School of Magic, Alzeethan.
"Para hadirin sekalian, pertunjukkan Sihir akan dimulai. Disini kita akan menyaksikan Sihir utama dari setiap murid di sini. selama 3 tahun lamanya mereka terus belajar, mencari jati diri mereka masing-masing, dan saat ini dengan bangga mereka akan mempertunjukkannya kepada para hadirin, Orang Tua dan Teman-teman sekalian" Si Pembawa Acara mulai menyingkir dari lapangan itu, mempersilahkan Murid-murid itu memenuhi lapangan.
"Baiklah, Saya akan menyampaikan beberapa aturan disini. Yang pertama, tidak ada yang boleh menggunakan Sihir Perusak, Pembunuh, atau Sihir-sihir yang dapat menyebabkan Orang lain celaka. Yang kedua, tunjukkan Sihir kalian secukupnya saja, ini bukanlah ajang untuk memamerkan diri jadi, jangan sampai menggunakan Mana kalian dengan berlebihan" Zeva masih duduk dengan diam mendengarkan Si Pembawa Acara itu membicarakan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar.
Zeva mengakui bahwa sekolah ini benar-benar bagus dalam pengajaran. Ia jadi ingin membangun sekolah Sihir miliknya yang seperti ini.
Di Kerajaan Zeda hanya ada 2 sekolah Sihir, School of Magic dan Magic of Nobility. School of Magic hanya diperuntukkan bagi masyarakat biasa saja, mereka tidak di ajarkan tentang Sihir Bangsawan.
Di Magic of Nobility semuanya diajarkan disana, mulai dari Sihir biasa sampai Sihir terlarang, tergantung dari level Bangsawan tersebut.
Tapi, menurut Zeva Sekolah Bangsawan itu hanyalah omong kosong. Tidak ada yang benar-benar belajar untuk mencari jati diri mereka, mereka semua hanya ingin menguasai Sihir agar terlihat hebat dan bermartabat dan Zeva muak dengan itu.
"Inilah dia Murid yang paling berprestasi selama 3 tahun berturut-turut, Emma Alyssum Aldrich. Berikan tepuk tangan yang meriah" Seluruhnya memberikan tepukan tangan sambil ada yang bersiul-siul.
Emma tampil dengan gaun yang dirancang oleh Ibunya sendiri. Gaun yang tidak terlalu mewah, namun berkesan Glamour .
Hampir setiap hari Ibunya datang menemuinya hanya untuk sekedar bertanya apakah gaunnya sudah bagus? Apa yang harus Ia beri sebagai detailnya?
Ibunya memang yang membuat Gaun itu hanya saja ide-nya berasal dari Zeva.
Zeva sudah tidak sabar menunggu Adiknya untuk menunjukkan Jati dirinya.
'Alright, Emma. Perlihatkan aku yang terbaik menurutmu, jangan terbawa ego dari Aldrich. Walaupun memang sangat sulit untuk menahan Ego itu, tapi jangan buat aku kecewa' Batin Zeva kepada Emma.
Emma langsung memndongakkan kepalanya ke arah Sang Kakak yang sudah duduk diam sambil bertelepati dengannya.
Emma memberikan senyumannya, 'I will, Sister' Zeva menganggukkan kepalanya pelan. Emma mulai menarik nafas, merapalkan kata-kata Sang Kakak tadi.
"Aresto Momentum!" Seketika seluruh Aula bergerak dengan lambat, Emma mulai berjalan seperti biasa, menuju ke tempat duduk sang Kakak. Setelah sampai, Zeva menghadap ke arahnya, "Seperti Teleportasi?" Emma memperlihatkan gigi-giginya yang tersusun rapi.
"Teleportasi hanya di ajarkan pada Bangsawan, Kak. Aku hanya memanfaatkan momentum ini" Zeva hanya menganguk
"Tidak buruk" Ucap Zeva, Emma merasa sangat senang mendengar pujian dari Kakaknya.
Sangatlah jarang baginya untuk bertemu dengan Kakaknya karena kesibukan mereka masing-masing. Ah.. tidak , lebih tepatnya kesibukkan Kakaknya yang diisukan akan menggantikan Ayahnya memimpin Kerajaan Zeda.
"Apa aku boleh memelukmu?"
"Sejak kapan itu dilarang?" Emma langsung memeluk Zeva dengan erat, Ia akui pelukan Kakaknya sangatlah nyaman dan hangat mirip seperti pelukkan Raja Zeda.
