Naya yang melihat kedatangan Putra segera berubah lebih ceria. Naya berdiri untuk menyambut kedatangan Putra.
"Hei, Tra. Lo disini juga?" tanya Naya.
Adi yang mendengar nama Putra disebut menjadi salah tingkah. Adi menjadi gugup, ia takut akan kesulitan untuk bersikap biasa di hadapan Putra. Adi reflek menunduk, ia tidak berani menoleh. Adi sengaja menyembunyikan wajahnya agar tidak dikenali oleh Putra.
"Ya, kebetulan tadi gue menemani papa bertemu dengan salah satu kliennya, tempat pertemuannya tidak jauh dari sini. Gue senang bertemu dengan lo di sini. Kenapa lo tidak menghubungi gue kalau bisa keluar dari Asrama? Setidaknya gue bisa jemput lo. Gue bersedia jadi sopir pribadi lo." Putra terkekeh.
"Jangan bercanda. Lo orang sibuk sekarang. Mana tega gue ngeganggu lo."
"Hei, apa sih yang nggak buat Lo? Nggak perlu sungkan kalau sama gue. Pokoknya, lain waktu lo harus kasih tau gue kalau mau pergi-pergi. Biar ada yang jagain."
"Makasih ya?" Naya tersenyum riang.
Adi terus menunduk, ia gelisah. Duduk pun tak jenak. Adi terus diam tanpa membuat sembarang suara atau perilaku yang dapat menarik perhatian. Andai bukan hal yang memalukan, Adi pasti memilih untuk bersembunyi di bawah meja agar tidak terlihat oleh Putra tapi itu tidak mungkin ia lakukan.
"Lo ngapain disini?" tanya Putra heran.
"Gue tadi pergi mengunjungi papa, setelah itu gue rasa laper jadi pergi kesini."
"Benar juga, tempat ini tidak jauh dari Rumah Sakit. Kemarin Gue mengunjungi Om Luwin. Gue nggak ngasih tau lo karena gue pikir lo nggak bakal bisa keluar asrama selama kompetisi."
"Nggak apa-apa, gue juga baru tau kemarin kalau dikasih izin keluar asrama setiap akhir minggu."
"Baguslah, tiap akhir pekan gue akan menemui lo di Asrama. Kita bisa pergi bersama untuk mengunjungi papa lo."
"Terima kasih. Ohya gue sampai lupa ngenalin lo ke Adi. Yuk gabung?" ajak Naya.
Putra menerima tawaran Naya, sebab urusannya sudah selesai. Kebetulan sekali bertemu Naya, ia jadi ada teman mengobrol sambil menikmati secangkir kopi. Putra duduk di samping Naya, dan membiarkan Naya duduk berhadapan dengan temannya itu.
"Kenalin, ini Putra. Pria terbaik yang selalu ada buat gue," Putra senang dengan cara Naya memperkenalkan dirinya kepada temannya. Ini terkesan memberinya status penting dirinya bagi Naya. "Dan ini Adi, sahabat gue sekaligus fotografer di kompetisi" kata Naya memperkenalkan mereka berdua.
"Adi," katanya sambil mengulurkan tangan.
"Gue Pu-" tangan Putra menegang di udara.
Tenggorokan Putra mendadak seperti tercekik, suaranya tidak mau keluar. Putra terkejut melihat wajah pria dihadapannya yang menyebutkan dirinya dengan nama Adi. Putra baru menyadari jika pria di hadapannya ini begitu mirip dengan Abi, sahabatnya dulu. Sejak tadi Putra hanya fokus kepada Naya hingga kurang memperhatikan keberadaan Adi.
Apa? Bagaimana bisa Naya bertemu Abi? Sejak kapan mereka bertemu? Kenapa Naya sama sekali tidak cerita ke gue? Ini sangat mengejutkan, setelah sekian lama tanpa kabar akhirnya gue bisa bertemu lagi dengan Abi. Putra masih sulit untuk percaya.
"Hei! Kok malah bengong gitu? Hahaha lo pasti kaget kan? Lo pasti ngira kalau dia ini Abi, sahabat kita dulu. Gue juga ngira gitu awalnya, tapi ternyata mereka orang yang berbeda kok," jelas Naya.
"Apa? Jadi mereka beda orang?"
"Ya," jawab Naya mantap.
"Sorry, gue Putra" dengan sedikit gemetar Putra menjabat tangan Adi. Putra terkejut saat menjabat tangan Adi. Dingin sekali tangannya.
"Tidak masalah. Banyak yang bilang aku ini mirip tuan muda kelurga Mahardika. Tapi itu tidak mungkin, aku hanya orang biasa dan penampilan kami jauh berbeda" Adi menjelaskan tanpa menatap Putra. Adi takut jika Putra bisa membaca matanya. Putra sebenarnya sangat peka. Abi tidak pernah bisa berbohong di depan Putra selama ini.
