Linra tertidur cukup lama dimana sudah selesai acara pernikahan tersebut dan hari mulai larut.
Riota yang menunggu Linra bangun sambil duduk dan bermain Video Game di komputernya, hatinya merasa sedikit khawatir.
" Aaaahh... Kenapa loe gak bangun-bangun? "
Sampai datang Mamah dan Papahnya Riota ke dalam kamar, membuka pintu secara perlahan.
Riota langsung menghentikan bermain gamenya dan melihat mereka.
" Papah, Mamah. "
Mamahnya Riota memasang wajah khawatir.
" Riota Sayang. Ada apa dengan istri kamu ini? Kenapa dia belum juga bangun? "
Riota pun berdiri dari kursinya dan menghampiri kedua orang tua nya yang sedang berdiri di dekat tempat tidur lalu tatapan mereka tertuju kepada Linra.
Papahnya Riota berkata.
" Sebenarnya ada apa ini? Apa kamu menyembunyikan sesuatu dari kami, Riota? "
Riota pasti sudah tau kalau Papahnya itu akan bertanya demikian, karena dirinya paling teliti.
Riota bingung menjawabnya dan ia duduk di samping kiri Linra.
" Ehhh.. Mnn.. "
Mamahnya Riota ikut duduk di samping Riota berada.
" Cerita saja, Sayang. Mamah dan Papah tidak akan marah, karena akhirnya kamu menikah. Ayo, ceritakan kepada kami. "
Riota menatap dalam kedua mata Mamahnya dan berekspresi seakan bingung.
" Ehhhh..benar tidak marah? "
Mamah dan Papah Riota saling mengangguk dengan wajah tersenyum.
Papahnya Riota bicara.
" Ceritakan kepada kami, Riota. "
Riota pun sejenak melihat Linra yang masih terlelap tidur dan lalu ia mulai bercerita tentang dari obat, kejadian yang ia lihat dan pernyataan dari Dokter Martha.
Saat di ceritakan hal itu, Senyuman dari Papah dan Mamah Riota perlahan hilang dan malah terkesan memasang wajah sedih.
" Itu yang aku dapatkan dan informasi dari Dokter Martha tadi, tapi kalian jangan bilang-bilang jika sudah tau masalahnya. "
Mamah dan Papah Riota saling menatap.
Lalu Mamahnya Riota melihat ke arah Linra berada.
" Jadi perempuan yang kamu sukai ini ternyata sedang sakit dan tidak bisa hidup normal tanpa bantuan obatnya. Ya tuhan. "
Papahnya pun bicara.
" Tapi kamu yakin memilih dia? Dengan apa yang sudah kamu ketahui walau dia menutupinya. "
Riota memegang telapak tangan kirinya Linra dan menggenggamnya sambil melihat Linra.
" Iya, aku memilih dia. "
Padahal dalam Hatinya Riota, ia hanya ingin menghindari perjodohan itu agar tidak lagi ikut hal yang di lakukan oleh kedua orang tua dirinya.
Mamah Riota memegang pundak kanannya Riota dan berkata saat di sisinya Riota dengan wajah muram.
" Kalau begitu jadinya, tentang memberikan cucu untuk kami, Mamah akan sabar menunggunya, melihat jika memang dirinya sakit-sakitan. "
Riota dalam hatinya tersenyum lebar karena hal tersebut.
" Iya, Riota juga berfikir demikian, Mamah. "
Mamah Riota tersenyum tipis dan berkata.
" Sepertinya Mamah harus sabar, tapi tidak apa-apa, berapa pun cucu yang nanti kamu miliki, Mamah sudah senang akhirnya kamu bisa menikah. "
Riota tersenyum dan malam itu menjadi sebuah kisah pilu untuk kedua orang tua Riota, namun mereka satu sisi juga gembira dengan akhirnya Riota menikah.
Walau hanya sandiwara.
Paginya Riota terbangun dimana sudah tidak ada Linra di samping tempat tidurnya.
" Linra... "
Riota melihat sekeliling kamar, namun tidak ada Linra.
Riota bangun dari tempat tidur dan menuju lantai bawah untuk memeriksa apakah Linra ada di bawah.
Saat menengok ke arah dapur, ternyata Linra sedang duduk melamun di meja makan dapur dengan pakaian yang sudah berbeda, yaitu memakai Jump suit dengan atasan kaos lengan panjang putih.
