Chereads / ZEVA / Chapter 4 - Part III

Chapter 4 - Part III

Pukul 6 pagi, Zeva sudah duduk tenang di meja makan bersama Ayah, Ibu dan Adiknya. Hari ini, Ia akan menghadiri acara penting di sekolah Adiknya. Zeva sebenarnya tidak terlalu berminat untuk datang kesana, sudah di pastikan Dia akan menjadi pusat perhatian disana. Awalnya Ia ingin menolak, hanya saja Ia tidak sampai hati pada Adiknya. Sangat tidak lucu kalau Adiknya sendirian mengambil seritifikat Sihirnya.

"Hari ini Kamu ke sekolah Adikmu, bukan?" Tanya Raja Zeda IX. Zeva melihat ke arah Ayahnya sambil mengangguk.

"Ya, Ayah"

"Berhati-hatilah di jalan" Zeva hanya berdeham singkat, Raja Zeda IX melihat ke sisi kirinya, lebih tepatnya ke arah Putri Bungsunya.

"Selamat untukmu, Emma. Pergunakan sihirmu dengan baik" Ucap sang Raja. Mendengar hal itu, Emma begitu senang. Ia berpikir bahwa Ayahnya tidak begitu perduli dengannya, ya karena Ayahnya hanya menyayangi Kakaknya. Tapi, ternyata Ayahnya diam-diam memperhatikannya.

"Baik, Ayah. Emma senang sekali"

"Ayahmu memang begitu, diam-diam namun perhatian. Sama seperti Kakakmu, hanya saja tidak separah Dia" Alyssa menatap ke arah Zeva, Zeva yang merasa dibicarakan pun hanya menatap kembali ke arah Ibunya lalu mengangkat kedua bahunya. Tanda Ia tak peduli.

"Hah.. untung saja Dia itu Anakku, kalau tidak sudah ku buang di laut Mati"

"Alyssa, jaga bicara mu" Ucap Raja Zeda memperingatkan. Ya, Raja Zeda sangat tidak suka ada seseorang yang menghina Zeva walaupun itu hanya candaan belaka,entah siapapun itu tanpa terkecuali. Walau Sang Ayah seperti itu, Zeva terlihat biasa saja. Toh, dia tidak terlalu peduli dengan apa yang dikatakan orang tentang dirinya. Hanya saja jika sudah menyangkut tentang keluarganya, Ia tidak akan tinggal diam.

"Ayo berangkat" Zeva sudah menghabiskan makanannya, Ia hanya tidak ingin menyaksikan drama Suami Istri itu hanya karena dirinya. Dia muak, Man. Zeva beranjak dari kursinya, menuju ke mobil yang pastinya sudah disipakan untuk mengantarkan dia dan Adiknya.

"Ku tunggu di mobil" Tanpa mau membalikkan badannya lagi, Ia terus berjalan.

"Oh My.. Dia benar seperti mu hanya saja lebih parah" Keluh Alyssa pada Suaminya.

"Jika sudah tahu begitu, jangan mengucapkan hal seperti itu. dia bisa saja sakit hati mendengar Ibunya berbicara seakan dia anak pungut" Ucap Raja Zeda dengan serius.

"Aku tak bermaksud begitu, lagipula dia biasa saja. dia juga tidak pernah menanggapiku. Dia pasti tahu kalau Ibunya bercanda" Bela Alyssa.

"Apa kamu tidak ingat kejadian 5 tahun yang lalu? Ketika Zeva di pukul secara fisik oleh para penyihir berandal itu? Dia menahan rasa sakit itu sendirian" Terang Raja Zeda.

Kejadian 5 tahun yang lalu, adalah kejadian paling kelam menurut Raja Zeda. Anaknya, Zeva yang masih berusia 15 tahun itu mendapatkan pukulan fisik di punggungnya. Penyihir yang memukulnya itu ingin merampok Zeva, Zeva yang kebal dengan Sihir tidak berarti apapun, namun ternyata para penyihir berandal itu tak berhenti sampai disitu. Mereka mengambil sebuah balok kayu dan mulai menyerang Zeva. Zeva yang belum mengerti tentang pukulan fisik pun hanya bisa pasrah ketika balok kayu itu mengenai punggungnya dengan keras.

