" Riota.. "
" Huhhhh.. "
Linra merangkul tubuh Riota yang pingsan itu dan berusaha membaringkannya di tempat tidur.
" Riota, ya ampun. "
Linra merasakan tubuh Riota itu panas seperti demam dan dia pun inisiatif untuk mencoba mengompres dengan air dan handuk kecil.
Linra sedikit takut dan ketika itu dia mengambil Smart Phone milik Riota lalu menghubungi Gio.
" Hallo, Ta loe dimana? "
Linra langsung menjawab ketika Gio langsung mengankatnya.
" Gio kan? Ini Linra, Riota sepertinya tidak bisa masuk hari ini karena dirinya terlihat tidak enak badan dan pingsan. "
Sontak Gio terkejut dan teriak hingga membuat satu ruangan mendengar suaranya.
" HAH! PINGSAN? "
Lia pun langsung menghampiri Gio yang sedang di telepon oleh Linra.
" Iyah, aku hanya kabari itu saja yah, maaf, aku akan merawat dirinya. "
Telepon singkat itu berakhir.
Lia pun bertanya kepada Gio dengan wajah khawatir.
" Eh siapa yang pingsan? "
Gio menjawab dengan wajah khawatir juga.
" Riota. "
" Gawat ini. "
Lia dan Gio saling menatap.
Hari itu Linra pun terus berada di samping Riota mendampinginya hingga ia siuman dari pingsannya.
Hingga menjelang malam tiba.
Riota pun terbangun.
" Ehhh... Dimana ini. "
" Riotaaa.. Riota... Kamu baik-baik saja kan. "
Linra merasa khawatir.
" Tubuh gue gak enak banget rasanya.. "
Linra menggenggam satu tangan Riota yang ada di samping kananya.
" Bagian mana yang gak enak? Kita pergi ke rumah sakit aja yuk, aku takut kamu kenapa-kenapa. "
Riota tersenyum dengan wajah pucat.
" Semuanya, mungkin gue terlalu over kerjanya beberapa hari ini. "
Linra menjawab.
" Bukan beberapa hari, tapi sudah beberapa bulan tau. Bagaiama? Mau ke rumah sakit? "
Riota menggelengkan kepalanya dan balik menggenggam tangan Linra.
" Gak usah. Gue cuma butuh istirahat dan loe aja di sini. "
Kedua pipi Linra memerah dan malu-malu.
" H-Heeeeeehhh... Ta-Tapi sebaiknya kita ke rumah sakit saja. "
Rota tersenyum.
" Gak usah. "
Karena Riota keras kepala, jadinya Linra tidak bisa berbuat banyak dan yang dia lakukan adalah memberikan makan dengan bergizi lebih banyak dan merawat Riota hingga sembuh.
Beberapa hari telah berlalu dimana Riota di rawat oleh Linra dengan penuh perhatian di rumah yang berlantai dua itu.
Riota saat itu merasa kalau Linra benar-benar seperti seorang istri yang begitu perhatian kepada Suaminya.
Walau Riota tidak lagi melakukan hal itu semenjak pertama kali ia lakukan, karena akibat pekerjaanya yang menumpuk, namun setelah sembuh, Riota ingin memberikan hadiah untuk Linra.
Siang itu di hari yang mendung di hari sabtu.
Linra tertidur di samping Riota dengan keadaan terduduk di lantai dimana kepalanya di atas tempat tidur.
Riota mengelus kepala Linra yang dimana rambutnya semakin panjang dan lurus.
" Linra. Gak gue sangka loe perhatian banget sama gue walau loe juga harus bekerja dan merawat gue. "
Riota tidak menyangka kalau Linra bisa begitu perhatian selama dirinya terbaring sakit di tempat tidur.
Memberikan makanan yang enak namun alami dan bergizi yang penuh nutrisi, lalu memberikan sebuah vitamin untuk Riota.
Mungkin karena sudah akrab dengan namanya obat atau vitamin. Linra jadi paham hal tersebut.