" Kenapa loe di sini? Hei, Linra. "
Sontak Linra yang sedang melamun itu tersadar saat mendengar suara dari Riota.
" Ehh.. Oh.. Kamu, Riota... Kamu sudah bangun? "
Riota lalu ikut duduk di samping Linra duduk.
" Ngelamunin apa sih loe? Loe sendiri bangun dari jam berapa? Sampai gue khawatir tau gak, takutnya loe gak bangun lagi. "
Linra lalu tertunduk dan memainkan cincin emas yang sebagai tanda dirinya telah terikat oleh Riota di jari manis kirinya.
" Jangan berlebihan... Dasar kamu. "
" Terus, kenapa loe melamun di sini? Apa ada masalah lainnya? Bukannya masalah kita telah selesai dan loe bisa fokus ke bisnis kuliner lalu gue tenang dari perjodohan itu. "
Linra melirik ke arah Riota dengan wajah muram.
" Aku sudah tau masalah kita selesai, tapi aku masih kepikiran dengan apa yang aku impikan saat tidur tadi. "
Riota balik melihat wajah Linra dan tersenyum.
" Mimpi? Emang loe mimpi apa sampai bisa melamun seperti ini? Jangan-jangan loe mimpi berhubungan dengan gue yaaa... Ihh. "
Linra menampar pipi kiri Riota.
) Plakk (
" Bodoh... Bukan itu.. "
Riota tersenyum dan tidak merasakan sakit sedikit pun di tampar oleh Linra.
" Tamparan loe itu lembut banget sampai gak terasa, terus apa kalau bukan itu? "
Mata Linra melirik-lirik ke beberapa arah dan terlihat malu-malu untuk cerita.
" A-Aku bermimpi ha-ha-ha--- "
Riota mengerutkan dahinya dan bibirnya sedikit ia rapatkan ke arah atas.
" Ha-ha-ha apa sih ? Kenapa loe malu-malu begitu ceritanya? Yang jelas kalau mau cerita. "
Linra lalu menatap serius Riota dengan kedua pipi memerah.
" A-Aku bermimpi kalau diriku... Ha..ha.. Hamil anak kamu dan .... Itu tampak seperti nyata... Bisa bayangkan aku hamil ? "
Riota awalnya terdiam, namun setelah itu ia tertawa terbahak-bahak.
" Wahahahaha... Loe hamil? Hahahaha yang bener aja loe. Gak mungkin.. Itu cuma mimpi doank, Linra. "
Linra memasang wajah cemberut dan menatap kesal Riota.
" Nyesel aku cerita sama kamu. Udah lah, aku juga males bahas mimpi lainnya dengan kamu, walau kamu juga ada di mimpiku itu. Permisi, aku ingin masak. "
" Hahaha.. Hamil... Mana mungkin itu terjadi, loe sendiri aja ngakui adalah laki-laki.. Hahaha.. "
Riota masih tertawa mendengar hal itu dan membayangkannya.
" Sudah.. Lupakan apa yang tadi aku bicarakan. Sebaiknya kamu mandi lalu pergi kerja, agar aku bisa sendiri dan memantau bisnis ku ini. "
Tiba-tiba Linra mengingat sesuatu.
" Riota... Kamu ingat spanduk yang kita pesan? "
Riota berhenti tertawa dan mengingat hal yang di bicarakan oleh Linra.
" Oh iya.. Besok minggu kita ambil. "
Linra lalu membuka lemari pendingin dan mengambil beberapa bahan makanan dan bumbu.
" Kamu saja yang ambil yah. "
Riota berdiri dari kursinya dan menghampiri Linra.
" Enak aja, sama loe lah. Kita kan udah nikah. Gak liat cincin imitasi yang gue beli di jari kita berdua? "
Linra menjawab dengan cepat.
" Tapi ini hanya sandiwara. Iya aku tau ini imitasi, sudah kamu saja yang pergi, aku malas. Nanti kamu goda aku lagi. "
Riota tiba-tiba memeluk tubuh Linra dari belakang dan mencium kepala atasnya.
" Mcch.. Wajar lah, loe kan kayak perempuan, gue jelas mau pamer donk di hadapan para kaum gue... Karena gue bisa rangkul dan memeluk tubuh seorang perempuan, yang dimana gue sangat inginkan dari sejak lama. "
Linra menghadap ka belakang atas untuk melihat wajah Riota yang ada di atas kepalanya itu.
" Sepertinya kamu memang harus di bawa ke rumah sakit psikolog deh. Kenapa kalau dari dulu kamu ingin? Tidak kamu nikahi yang di jodohkan itu. "
Riota menjawab.
" Bagaimana gue mau menikah, Cebol. Gue udah cerita, kalau gue itu pikirannya akan otomatis ke main set pekerjaan saat sedang pendekatan atau bicara. Waktu gue sekolah, loe gak inget pernah di tampar sama cewek yang dia naksir gue tapi gue masuk ke sifat bar-bar mengomentari dirinya hingga gue di olok-olok dan cewek yang naksir gue itu malah jadi benci gue, sampai pernah dia lempar sepatu kayak yang loe lakuin saat itu, saking kesalnya dia sama gue. "
Linra mencoba mengingat dan memang itu pernah terjadi di sekolah.
" Iya yah.. Aku baru sadar.. Ternyata kamu terbawa sampai sekarang, pantas saja jadi jomblo akut. "
Riota sedikit membungkukan tubuhnya di belakang Linra dan menaruh dagunya di atas bahu kiri Linra sambil tersenyum.
" Jahat loe.. Sungguh lah... Memang gue seperti itu, mau bagaimana lagi? Tapi intinya gue bisa pamer kalau sekarang gue punya istri... Istri jadi-jadian. "
Linra mencubit kedua pipi Riota yang dimana kepalanya sedang berada di bahu kirinya itu.
" Iihhhh... Dasar... "
" Aduuhh... "
Lalu paginya Riota pergi ke kantornya seperti biasa menggunakan sepedah motor maticnya yang besar.
Ketika sampai di ruangan tempat ia bekerja, sambutan hangat dari rekan-rekan kerjanya Riota menyelamati dirinya yang akhirnya dapat seorang perempuan untuk kehidupan barunya tersebut.
Gio dan Lia pun memberikan selamat.
Namun saat itu, Derta, Manajer Riota seakan tidak ada senyum dan terkesan acuh kepada Riota saat dirinya baru datang.
Ketika Derta masuk ke ruangannya, Gio berkata tentang sikap dari manajernya tersebut kepada Riota.
" Manajer kenapa tuh? Kok kayak gak suka gitu sama loe? "
Tentu Riota paham kenapa dirinya seperti itu.
" Eleh... Gak usah peduliin dia kali. Mungkin dia iri. "
Lia pun ikut berkata.
" Sampe segitunya dia begitu sama loe, Riota. "
" Tau lah... Tapi intinya gue udah gak jomblo lagi dan sekarang gue punya istri... Hehehe.. "
Gio tersenyum dan merangkul Riota.
" Selamat ya, Ketua tim. "
Kemudian waktu bekerja pun di mulai.
Mereka masing-masing ke mejanya untuk bekerja.
Hari itu seperti biasa, tidak ada yang rumit bagi seorang programmer jenius dan perfectionist seperti Riota.
Lalu ketika pulang ke rumah, Riota sudah di sambut oleh Istri sandiwara nya itu dengan masakan yang enak-enak di atas meja ruang tamu.
Riota dan Linra pun makan bersama dengan perasaan yang tenang dan bercanda ria kepada Linra.
Lalu minggu pagi tiba.
Riota terbangun dengan perasaan senang, karena dirinya libur dan ingin langsung permainan game di 'Smart Phone' miliknya.
Akan tetapi ...
Saat Riota sedang rebahan di atas tempat tidur dan membuka gamenya, tiba-tiba Linra datang dengan berpakaian rapi, dimana ia memalai Jump Suit berbahan jeans pendek di atas lutut dan memakai atasan warna putih bercorak merah muda.
" Riota.. Ayo kita ambil spanduk yang kita pesan itu. "
Pandang Riota langsung tertuju ke arah Linra yang sudah berdandan cantik itu.
" Wuihh.. Udah siap-siap aja loe? Gue belom mandi tau. Ini juga gue baru mau main game. "
Linra pun menarik tangan Riota dengan kuat dan menyuruhnya untuk bergegas rapih.
" Kok begitu? Ayooo... Aku ini sudah rapih dan akan ikut sama kamu... Kita ambil spanduk tersebut. "
Riota pun berdiri dari berbaringnya di tempat tidur.
" Ehh..eh.. Jangan tarik-tarik donk, gue taro dulu ini 'Smart Phone' gue dan ambil handuk gue di belakang pintu. "
Linra pun melepaskan pegangan tangan dari Riota.
Linra menghampiri handuk yang tergantung di belakang pintu yang berwarna putih bersih tersebut dan mengambilnya, lalu secara cepat langsung melempar ke arah kepala Riota.
" Buruaann.. "
" Iya-iya... Kampret loe emang, ganggu gue aja. "
Linra pun memasang wajah cemberut.
" Kamu yang di awal ngebet sekali untuk ikut dengan kamu mengambil spanduk tersebut agar sekalian pamer di depan umum, tapi sekarang malah terbalik. "
Riota tersenyum dan berjalan ke arah kamar mandi lantai dua.
" Setelah di pikir-pikir, aku lebih memilih liburan dengan bermain game di banding keluar rumah, Hahaha. "
Linra lalu berkata.
" Aku tunggu kamu di kamar. "
" Ok... "
Linra pun masuk ke kamar Riota dan menunggunya sambil duduk di sisi pinggir tempat tidur menghadap ke jendela yang terlihat cuaca cerah di pagi itu.
Kemudian beberapa menit berlalu, Riota masuk setelah mandi dan memakai handuk, lalu melepasnya untuk memakai pakaian.
Ketika itu Linra melirik-lirik sekejab ke arah Riota dan berkata sambil masih memandangi langit dari jendela.
" Tubuh kamu itu, sangat bagus dan atletis. "
Riota tersenyum saat sedang memakai kaos hitam polos.
" Jelas donk, gue kan selalu olah raga. Setiap pagi kan gue olah raga, makanya ikut gue kalau lagi olah raga, nanti mau loe ikut? "
Linra tersenyum.
" tidak, aku tidak bisa. Heee... "
Lalu ketika itu Linra kembali terdiam dan melamun.
Riota sebenarnya sudah beberapa hari ini melihat Linra selalu melamun di beberapa tempat, tapi dia tidak menanyakannya.
Namun kali ini ia coba tanyakan sebab Linra selalu melamun.
" Heh! Loe kenapa sih beberapa hari ini melamun terus? "
Linra tidak menjawab dan melamun.
Riota lalu menghampiri dirinya dengan belum memakai pakaian bawah apapun dan berdiri di depan Linra yang sedang melamun melihat ke arah jendela.
" Hoiii!! "
" Haa.. Apa sih.. Jangan ngagetin. "
Linra lalu melihat miliknya Riota yang persis di depan menghadap wajahnya tepat.
Wajah memerah dari Linra terlihat dengan terkejut.
" I-Itu... Hei... Pakai celana dalam kamu... "
Riota tersenyum dan langsung memakai celana dalam di depan Linra.
" Loe juga punya kan? Gak perlu malu-malu lagi. Di jepang aja ada pemandian umum dimana laki-laki dan laki-laki mandi bersama, itu wajar kok. Mau mandi bareng besok sama gue? "
Linra memasang wajah cemberut dan memalingkan wajahnya.
" Tidak mau... Enak saja... Lain kali jangan seperti ini. Dasar.. "
Riota lalu tertawa dan memakai celana pendek ketat hitam polosnya.
" Hahahaha.. Lagian loe ngelamunin mulu. Udah beberapa hari ini loe ngelamun terus tau gak? Ada apa sih dengan yang loe lamunin itu? Sebegitu penting kah? "
Linra tertunduk dan wajahnya memerah sambil menjawab pertanyaan dari Riota.
" Ehhh... Masih sama... Aku selalu bermimpi hal yang sama beberapa hari ini. Entah kenapa itu seperti nyata saja. "
Riota duduk di samping kiri Linra di sisi samping tempat tidur.
" Mimpi hal yang sama? Mimpi yang bagaimana? "
Linra melirik-lirik malu ke arah Riota dan tersenyum.
" Dalam mimpi itu, aku hamil anak kamu dan itu terus terulang, bahkan aku di dalam mimpi tersebut mengelus perut ku yang buncit. Sungguh gila mimpi ku itu, hehehe.. "
Riota tersenyum.
" Itu cuma mimpi, gak perlu loe pikirkan lagi. Tapi.... Apa jangan-jangan loe memang mau mengandung anak gue? "
Linra terkejut dan duduknya langsung menggeser menjauh dari Riota.
" Iuuhhh... Mana mungkin bisa, bodoh... Udah yuk, berangkat. "
Riota lalu berjalan ke arah lemari pakaian miliknya dan memakai jaket.