Beruntungnya , Ia bisa kabur dari para berandal itu dan kembali ke Istana. Zeva sama sekali tidak mengatakan apapun, sampai ketika Ibunya mengadakan pesta Ulang Tahun yang ke-35 tahun. Saat para Pelayan ingin memakaikannya baju, terlihatlah bekas ungu kehitam-hitaman itu hampir menutupi punggung Zeva. Para Pelayan yang terkejut sekaligus merasa ngeri langsung berlari melaporkan itu pada Raja Zeda yang tak sengaja ingin menghampiri Zeva. Jangan di tanya, Raja Zeda sangat murka. Sampai pesta Ulang Tahun Ratu Alyssa terpaksa di tunda.

Mulai dari saat itulah, Raja Zeda benar-benar tidak memberikan Izin Zeva untuk keluar dari Istana. Dia sungguh tak ingin kejadian seperti itu terulang kembali. Walaupun sekarang di umur Zeva yang sudah 20 tahun, Ia sudah mempelajari berbagai bela diri untuk berjaga-jaga. Tetap saja, Raja Zeda tidak mengizinkannya.

"A-Aku tidak bermaksud"

"Sudahlah, aku sudah terlambat untuk pertemuan penting di balai Istana. Emma cepat selesaikan makanmu, jangan buat Kakakmu menunggu lebih lama" Setelah mengatakan hal itu, Raja Zeda pergi bersama 5 pengawalnya. Ratu Alyssa hanya bisa menatap nanar makanan yang tersisa sedikit di atas piringnya, seleranya sudah hilang. Emma sudah terlalu biasa dengan drama kedua Orang Tuanya ini. Lagipula ini bukan karena Kakaknya, hanya saja kedua Orang Tuanya ini terlalu kekanak-kanakan. Hal seperti itu diperpanjang.

'Mengapa mereka bisa menjadi Orang Tua ku sih?' Batin Emma dan langsung beranjak dari tempatnya untuk keluar.

"Sudah selesai?" Tanya Zeva saat Emma masuk dan duduk di samping Zeva. Emma hanya mengangguk lalu menghela nafas.

"Mereka memang seperti itu" Emma tahu apa maksud dari Kakaknya. Ia kembali menghela nafasnya.

"Harusnya aku terbiasa dengan Drama mereka itu. Hanya saja aku benar-benar tidak tahan. Hanya karena Kakak mereka sampai berdebat seperti pemilihan Para Menteri" Emma melipat kedua tangannya di dadanya, kesal. Mobil sudah berjalan keluar dari Istana, jarak tempuh ke sekolah Emma tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 20 menit saja dari Istana.

Selama perjalanan mereka hanya diam. Zeva tidak masalah dengan itu, karena dia memang begitu, bukan? Emma hanya tidak tahu apa yang ingin dia ceritakan pada Kakaknya. Tidak mungkin Ia bertanya pada Kakaknya, "Apa Kakak sudah makan?" dengan sangat jelas, Kakaknya duduk dalam diam memakan makanannya dengan penuh khidmat tadi. Alhasil mereka hanya berdiam diri saja.

"Kita sudah sampai, Nona" Ucap Jave—supir pribadi Istana. Zeva langsung turun dari mobil, terlalu lama jika Ia harus menunggu supir ataupun pengawal membukakannya pintu. Namun, tidak dengan Emma yang akan selalu menunggu supir maupun pengawal yang harus membukakan pintu untuk dirinya.

Baru saja turun dari mobil, mereka berdua sudah di kerubuni banyak orang. Ada yang ingin meminta foto, ada yang ingin bersalaman, ada juga yang terang-terangan menyatakan Ia menyukai Zeva dan mengajaknya untuk berkencan. Namun, bukan Zeva namanya jika Ia tidak mengacuhkan mereka semuanya.

Dengan wajah datar nan dinginnya, Ia dan Adiknya memasuki sekolah itu dan berjalan ke Aula. Saat mereka masuk, ternyata sudah begtiu banyak Orang-orang yang hadir disana, menemani Putera-Puteri mereka.

"Ahh.. Tuan Puteri Zeva,Hormat Saya pada Anda" Lelaki paruh baya itu membungkukkan badannya pada Zeva. Zeva hanya berdeham pelan, menerima penghormatan itu.

