"Maafkan kami, Ratu Devilia. Zeva memang sedang tidak sehat sebelum datang kesini, namun karena tak enak hati pada Anda, Ia tetap memaksa untuk memenuhi undangan Anda" Aldrich membungkukkan badannya memohon maaf karena Ia baru saja mendapatkan laporan dari Stev bahwa Zeva meminta izin untuk kembali ke Zeda.
"Jangan meminta maaf, Yang Mulia Raja Zeda. Saya turut merasa bersalah karena membuatnya terpaksa memenuhi undangan Saya. Saya juga merasa khawatir, apa Ia pulang sendiri?"
"Ada Stev yang menemaninya, Dia pengawal pribadi Puteriku" Aldrich sedikit memberikan senyuman tipis.
"Yang Mulia dapat menemani Zeva pulang, Saya rasa acara ini bisa Saya hentikan" Devilia berbalik berniat menyuruh pengawalnya untuk menghentikan acara.
"Tidak perlu sampai melakukan hal seperti itu, Ratu Devilia. Zeva akan baik-baik saja. Jika saya memnyusulnya, Ia akan memarahi saya" Aldrich merasa semakin tidak enak hati dengan kebaikan Devilia, di sisi lain juga pasti Zeva benar-benar akan memarahinya jika Ia ikut menyusulnya kembali ke Zeda. Ia sangat paham akan pemikiran Puterinya itu.
"Apa tidak apa? Saya sangat mengkhawatirkan Zeva" Tampak raut wajah Devilia yang memang sangat khawatir. Ia tak menyangka bahwa Zeva sedang tidak sehat dan malah memenuhi undangannya.
"Yang Mulia Raja Zeda, Ibu , Izinkan aku untuk mengantarkan Zeva" Demian yang datang secara tiba-tiba sedikit mengejutkan mereka. Devilia menatap ke arah Demian, menanyakan apa yang telah terjadi. Namun, Demian tak menjawabnya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Aldrich.
"Ah.. tidak perlu, Pangeran Demian. Itu akan merepotkanmu" Tentu saja merepotkan, jarak dari Alston dan Zeda paling cepat ditempuh pun memakan waktu setengah jam, bagaimana jadinya kalau bolak-balik hanya untuk mengantar saja?
"Aku tidak merasa direpotkan, sebaliknya aku akan merasa lega jika mengangar Zeva kembali dengan selamat. Apakah aku mendapatkan izinmu?" Aldrich diam, berpikir. Kalaupun Ia tidak memberi izin maka Demian akan terus mendesaknya, Aldrich sedikit tahu mengenai sifatnya yang cukup keras kepala dan tidak mau mengalah.
"Baiklah, tapi tanyakan langsung pada Zeva. Stev, kau mendapatkan izinku. Jaga dia, jangan sampai terjadi sesuatu hal yang dapat mencelakainya"
"Saya akan, Yang Mulia Raja Zeda. Saya pamit, Ratu Devilia. Silahkan ikut Saya, Pangeran Demian" Stev membungkukkan badannya, lalu pergi bersamaan dengan Demian yang berjalan di depan Stev.
"Tidak perlu khawatir, Pangeran. Tuan Puteri Zeva hanya butuh istirahat total" Stev merupakan orang yang peka, Ia dapat melihat raut khawatir dari wajah datarnya Demian. Wajah datar? Ya, Ia akan seperti itu jika bersama dengan orang lain yang tidak Ia kenal atau orang yang tak terlalu Ia suka. Jangan tanya mengapa Ia tak menyukai Stev, sudah jelas bukan? Ia iri dan cemburu dengan Stev. Mengapa dengan mudahnya Stev menggenggam tangan milik Zeva dan duduk di sampingnya?
Aha.. ketahuan ya? Demian memang mengikuti Zeva secara diam-diam, lagi. Yah, tak apa jika Ia disebut sebagai penguntit karena itulah kenyataannya, Ia akan menjadi penguntit Zeva.
"Saya hanyalah Pengawal Pribadinya saja, tidak lebih dan Saya memang harus sedekat itu dengan Tuan Puteri untuk melindunginya" Benar bukan? Stev itu terlalu peka atau memang Demian yang tidak bisa menyembunyikan wajah irinya?
Tentu saja Demian mengerti itu, hanya saja kenapa seorang Pengawal Pribadi dapat dekat dengan Zeva begitu mudahnya dan Zeva juga tidak menepis atau bersikap dingin dengannya? Oh.. astaga, Ia akan kesal jika terus-terus memikirkan hal itu.
Zeva membuka kedua matanya, dan maniknya menatap dingin ke arah Demian. 'Sial' batinnya. Dia sudah sangat lelah dan tak ingin bertemu dengan si sumber masalah, tapi apa yang dia dapat saat ini? Emosinya kembali naik.
"Stev?" Panggil Zeva sedikit menggeram. Stev tahu ini membuat Zeva naik darah, tapi apa yang bisa Ia perbuat.