" Iya-iya.. Lagian loe mimpi yang gak-gak. Hamil anak gue lah... "
Riota pun sudah rapih dan mereka berdua turun dari lantai dua.
Saat Riota ingin mengunci pintu rumahnya, tiba-tiba datang mobil yang berhenti di depan gerbang besi rumah Riota.
Riota tentu tau siapa yang datang itu.
" Lah... Itu mobil Papah dan Mamah gue... Mau apa mereka datang. "
Linra bingung.
" Bagaimana ini? "
Riota dan Linra langsung ke depan dan Riota tidak jadi mengunci pintu rumahnya tersebut.
Ketika pintu mobil di buka, terlihat Papah dan Mamah Riota datang dengan pakaian rapih.
Mamahnya Riota yang pertama menegur Riota sambil melihat ke arah Linra yang sudah berdandan.
" Kalian berdua mau kemana Pagi-pagi begini? Pergi? "
Papahnya Riota menghampiri Riota.
" Riota, kami ingin main ke rumah mu, tapi kamu malah pergi. "
Riota lalu menjawab.
" Cuma mau pergi ambil spanduk untuk promosi bisnisnya itu doank kok Pah, Mah. Kalian bisa menunggu di dalam kok. "
Linra senyum-senyum malu saat di lihat oleh Mamahnya Riota.
" .... "
Mamahnya Riota lalu mendekatkan dirinya kepada Linra dan memeluk sambil mengelus punggungnya.
" Bagaimana kabar kamu, mantu Mamah yang cantik. "
Sontak Linra terkejut di peluk tiba-tiba seperti itu.
" Heh... Ahh.. Uhh.. Ba-Baik.. Ma-Mamah.. "
Linra canggung saat mengatakan hal tersebut.
Mamah nya Riota lalu melepaskan pelukannya dan bicara kepada Riota.
" Kalau begitu kamu pakai saja mobil Papah untuk ambil spanduk tersebut. Kami akan tunggu di dalam. "
Papah Riota mengangguk dan Riota bingung.
" Eh? Emang boleh? Papah kan selalu sayang dengan mobilnya ini. "
Mamahnya tersenyum dan memegang pipi kiri Riota sambil saling menghadap.
" Pakai saja, kasihan kalau istri kamu itu naik motor. "
Papahnya pun bicara.
" Yang di bilang Mamah kamu benar, jadi santai saja. Ini kunci nya. "
Kunci mobil itu di lempar ke arah Riota dan Riota menangkapnya.
" Uhh.. Papah yakin? "
Mamahnya lalu merangkul Linra.
" Sudah cepat pergi, biar kami gak menunggu lama. "
Riota masuk ke mobil, begitu juga Linra.
Riota memakai sabuk pengaman, Linra juga demikian dan Riota menyalakan mobil tersebut lalu menjalankannya perlahan meninggalkan rumahnya.
" Akhirnya gue bisa nyetir mobil milik Papah. "
Linra langsung melirik ke arah Riota yang sedang menyetir mobil itu di samping kanannya.
" Kamu bisa membawa mobil? Memangnya Papah kamu tidak mengizinkan kamu untuk menyetir mobil miliknya? "
Riota dengan perasaan senang menjawabnya.
" Bisa lah, kan gue kursus juga waktu itu. Papah gue itu gak izinin gue nyetir mobilnya karena gak mau di pakai yang gak-gak atau senang-senang. Begitu lah. "
Linra lalu menghadapkan wajahnya ke arah depan jendela mobil yang terlihat sudah ingin masuk ke jalan besar.
" Kedua orang tua kamu benar-benar mendidik kamu cukup baik yah. Aku iri dengan itu. "
Ketika sedang menunggu lalu lintas sepi untuk berbelok, Riota melihat Linra dengan tatapan merasa iba.
Dimana sepertinya kedua orang tua Linra ini bukan lah orang yang baik.
Riota tidak berani bicara dan fokus untuk melihat jalan.
Membiarkan Linra terdiam mungkin nyaman bagi dirinya, karena Riota mulai paham tingkah Linra yang sekarang begitu pendiam namun tubuhnya bekerja.
Baginya itu nilai plus, karena kebanyakan orang pasti banyak bicara saat melakukan sesuatu dan Riota tidak suka dengan type seperti itu.
Dimana banyak bicara tapi kerjaanya berantakan, apalagi yang sok-sok berintelek di kantornya.