Naya berdiri mematung di depan mesin penjual kopi otomatis. Naya menggeragapi isi kantong celananya. Tapi tidak ada apapun yang bisa ia genggam. Naya gemas dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia sampai lupa membawa uang? Astaga, ini sangat memalukan. Bukankah dia akan mentraktir Adi minum kopi?
Ugh, nanti Adi pikir dirinya hanya beralasan karena sebenarnya tidak mau mentraktir Abi. Lebih parah lagi kalau sampai disangka pelit oleh Abi.
Naya, bagaimana kau bisa ceroboh seperti ini? Memalukan. Tiba-tiba suara Adi mengejutkan Naya yang tengah kebingungan.
"Ada apa?" tanyanya.
"Ehmm, bukan apa-apa. Bolehkah aku pulang ke asrama sebentar?"
"Kenapa?"
"Ah, itu ... Ehmm, sebenarnya uangku ketinggalan," Naya menunjukkan senyum konyolnya.
"Hahaha, kalau begitu biar aku yang traktir kamu."
"Tidak, jangan. Aku yang seharusnya mentraktirmu?"
"Sudah tidak apa-apa. Aku ikhlas kok."
Apa? Apakah dia mengira jika aku tidak ikhlas untuk mentraktirnya? Duh, aku malu.
"Sudah jangan dipikirkan. Anggap saja kau masih hutang satu cup kopi untukku. Kau bisa mentraktirku lain waktu. Bagaimana?"
"Ah, baiklah," kata Naya lirih.
Thanks Nay, aku jadi punya alasan untuk bertemu denganmu lagi. Batin Adi.
Mereka duduk di kursi kayu panjang yang berada tidak jauh dari mesin kopi tersebut. Adi mulai membicarakan tentang tema pemotretan minggu depan. Naya menyimak setiap ucapan Adi dengan penuh perhatian.
Adi senang karena Naya belajar dengan cepat. Naya mampu menerima semua penjelasan Adi dan mampu untuk mempragakannya.
Naya berdiri di depan Adi sambil mempraktekkan pose yang sudah diajarkan oleh Adi. Adi duduk santai sambil menatap Naya. Cahaya lampu taman menyinari Naya dengan indah. Adi lalu mengambil ponselnya dan mulai mengambil gambar Naya cahaya lampu taman memberikan suasana yang indah di gelapnya malam menjadikan foto Naya tak sempurna.
"Bagus, kamu semakin pandai berpose."
Naya menyeruput kopinya sebelum mulai menjawab. Naya menghembuskan nafas cukup panjang, lalu tersenyum.
"Ini berkat kamu. Karena kamu, aku jadi bisa belajar banyak. Terimakasih."
"Sama-sama." Adi tersenyum. "Ah, kamu mau lihat hasilnya? Duduklah."
Adi mengisyaratkan Naya untuk duduk di sampingnya, agar Adi bisa menunjukkan hasil jepretanya. Naya takjub melihat hasilnya. Ia nampak berpose dengan pantas. Naya tidak menyangka hasilnya akan sebagus itu.
"Bagus sekali," mata Naya berbinar.
"Lebih bagus lagi kalau ambil gambarnya pakai kamera."
"Kamu memang hebat. Aku rasa bisa jadi bagus seperti ini, karena kamu yang mengambil gambar."
"Kau terlalu memuji."
"Itu kenyataan. