jeon semakin lemah, namun sorot matanya sama sekali tak mengisyaratkan keputusasaan.
Hari ini adalah hari terceroboh untuknya, setelah meninggalkan Rose yang tertidur dalam pengawasan orang lain, kini ia berlari mengejar mobil yang membawa Rose. Tanpa rencana, tanpa pasukan, hanya bermodal diri sendiri beserta pedang yang masih pada tempatnya, padahal Jeon yakin jika efek dari kekuatan yang diberikan Rose sebentar lagi akan habis. Bukankah sama saja ia memberikan nyawa secara suka rela pada lawan?
Namun apa bedanya? Jika rose tersakiti atau kenyataan buruknya Rose mati, apakah Jeon masih bisa hidup dengan normal? Apakah Jeon akan menjalani kehidupan dengan baik tanpa beban dan rasa bersalah?
Akhirnya langkah Jeon tumbang, kedua lututnya roboh menyentuh tanah dengan pasrah. Otaknya bekerja keras memikirkan kenyataan baik dimana Rose pasti akan selamat! Namun, rasanya tak masuk kedalam nalar jika Rose masih selamat, ditambah wanita itu tadi terikat, Jeon yakin betul jika melihat Rose terikat.
"Brengsek! Brengsek! Brengsek!" Gumam Jeon dengan mata memerah menatap jalanan tanah yang masih tak berujung.
Ia begitu mengkhawatirkan Rose, sungguh, dan jika ditanyakan alasan mengapa ia begitu khawatir?
Entah, Jeon pun tak tahu, ia tak tahu apakah ia peduli pada Rose dan ingin wanita itu selamat dan kembali kepelukannya, atau karena membutuhkan Rose untuk kelangsungan hidupnya karena kutukan sialan itu? Entahlah!
Jeon kembali berdiri dan berlari, mungkin ia akan membutuhkan waktu seharian untuk menuju desa musuh bebuyutannya, namun Jeon akan tetap pergi, walau ia sendirian, walau ia akan mati nantinya, ia akan tetap pergi!
######
"Apa kau bilang????!"
Christ melotot tajam, ia yang sejak tadi sedang mengasah pedang Rose pun melangkah cepat menuju lelaki yang diutus untuk menyampaikan pesan bahwa Rose diculik.
"Bangsat! Apa yang kalian lakukan sampai anakku diculik hah? Katakan!" Teriak Christ seraya mengayunkan pedang Rose, menyayat lengan lelaki tegap yang hanya diam mematung dengan bibir yang terkatup rapat menahan sakit.
"Katakan bangsat sialan!" Lagi, pedang milik Rose berayun mengenai lengan lelaki yang hanya diam tak berkutik, seakan tak mempunyai nyali untuk berucap.
"Dimana Jeon?" Geram Christ seraya melempar pedang Rose ketanah, tatapannya begitu tajam menyayat lelaki itu.
"Katakan! Dimana Jeon sialan itu! Apa dia mati?!"
"Jeon pergi mengejar Rose," tiba-tiba suara lain datang mendekat kearah Christ yang masih diliputi emosi. Kabut hitam seakan mengelilingi Christ yang ingin segera melahap siapapun yang ada disekitarnya. Rald lah yang berjalan mendekat kearahnya, membuat Christ kian kesal, bagaimana bisa lelaki itu kembali saat putrinya sedang diculik musuh.
"Brengsek! Siapkan pasukan! Kita bertarung hari ini juga! Siapkan kendaraan! Senjata dan apapun itu, cepat!!!!"
Rald mengangguk saat lelaki dihadapan Chrus menatapnya menunggu perintah, dan dengan satu tangan yang menangkup lukanya yang berdarah, lelaki itu berlari dengan kencang menjauhi mereka.
"Pasukan lain sudah menyusul Jeon, kurasa ketua dan aku akan cukup untuk menjaga desa." ucap Rald dengan kedua tangan saling taut didepan badannya, dan tatapan menunduk tak berani menatap Christ.
"Tidak! Aku akan pergi! Tak akan kubiarkan apapun terjadi pada putriku, akan kusisakan beberapa orang untuk menjaga desa, dan kau! Tetaplah disini!" Christ berjalan meraih pedang Rose dan menjauh dari Rald yang kini menatap kepergian Christ.
"Perang besar akan segera dimulai." lirih Rald dengan kedua tangan terkepal.
"Rald?"
Seorang wanita memanggilnya, dan senyuman Rald menggembang begitu melihat wanita tersebut. Langkahnya terasa ringan mendekati wanita yang kini masih bersembunyi dibalik pohon besar.
"Apa benar yang kudengar?" Lirih wanita itu dengan wajah penuh kekhawatiran.
Diusap rambut wanita itu lembut, senyuman Rald masih terkembang dibibirnya, bersamaan dengan satu anggukan mantap darinya.
"Tenang saja, aku akan melindungimu, apapun yang terjadi, Sooya.."
"Kumohon... jangan bunuh Ibuku, aku... a-aku tak-"
"Ssshhhttt... tenanglah," Rald memeluk wanita yang dipanggil Sooya itu, menenangkan Sooya yang kini bergetar hebat "Semua akan baik saja."
Semua akan baik-baik saja? Tak masuk akal, ia bahkan tidak yakin apakah Christ akan berwelas asih. Rose adalah segalanya, rasanya desa itu akan hancur akibat amarah Christ. Namun, apa yang bisa ia katakan pada Sooya selain menenangkan? Tidak ada.