Demian masih duduk di tempatnya saat ini, Ia gelisah menunggu seseorang untuk datang. Apa Zeva akan datang ? bagaimana jika dia tidak datang? Oh.. memikirkan kemungkinan-kemungkinan seperti itu membuatnya semakin tidak bersemangat untuk melanjutkan pestanya saat ini.
"Apa yang anak Ibu pikirkan? Dia pasti datang. Tunggulah sebentar lagi" Devilia mengelus pelan rambut Demian. Anaknya sudah jatuh cinta, dan ini akan menjadi pengalaman cinta yang menyakitkan baginya. Devilia tahu apa yang dimaksud dengan ucapan Aldrich semalam. Zeva, Anak itu memang tidak memiliki hati. Ia masih memiliki simpati namun kalau untuk merasakan Cinta , Zeva seperti tidak ditakdirkan untuk itu. Zeva tidak terikat akan belenggu..
"Apa Ibu yakin? Hah.. aku benar-benar mengharapkannya datang, Ibu" Devilia terus mengusap-usap kepala Demian.
"Demian, percayalah pada Ibu. Dia pasti datang" Devilia berjalan meninggalkan Putera menuju Pintu utama. Demian masih dengan pikiran rumitnya.
"Hei, Dem!" Seseorang menepuk pundaknya dengan keras. Orang itu Decion—Sepupu laki-lakinya.
"Hei, Dec. Baru sampai?" Tanya Demian
"Ya, baru saja Bibi membukakan pintu untukku. Ada apa dengan wajahmu, Dem?" Decion adalah seseorang yang dekat dengan Demian, sejak mereka kecil mereka selalu bersama-sama, bersekolah di tempat yang sama , mereka juga masuk di kelas yang sama. Decion tahu, saat ini ada yang mengganjal di pikiran Demian.
"Aku menunggu seseorang" Dan Demian tidak mampu membohongi seorang Decion.
"Zeva?" Demian hanya mengangguk lemah. Demian sudah menceritakan tentang Zeva pada Decion sesampainya Ia di Alston. Decion penasaran dengan wanita yang bernama Zeva itu yang kata Demian dingin, berwajah datar, beraura kuat namun menarik perhatian.
"Sabarlah, sebentar lagi juga Ia akan datang. Kau sudah memberikannya undangannya, kan?" Demian mengangguk kembali. Undangan itu, tidak berarti apa-apa. Itu hanya sebuah triknya agar Zeva datang ke pestanya dan pada saat itu, Zeva memintanya satu undangan lagi untuk Adiknya, untung saja Ia membawa 2 undangan. Ia hanya berjaga-jaga kalau Zeva akan meminta satu undangan lagi dan ternyata benar saja.
"Aku berharap begitu"
"Sudahlah, aku akan membawakanmu minuman" Decion pergi mengambil minuman untuk Demian. Demian masih menunggu, terus memandang ke arah pintu Utama berharap bahwa Wanita yang Ia harapkan menunjukkan dirinya.
"Selamat datang semuanya. Tamu spesial sudah datang dan saatnya kita mulai pestanya. Namun sebelumnya Aku akan memperkenalkan pada kalian semua, dua Puteri Kerajaan Zeda yang sangat menawan ini" Demian tersentak, reflek menegakkan tubuhnya, dia hadir, Zeva datang ke pestanya. Astaga, Demian gugup.
Ibunya mengapit Zeva dan Adiknya, berjalan menuju ke arahnya. Apa yang harus Ia lakukan saat ini? Bagaimana caranya Ia menyapa? Oh.. ayolah jangan menjadi idiot seperti ini.
"Demian, Ibu membawa 2 wanita cantik padamu" Demian sejenak menahan nafasnya, tatapannya tertuju pada Zeva yang juga menatapnya dengan datar. Emma langsung mengulurkan sebelah tangannya.
"Selamat Ulang tahun, Pangeran Demian" Demian tersadar dari lamunannya lalu membalas uluran tangan milik Emma.
"Terima kasih, Tuan Puteri Emma. Hari ini Anda tampil cantik" Ucap Demian tulus. Zeva pun mengulurkan tangannya pada Demian.
"Selamat Ulang Tahun" Ucap Zeva singkat. Demian langsung menerima uluran itu. Dia kembali merasakan halusnya tangan milik Zeva.
"Terima kasih, Tuan Puteri Zeva. Kamu sungguh menawan" Zeva langsung melepaskan genggaman itu. Lagipula tidak perlu berlama-lama untuk berjabatan tangankan? Demian masih fokus memandangi Zeva yang benar-benar menyita perhatiannya, tidak , bukam hanya dirinya namun semua tamu yang sudah hadir disini. Mereka semua terpanah dengan Zeva. Auranya membuat siapa saja bertekuk lutut padanya.