Namun karena Linra staminanya tidak lebih dari orang kebanyakan. Akhirnya dirinya kelelahan juga dan sering tidur di samping Riota.
Dalam hati Riota, andai Linra perempuan utuh sepenuhnya dan tidak buatan seperti ini, pasti Riota akan melakukan lebih dari yang ia lakukan sekarang, karena sekarang Riota paham kelanggengan itu karena mereka sama-sama laki-laki dan tahu kondisi seperti seorang sahabat.
Tiba-tiba terdengar suara mobil datang.
Ibu-ibu yang bekerja di area garasi tau kalau itu adalah kedua orang tua Riota yang datang dan mempersilahkan masuk mereka.
Karena Linra sedang tidur, Riota tidak mau membangunkannya.
Ibu-ibu itu memberi tau kalau Linra sedang merawat Riota yang sedang sakit di kamar.
Sontak Mamah dan Papah Riota terkejut mendengar anak mereka sakit dan bergegas ke dalam.
Papah dan Mamah Riota datang dengan wajah cemas hingga membuat Linra terbangun dari tidurnya ketika mereka membuka pintu kamar.
Mamah Riota memanggil Riota dengan cukup keras.
" Riota!! Ya ampun... Kamu sakit sayang? Kenapa kamu tidak bilang ke kami. "
Namun Riota malah melihat ke arah Linra yang terbangun dan khawatir kepadanya.
" Mamah, Papah. Kalian tidak bisa Pelan-pelan membuka pintu dan bicara? Linra jadi terbangun karena kalian. "
Mamah dan Papah Riota langsung melihat ke arahnya.
Linra bingung.
" Heh.. Hah.. "
Mamah Riota lalu bertanya kepada Linra.
" Linra, kenapa kamu tidak mengabari kami kalau Riota sakit. "
Linra lalu berdiri dan menjawabnya dengan wajah masih terlihat mengantuk.
" Ehh.. Itu.. "
Riota menyalip Linra bicara.
" Aku yang menyuruhnya agar tidak memberi tahu kalian, Mah, Pah. "
Papah Riota menatap serius Riota.
" Kamu ini bagaimana, kalau terjadi sesuatu, kami akan shock dan terkejut. Riota. Jangan kamu ulangi lagi. "
Sebenarnya memang Riota melarang Linra untuk memberitahu kepada kedua orang tuanya agar tidak khawatir dari awal.
Tiba-tiba Linra kehilangan keseimbangan dan Riota dengan sigap bangun dari tempat tidur dan menangkap tubuh Linra yang hampir jatuh ke lantai.
" Loe gak apa-apa, Linra? "
Linra menatap lembut Riota dengan perasaan malu.
" I-Iyah... "
Mamah dan Papah Riota tersenyum melihat kejadian itu.
Namun Riota masih belum sehat dan akhirnya mereka berdua malah terbaring di atas tempat tidur.
" Kyaa.. "
" Huahh.. "
Mereka berdua saling tatap dengan rasa malu.
Mamah dan Papah Riota tersenyum melihat hal tersebut.
Linra dan Riota mencoba bangun dengan wajah tersenyum lalu Linra keluar untuk mencuci mukanya, sementara Riota masih terduduk di tempat tidur karena masih butuh istirahat.
Karena Riota sedang sakit, akhirnya perbincangan itu yang bersama kedua orang tuaya berada di kamar miliknya.
Mamahnya Riota bertanya soal penyakitnya itu.
" Kamu kenapa bisa sakit seperti ini sayang. "
Riota menjawab santai.
" Kelelahan saja kok, Mamah. "
Linra pun kembali masuk ke kamar dan langsung di tanya oleh Papahnya Riota.
" Lalu kalau kamu, bagaimana, Linra? "
Linra bingung.
" Heh? Aku? "
Riota tersenyum.
" Kalau dia cuma kelelahan saja, Papah, karena merawat Riota satu minggu ini. "
Mamahnya Riota tersenyum dan langsung memeluk dirinya.