"Saya mendapatkan izin dari Yang Mulia, Tuan Puteri dan untuk Pangeran Demian, beliau akan mengantarkan kita kembali ke Zeda" Rasanya Zeva ingin meledak saja. Dia benar-benar tidak tahan dengan seseorang yang masih berdiri di depannya saat ini. Rasa pusing yang sempat mereda kembali dirasakannya malah semakin sakit. Zeva memijit keningnya, tak habis pikir dengan lelaki ini.
"Aku pulang sendiri" Zeva berusaha untuk berdiri namun kepalanya benar-benar sakit seperti terhantam benda yang berat, membuat Zeva hampir jatuh. Untung saja Stev begitu cepat menopang tubuh Zeva.
'Sial, aku kurang cepat dari si Pengawal sialan ini' Batin Demian, Demian pun sedikit geram, mengapa disaat Zeva lemah pun, auranya tidak memudar sedikit pun? Ia seperti orang bodoh yang hanya berdiri tanpa melakukan apapun.
"Maafkan Saya yang lancang, Pangeran Demian. Namun, lebih baik untuk mengikuti kehendak Tuan Puteri Zeva. Anda sebaiknya kembalilah ke dalam atau antarkan kami menuju kendaraan kami" Stev tahu apa yang Demian rasakan, tentu saja iri. Namun, disini pun Ia harus profesional dan Zeva pun hampir tak sadarkan diri saat ini. .
"Aku akan mengantar kalian sampai depan" Demian melangkahkan kakinya menuju pintu utama, Ia menyuruh salah satu pengawal keperecayaannya ntuk mengantar Zeva dan Stev kembali..
"Abrass, antarkan mereka kembali ke Zeda. Jangan sampai terjadi apapun" Abrass—Pengawal Pribadinya mengangguk patuh dan langsung melesat menuju kendaraannya. Tak lama kemudian, kendaraan pun berada tepat di depan mereka. Demian membukakan pintu untuk Zeva juga Stev. Stev langsung mengangkat Zeva untuk masuk. Demian yang melihat itu pun membesarkan kedua matanya. .
"Saya pamit, Pangeran Demian. Terima kasih atas kebaikan hati Anda" Stev membungkukkan badannya dan masuk kedalam kendaraan tersebut. Setelah cukup jauh, Demian tersadar akan keterkejutannya.
"Sialan sekali Pengawal itu!! Benar-benar! Apa aku harus menjadi Pengawal Zeva dulu baru bisa melakukan hal seperti itu. Awas saja dia" Poor you,Demian.
-ZEVA-
2 hari, sudah 2 hari Demian tidak melihat Zeva sama sekali. Aldrich hanya berkata padanya bahwa Zeva sedang beristirahat, namun ini sudah 2 hari. Apa Zeva berhibernasi? Yang benar saja, mana mungkin. .
Ha… dia sangat bosan, tidak bertemu Zeva 2 hari saja membuatnya tidak semangat untuk melakukan apapun. Ia kembali bangkit dari duduknya, diletakkannya novelnya lalu berjalan keluar dari perpustakaan pribadinya.
"Anak Ibu sedang lesu ya?" Demian hanya mendengus, "Apa Zeva sakit parah? Sudah 2 hari Ia terus beristirahat dan mereka juga tidak membiarkanku untuk menjenguknya" Demian mendudukkan dirinya di sebelah Sang Ibu. Devilia mengerti perasaan Demian, hanya saja Ia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin memang Zeva butuh waktu untuk mengistirahatkan dirinya. Apalagi Ia sampai menghadiri undangannya dengan kondisi sedang tidak sehat, Ia jadi merasa bersalah.
"Hah… Ibu jadi merasa bersalah pada Zeva karena sudah mengundangnya untuk makan malam" Demian hanya diam, Ia pun turut merasa bersalah karena Dialah yang sedikit memaksa Zeva untuk datang.
"Aku juga merasakan hal yang sama" Demian menghela nafasnya pelan.
"Kalau begitu besok kita harus menjenguk Zeva. Ibu juga akan ikut, mungkin Raja Zeda akan mengizinkannya" Demian tersenyum ke arah Ibunya, kemudian menganggukkan kepalanya dengan semangat.
"Baiklah, terima kasih banyak, Ibu" Demian memeluk Sang Ibu dengan cukup erat. Dia senang, sungguh. Akhirnya besok Ia bisa melihat Zeva lagi.
"Ibu menyayangimu, Ibu akan mendukungmu. Kamu bahagia, Ibu juga akan bahagia" Demian menatap langsung ke arah mata sang Ibu.
"Ibu, aku tidak yakin bisa mendapatkannya dengan mudah. Ia sulit untuk ku gapai, aku juga tak yakin akan selalu sabar menunggu" Devilia mengerti maksud dari anaknya. Ia juga menyukai Zeva, siaapa yang tidak menyukainya? Ia tentu ingin mendapatkan menantu seperti Zeva karena kelak jika Demian menikah nanti maka Istrinya lah yang akan memegang tahta Kerajaan Alston dan Devilia melihat potensi itu di dalam diri Zeva.
"Ibu mendukungmu, mendukung semua hal yang akan kamu perbuat nantinya" Devilia menampilkan senyumannya yang terlihat seperti seringaian.
Demon, penuh muslihat dan licik itu merupakan sifat alami mereka. Aku hanya ingin mengingatkan kalian jika kalian lupa.