Ia tahu bagaimana perjuangan Adiknya agar bisa terus bertahan mendapatkan prestasi di Sekolah ini untuk menunjukkan kepada Ayahnya bahwa Ia bisa melakukannya.
Awalnya Emma bersekolah di Sekolah Bangsawan, hanya saja karena Ia tidak suka dengan Bangsawan lainnya dan terus membuat masalah. Pada akhirnya Raja Zeda mengizinkannya untuk bersekolah di sekolah biasa. Namun, dengan catatan Ia harus bisa menunjukkan kemampuannya di sana tidak kalah dengan kemampuan para Bangsawan.
Zeva tahu itu kekanak-kanakkan, mana mungkin Emma yang hanya diajarkan Sihir biasa memiliki kemampuan Para Bangsawan. Ayahnya itu memang kurang waras.
"Kamu sudah berusaha dengan keras dan hasilnya benar-benar memuaskan. Jangan merasa Ayah tidak menyayangimu, dia sungguh menyayangimu maka dari itu dia begitu keras denganmu. Sampai di rumah tunjukkan padanya sertifikat dengan kelulusan terbaikmu tepat di wajahnya" Ucap Zeva sambil mengelus pelan punggung Sang Adik.
"Aku tidak berani melakukan hal itu, Kak"
"Kalau begitu, biar aku yang lakukan" Emma tertawa mendengar lelucon yang dilontarkan oleh Kakaknya. Zeva hanya memberikan senyum tipis padanya.
Emma menjentikkan jarinya dan keadaan kembali menjadi sedia kala. Terlihat semua orang bingung, mengetahui bahwa Emma sudah tidak berada di tengah-tengah lapangan.
"Aku disini!" Teriak Emma, dan semua orang tercengang dengan hal itu, mengira bahwa Emma mampu ber-teleportasi dan mereka mulai bertepuk tangan dengan amat keras.
"Benar-benar menakjubkan"
"Woahh.. Gila sekali, dia bisa teleportasi"
"Keren sekali" Emma hanya tersenyum dengan lebar mendengar pujian-pujian yang dilayangkan padanya. Dia bahagia, sangat.
-Zeva-
Saat ini Zeva dan Emma sudah berada di Istana, masih dengan keadaan yang sibuk dengan pelayan yang bermondar-mandir menghiasi Istana. Kalau Zeva tidak salah ingat, pestanya akan diadakan malam ini.
"Ibu! Ibu! Emma pulang!" Teriak Emma, Zeva hanya mendengus, terlalu biasa dengan kelakuan Adiknya.
"Anak manis Ibu sudah pulang?!" Zeva benar-benar tidak tahan dengan teriakan 2 manusia ini. Ibunya langsung menghampiri Emma dan memeluknya.
"Bagaimana hasilnya? Ibu ingin melihatnya" Emma menunjukkan sertifikat kelulusan dan sertifikat-sertifikat dari prestasinya dan itu sangatlah banyak.
"Astaga, Nak. Kamu benar-benar sangat pintar, tidak kalah dengan Kakakmu. Aldrich harus tahu ini" Aldrich yang dimaksud Alyssa adalah Raja Zeda—Aldrich Geo Zeda.
"Ahh.. tapi, dia masih rapat dengan para Menteri itu. Hah.. kita tunggu saja sampai dia menyelesaikan rapatnya" Emma tahu, Ayahnya sangatlah sibuk. Menjadi Rja memang melelahkan. Emma tidak harus kecewa dengan keadaan ini, bukan? Dia harus memakluminya.
"Stev, hubungi Ayah" Perintah Zeva pada pengawalnya. Stev langsung mengambil ponselnya lalu, menelepon Raja Zeda. Ibunya dan Emma menatap Zeva dengan tatapan tidak percaya.
"Kak, apa Kakak tidak takut kalau nanti Ayah marah? Aku tidak apa, Kak"
"Benar, Zeva. Sebaiknya kita menunggunya saja" Zeva hanya melihat mereka dengan tatapan datar seperti biasa. Zeva tidak suka Ayahnya lebih mementingkan pekerjaan daripada keluarganya sendiri.
"Tuan Puteri Zeva, ini Ayah Anda" Zeva mengambil alih ponsel itu, " Halo?" Ucapnya.