" Ternyata kamu benar-benar istri idaman yang kami cari, Sayang. "
" Heh?? Hah?? "
Linra benar-benar bingung dengan situasi yang tiba-tiba itu.
Hingga Sore hari tiba dan hujan akhirnya turun.
Kedua orang tua Riota menemani Riota di dalam kamar dan Linra beberapa kali turun untuk ikut masak dan membantu menyusun kotak makan untuk di antar melalui via drive online untuk pesanan.
Ketika Linra sedang keluar itu, Mamahnya Riota bicara dengan wajah serius ke Riota dimana dirinya sedang duduk di samping kirinya Riota berada di atas tempat tidur sedang duduk.
" Riota, Mamah sungguh khawatir jika dia nanti mengandung anak kamu. "
Riota langsung dalam posisi serius saat Mamahnya menanyakan hal itu.
" Kok tiba-tiba bahasa begituan sih, Mah? "
Papahnya Riota pun bicara dimana juga sedang duduk di bagian bawah tempat tidur.
" Mamah kamu selalu membicarakan hal tersebut, Riota. Mungkin ini sedikit ikut campur, tetapi Mamah kamu ini sudah ngebet sekali ingin punya cucu dari kamu. "
Riota pun tersenyum kecut dan bingung.
" Tapi Mah, Pah. Kalian lihat kondisi ku dan Linra saat ini. Aku tau Mamah selalu mendambakan cucu, tapi tentu itu urusan Riota dan Linra, Mamah. "
Mamahnya Riota terlihat memasang wajah kecewa namun di iringi dengan senyuman tipis di bibirnya.
" Mamah memang terlalu egois mungkin, tetapi dari lubuk hati yang paling terdalam, Mamah ingin sekali memiliki seorang cucu, bahkan Mamah selalu berdoa agar cepat-cepat memiliki cucu. "
Riota paham dan memang terlihat jelas Mamahnya kecewa, namun Riota juga bingung bagaimana menjawabnya, hanya yang bisa ia lakukan sekarang adalah, yaitu beralasan dengan pekerjaanya dan dirinya yang sakit.
" Aku tau Mamah ingin memiliki Cucu, tapi Mamah harus lihat kondisi Riota dan Linra. Aku sakit seperti ini karena banyak sekali pekerjaan hingga akhirnya jatuh juga dan istirahat hingga seminggu. Sementara Linra, Mamah pasti paham dengan dirinya. "
Mamahnya Riota tentu paham yang di maksud Riota dan dirinya juga tau kondisi Linra itu seperti apa.
" Mamah juga memikirkan hal itu, karena kehamilan itu tentu sangat melelahkan dan ketika datang waktu untuk melahirkan, itu adalah bagian tersulitnya. "
Riota melihat peluang itu untuk mencoba di jadikan alasan cukup bisa di pertahankan.
" Riota juga berfikir hal yang sama, Mamah. Fatalnya dari semisal tidak memperhitungkan semua itu, aku akan kehilangan dirinya, itu pun jika bayinya juga bisa selamat. "
Riota tiba-tiba menemukan sesuatu alasan yang cukup besar secara tidak sengaja.
Mamahnya Riota pun terlihat mencoba memahaminya kembali.
" Apa yang kamu bilang benar juga, karena 9 bulan itu cukup lama dan menuju akhir pastinya akan sulit untuknya. "
Papahnya Riota menepuk pundak Istrinya bagian kanan.
" Papah sudah bilang dari awal, Mamah. Riota juga pasti memikirkan hal itu juga. Biarkan mereka yang memutuskan baiknya babagaimana. "
Riota terkejut dengan perkataan Papahnya, padahal ide itu baru saja tiba-tiba datang dan Riota beruntung memperkirakannya dengan hasil selama ini ia melihat Linra yang sakit-sakitan.
Mamahnya Riota tersenyum.
" Mamah paham, Papah. "
Percakapan itu berakhir saat Linra kembali datang ke kamar Riota.