"Baiklah, kepada semua hadirin disini. Di sebelah kiri saya ada Puteri Bungsu dari Raja Zeda IX dan disamping kanan saya Puteri Sulung Raja Zeda IX. Silahkan perkenalkan diri kalian" Apa ini juga salah satu dari tradisi Alston? Zeva akui, Ia tidak menyukai tradisi ini, namun Ia harus tetap menerima itu.
"Perkenalkan nama Saya Emma Alyssum Aldrich. Kalian boleh memanggil saya Emma" Emma menampilkan senyum lucunya, banyak pria yang terkagum dengan senyuman milik Emma. Gemas sekali.
"Saya Zeva Devian Aldrich. Panggil saya Zeva" Tanpa senyum, wajah datar dengan aura yang memikat. Membuat semua orang terhipnotis dengan Zeva. Mereka terpukau dengan Zeva. Setelah selesai pengenalan singkat itu, mereka memulai acaranya. Meniup lilin, memotong ke dan hal-hal yang sudah biasa dilakukan pada saat orang berulang tahun.
Saat ini mereka ada di puncak acaranya, berdansa berpasangan. Demian ingin mengajak Zeva untuk berdansa, namun Ia tidak menemukan Zeva di lantai dansa. Ia terus mengerdarkan pandangannya namun tak kunjung Ia temukan.
"Pangeran Demian, bolehkah aku berdansa denganmu?" Emma menawarkan dirinya, Ia sangat ingin berdansa dengan Demian. Ia ingin jadi lebih dekat dengan Demian. Demian tidak mampu menolak ajakan Emma, Ia hanya tidak ingin Emma merasa di permalukan karena tidak menerima ajakannya untuk berdansa. Dengan berat hati, Ia mulai berdansa dengan Emma.
Sementara itu, Zeva sedang berjalan-jalan mengelilingi Istana ini. Dia sudah mendapatkan Izin langsung pada Devilia dan sampailah Ia pada sebuah taman mawar hitam milik Devilia.
Kamu tertarik pada bunga?" Zeva memutar badannya, mendapati Devilia yang berjalan mendekat ke arahnya. Ia tidak begitu terkejut dengan kehadiran Devilia, sedari tadi Ia merasa sudah di ikuti oleh seseorang.
"Ya, begitulah" Zeva kembali menatap ke arah kumpulan bunga mawar hitam yang tumbuh, bermekaran. Tampak aneh, namun membuatnya tertarik.
"Ini makam Suamiku jika dirimu penasaran" Ucap Devilia. Zeva masih dengan wajah datarnya namun tidak bisa Ia pungkiri kalau Ia terkejut akan fakta itu.
"Mawar adalah bunga kesukaanku. Lebih tepatnya Mawar merah. Awalnya mawar ini tumbuh berwarna merah, namun saat Ia meninggal aku memutuskan untuk menempatkannya di bawah taman ini. Aku hanya ingin tetap dekat dengannya dan dalam semalam bunga itu berwarna hitam" Zeva hanya mendengarkan, tidak ingin menyela perkataan Devilia. Zeva melihat ekspresi wajah milik Devilia, terluka. Bukankah itu merupakan akibat dari mencintai seseorang ? Itu sudah menjadi hukum alamnya.
"Itu akibat dari cinta. Relakan dan lepaskan, kenanglah dia sebagai pengalaman terindah dalam hidupmu dan kamu akan bahagia, suamimu pun begitu" Ya, sudah bertahun-tahun lamanya Suaminya—Demonic meninggalkan dirinya. Sampai sekarang Ia masih belum mampu untuk merelakan kepergian Demonic, sungguh sulit melakukannya. Demonic adalah cintanya, separuh jiwanya. Namun, perkataan Zeva memang benar adanya. Ia harus merelakan Demonic, bagaiamana pun juga Ia harus terus menjalani Kerajaan ini dengan atau tanpa Demonic di sisinya. Sudah cukup baginya untuk terus berkabung dengan perasaannya selama ini.
"Terima kasih, Zeva. Kamu sudah menyadarkanku" Ucap Devilia sambil tersenyum tulus pada Zeva. Zeva hanya menampilkan senyuman tipis miliknya yang membuat Devilia mematung.
"Lebih baik, dirimu tidak tersenyum sedikit pun" Zeva mengernyitkan dahinya.
"Aku tau itu menyeramkan" Zeva tahu, Ia pasti terlihat menyeramkan dengan senyuman.
"Tidak, aku hanya tidak ingin jatuh cinta padamu" Zeva terkejut dengan perkataan Devilia. Ia sangat tahu kalau hubugan sesama jenis diperbolehkan di sini. ohh.. saat ini bulu kuduknya meremang.
"Sebaiknya aku pulang"
TBC.