"Ada apa, Zeva? Ayah sedang mengadakan Rapat penting saat ini"
"Pulang sekarang. 10 menit" Tegas Zeva, Alyssa dan Emma membulatkan kedua matanya, melihat keberanian Zeva pada Raja Zeda. Tanpa basa-basi Zeva menutup panggilan tersebut. Mengembalikan ponselnya pada Stev.
"Kak, yang benar saja. Apa Ayah tidak akan marah?" Zeva hanya menggelengkan kepalanya, memanggil pelayan untuk membuatkan the untuk 4 orang, pelayan itu menganggukkan kepalanya tanda mengerti dan pergi.
"Zeva, Ibu menyarankanmu untuk meminta maaf pada Ayahmu. Jangan seenaknya saja berbicara tidak sopan seperti itu" Alyssa khawatir, tentu saja. Kemarahan dari Aldrich adalah salah satu hal yang harus dihindari . Tapi, Puteri Sulungnya dengan berani memerintah Aldrich.
"Dia akan pulang. Aku sudah berjanji pada Emma" Emma terlihat bingung dengan perkataan Zeva. Sejak kapan Kakaknya mengatakan janji padanya? Yang Ia ingat hanya Zeva ingin menunjukkan Sertifikat Kelulusannya tepat di wajah Sang Ayah. Apa jangan-jangan?
"Kak-"
"Ada apa Zeva?" Ucapan Emma terpotong . Alyssa dan Emma tidak percaya dengan hal ini. Raja Zeda menuruti perintah Zeva.
"Duduk, Ayah" Raja Zeda duduk di Single sofa yang berada di tengah. Pelayan menuangkan teh yang tadi diinginkan oleh Zeva.
"Minum Teh bunga krisan ini terlebih dahulu" Zeva meminumnya dengan santai sambil menikmati aroma dari teh tersebut. Zeva menatap ke arah Ayah dan Ibu juga Adiknya yang masih terpaku menatap ke cangkir yang berisi teh .
"Tidak ku beri racun. Minum saja" Mereka bertiga terhenyak dari pikiran masing-masing. Ayahnya berdeham pelan dan mulai meminum teh tersebut diikuti juga dengan Ibu dan Emma.
"Baiklah, Emma mana sertifikatmu?" Emma sedikit terkejut namun tetap memberikannya kepada Zeva.
Perintah Zeva adalah mutlak. Zeva mengambilnya dan berjalan menghampiri Ayahnya. Ayahnya hanya memandang Zeva dengan bingung. Zeva menunjukkan Sertifikat Kelulusan Adiknya dengan nilai sempurna tepat di depan wajah Ayahnya.
"Baca. Adikku lulus dengan predikat terbaik" Raja Zeda meneliti setiap nilai yang tertulis di sana, Emma mendapatkan predikat terbaik. Raja Zeda kemudian menatap ke arah Emma. Emma hanya menundukkan kepalanya, dia tidak ingin dimarahi oleh Ayahnya.
"Emma, kemarilah. Ayah ingin memelukmu" Emma langsung mendongak, tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Ayahnya. Dengan segera, Emma bangkit dan menghampiri Ayahnya.
"Emma, Gadis Kecil Ayah. Ayah sangat bangga padamu. Maaf jika aku tidak terlalu memperhatikanmu, dan menganggap remeh dirimu" Emma terharu, dia tidak benci kepada Ayahnya. Ia menyayangi Ayahnya lebih dari apapun.
"Ayah tidak salah. Aku menyayangi Ayah" Emma kembali merasakan pelukan hangat Ayahnya, sudah lama sekali dia tidak merasakan pelukan hangat ini lagi. Dan disaat Zeva memeluknya tadi di Aula , Emma semakin merindukan pelukan Ayahnya.
"Kemarilah Zeva, Ayah juga ingin memelukmu" Zeva mendekat ke arah Ayahnya, dan Raja Zeda memeluk erat kedua Puterinya yang sangat membuatnya bangga telah menjadi Ayah mereka.
"Ibu kemarilah" Ajak Zeva, Alyssa yang sudah menangis dalam diam tak dapat membendungnya lagi. Alyssa sungguh terharu dengan perbuatan Zeva.
"Aku menyayangi kalian semua. Kalian harus ingat itu selamanya" Kata Zeva yang masih memeluk Ayah, Ibu dan Adiknya yang mana membuat ketiga orang tersebut merasa terharu. Zeva juga ikut terharu, namun apa daya ekspresi wajahnya tidak dapat diubah tetap datar.
'Ekspresi ,sialan' kesal Zeva pada dirinya sendiri.
TBC.