"Saya adalah pemilik dari Sekolah ini. Saya sangat senang dengan hadirnya Anda kesini" Ucap Pemilik sekolah itu, Zeva tidak mengenalnya. Tentu saja, bahkan ini pertama kali dalam hidupnya  memasuki sekolah umum ini.ternyata mereka begitu ramah terhadap Orang-orang yang mendatangi sekolah ini. Sangat berbeda dengan sekolah Bangsawan. Mereka semua akan datang dengan dagu yang di naikkan dengan tinggi, ingin sekali Zeva membuat dagu mereka satu-persatu tidak bisa di turunkan selamanya.

"Nama Anda?" Tanya Zeva.

"Ahh.. Nama saya Zerian D'Lain Hanstine"

"Menteri pendidikan?"  Zeva tahu dengan Keluarga Hanstine, mereka adalah keluarga terpandang juga berpendidikan. Walau Zeva tidak pernah keluar dari Istana, dia masih tahu dengan Para Menteri-menteri yang ada di Istana.

"Ya, Tuan Puteri Zeva. Lego D'Lain Hainstine adalah Ayah saya"  Zeva hanya menganggukkan kepalanya.

"Saya akan mengantarkan Anda ke tempat duduk yang sudah Saya sediakan"  Ahh.. ini adalah hal yang paling Ia benci. Membeda-bedakan Kasta, Zeva lebih senang berbaur dengan Orang Tua yang lainnya daripada harus duduk terasingi dari Orang-orang. Walaupun dia pasti akan terganggu dengan mereka yang ingin mengakrabkan diri padanya tapi itu tidak masalah.

"Saya ingin disana" Tunjuk Zeva pada kursi kosong yang letaknya berada di tengah dari 10 bangku yang tersusun. Menurut Zeva tempat itu strategis untuknya bisa menyaksikan Adiknya di lapangan. Berbicara tentang Emma, Ia sudah terlebih dahulu pergi untuk bersiap-siap, dia tampil pertama.

"Tapi, disana begitu padat" Zerian sedikit gugup, Ini pertama kalinya Ia berhadapan langsung dengan Tuan Puteri Zeva yang terkenal dingin itu dan yah.. dia akui Zeva adalah Orang yang amat dingin namun, setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah mutlak.

"Apa harus saya tunjukkan lebih dekat lagi tempatnya?" Tanya Zeva dengan nada datar terkesan dingin tak terbantahkan. Demi Dewa Zeus, Ia sangat ketakutan sekarang hanya karena mendengar pertanyaan itu.

'Tamat sudah hidupku ini' Batin Zerian sambil meneguk ludahnya dengan susah payah. "Ka-Kalau begitu, Saya akan mengantar Anda, Tuan Puteri Zeva" Zeva mengangkat sebelah tangannya.

"Tidak perlu, Saya bisa sendiri" Tanpa melihat ke arah Zerian, Zeva mulai melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju tempat yang dia tunjuk tadi. Zerian? Keringatnya sudah menetes dengan derasnya, Ia hanya bisa diam bak patung . masih tergiang-ngiang di dalam kepalanya, Zeva menolak dirinya. Apa Ia akan selamat setelah ini? Tidak ada yang tahu.

'Cabut saja nyawaku, Zeus!'  Teriak Zerian dalam batinnya. Poor you, Zerian.

"Permisi, Saya ingin duduk disana" Ucap Zeva pada Orang-orang yang duduk di bangku pertama, jika di hitung Zeva duduk di bangku kelima. Orang-orang itu langsung berdiri dari tempat mereka, memberikan jalan agar Zeva dapat berjalan dengan lapang untuk duduk ke tempatnya.

"Terima kasih" Ucap Zeva tanpa senyuman namun, terdengar tulus.

'Baiklah, mari menyaksikan para penyihir muda itu beradu sihir'  Batin Zeva, Ia mulai penasaran, sihir apa yang akan di tunjukkan oleh Adiknya itu. Namun, yang dilihat oleh Orang-orang yang duduk di dekatnya merasa merinding karena tatapan tajam menusuk ke arah lapangan yang ada di depan sana.

Yang Orang itu pikirkan hanya satu, mereka hanya ingin pertunjukkan ini berjalan dengan baik dan lancar tanpa adanya korban jiwa.

Zeva dengan segala intimidasinya, Poor you, Zeva. 

TBC.