Putra merasa lega, tapi ia masih tetap penasaran dengan Adi. Dia sangat mirip dengan Abi, jika bukan karena Naya yang menjelaskan. Putra tidak akan percaya jika mereka orang yang berbeda. Ini sulit dipercaya karena memang benar-benar mirip. Lebih seperti saudara kembar.
"Tapi tunggu, apakah mungkin kalian saudara kembar?" tanya Putra masih belum puas.
"Hah, apa?!" Dada Adi berdebar kencang, ia harus bisa menguasai dirinya. Identitasnya tidak boleh terbongkar sekarang. "Itu tidak mungkin, kata nenekku kalau kedua orang tuaku sudah meninggal saat aku kecil dan kata mereka, aku adalah anak satu-satunya. Nenekku merawatku sejak kecil, bahkan beliau juga menemani ibuku saat melahirkan."
Adi tertawa kecil untuk menutupi rasa gugupnya. Ia baru menghela nafas lega saat melihat Putra dan Naya dapat menerima penjelasannya. Dalam hati Adi merasa sangat bersyukur tapi ia juga merasa berdosa karena terpaksa berbohong.
Maafkan aku yang terpaksa harus berkata bohong dihadapan kalian. Aku belum bisa membuka identitasku yang sebenarnya sekarang. Abi meminta maaf dalam hati.
"Maaf, jika gue terkesan tidak mempercayai lo tadi. Sebab kami sudah lama kehilangan kabar dari Abi, sahabat kami itu. Dia tiba-tiba pergi meninggalkan kami tanpa penjelasan dan kami juga tidak bisa menemukan keberadaannya sekarang."
"Tidak apa-apa. Pasti sahabat kalian itu sangat berarti buat kalian." Adi sangat menantikan jawabannya, ia sangat ingin tau isi hati dua sahabatnya itu.
Putra tidak menjawab, ia hanya melemparkan pandangan ke Naya. Seolah dia memberi kesempatan kepada Naya untuk menjawabnya.
"Ya, dia sangat berarti buat kami," jelas Naya.
Kalimat singkat yang diucapkan Naya, serta ekspresi yang ditunjukkan oleh Naya dan Putra, cukup membuat Adi yakin jika Abi memang mempunyai tempat khusus di hati sahabatnya itu. Lega Adi mendengarnya.
Terima kasih, ternyata hati kalian tidak pernah melupakanku. Kata Adi dalam hati.
"Baiklah, kita sebaiknya ganti pembicaraan. Maafkan kami, Adi. Lo seharusnya tidak mendengar ini semua. Pembahasan tentang Abi cukup sensitif bagi kami."
"Aku sama sekali tidak keberatan," ucap Adi sambil membetulkan letak kaca matanya.
Obrolan kembali hangat setelah itu. Rupanya Putra bisa cukup akrab dengan Adi. Naya merasa senang, karena dengan adanya Adi diantara dia dan Putra membuat Naya bisa merasakan kembali kehangatan persahabatannya dulu sewaktu Abi masih bersamanya.
Bi, gue harap suatu hari nanti kita bisa duduk bersama dan bercanda seperti saat ini. Gue harap lo benar-benar ada disini bersama kami. Gue sangat merindukan lo. Kata Naya dalam hati.
Putra yang melihat Naya hanya terdiam dan membiarkan makanan yang ada dalam tangannya terabaikan, maka Putra sengaja menggodanya. Putra menggenggam tangan Naya dan mengarahkan ke mulutnya sendiri. Putra melahap potongan kue yang berada di ujung garpu.
"Hemm, yummy," kata Putra santai dan begitu menikmati porongan kue yang baru saja masuk ke dalam mulutnya.
"Iihh, sengaja ya mengagetkanku. Dasar. bilang saja kalau lo pengen kue ini. Nih makan, habiskan," ucap Naya gemas.
Naya menjejalkan kue yang tersisa di piringnya ke dalam mulut Putra secara paksa.
"Uhmm ... Mmm, cukup," kata Putra susah payah karena mulutnya penuh. Putra terus berusaha menghentikan tangan Naya.
Sementara itu, Abi yang sedang menyamar menjadi Adi hanya bisa menatap iri tingkah kedua sahabatnya itu.
Nay, aku merindukan saat-saat seperti ini. Aku juga ingin disuapi kue seperti itu. Hah, Putra selalu bisa mengambil momen yang aku inginkan. Kata Adi dalam hati.
Sebenarnya ada apa sih? Kenapa Abi harus menyamar dan menggunakan identitas Adi? Ada yang bisa bantu jawab?
Q gemas juga nih, hahaha