Malam itu, kedua orang tua Riota kembali makan bersama di rumah itu, dimana ketiga pekerja yang dimana Ibu-ibu itu ikut makan.
Walau dengan kondisi masih hujan ringan, namun kehangatan terjalin antara Ibu-ibu kompleks yang bekerja oleh Linra dan kedua orang dirinya.
Namun Riota tidak bisa bangun dari tempat tidur karena alasan masih lelah.
Linra pun kembali harus memberikan makanan kepadanya di kamar dan menyuapinya.
" Ayo buka mulut mu. "
" Aaa.. "
Riota mulai bisa makan dengan lahap.
Lalu Linra berkata kepada Riota.
" Riota, bagaimana tentang cuti sakit mu? "
Riota menjawab.
" Tentu gue pake lah, kan gue beberapa tahun ini belum gunain. "
Linra kembali menyuapinya untuk makan.
" Untung lah. "
Lalu Mamah Riota dan Papah nya datang untuk pamit pulang.
Linra melirik ke arah Mamah Riota dan menaruh mangkuk berisi bubur ayam dan sayuran hijau di atas meja kecil dekat lampu tidur lalu berdiri dari tempat duduknya.
" Mamah.. Papah.. "
Mamah nya Riota memeluk lembut Linra sambil berkata.
" Kami mau pamit pulang dulu yah, Sayang. Kamu jaga Riota terus yah sampai sembuh. "
Linra memeluk balik Mamah Riota yang begitu baik itu kepadanya.
" I-Iyah.. Mamah. "
Papah Riota pun bicara dengan menatap dirinya yang sedang duduk di atas tempat tidur.
" Jaga baik-baik diri kamu. Riota. Kami pulang dulu. "
Riota tersenyum.
" Terima Kasih Mamah dan Papah datang, aku akan baik-baik saja. "
Mereka berdua pamit dan Linra tidak perlu mengantar mereka kata Mamahnya Riota dan di suruh menjaga Riota di kamar.
Para Ibu-ibu itu juga ikut pulang bersamaan dengan Kedua orang tua Riota.
Suasana rumah yang tadinya ramai, sekarang sepi kembali, dengan hanya ada suara rintikan hujan di luar.
Linra yang selesai menyuapi Riota kembali bertanya kepada dirinya dimana Linra sedang duduk di atas tempat tidur di samping kirinya Riota berada.
" Kedua orang tua kamu... Apakah mereka kembali membicarakan soal bayi? "
Riota mengangguk.
" Iya. Mamah pastinya akan bicara itu ke gue. Tapi sekarang loe gak perlu khawatir, karena gue ada alasan kuat dimana itu menyangkut dengan diri loe. "
Linra lalu menatap serius Riota.
" Sebaiknya kamu mulai cari penggantiku untuk lebih baik. Aku tidak enak dengan kebaikan yang mereka berikan kepadaku, namun aku menipu mereka. "
Riota mengerti tentang itu dan dia juga tidak mau mengecewakan kedua orang tuanya, namun apa ada dirinya saat itu.
" Setelah sembuh, gue akan coba cari perempuan. "
Linra pun tersenyum lebar.
" Kalau begitu, aku akan bantu kamu untuk mencarinya. "
Ketika itu Riota juga tersenyum.
" Tapi loe ikut juga ya dalam kencan itu. "
" Heh? Aku ikut? "
Bingung Linra.
" Iya, siapa tau mode serius gue itu hilang. "
Linra menganggap itu ide yang bagus.
" Oh, Baiklah. "
Rencana perjodohan diam-diam untuk mencari pasangan yang menggantikan Linra pun akan di coba Riota.
Akan tetapi Riota merasa tidak butuh itu dan sekedar bicara saja, karena diam-diam Riota sudah nyaman dengan keberadaan Linra di sampingnya.
Namun ada hal lain lagi yang menjadi pikiran Riota, yaitu cutinya yang seminggu tersebut.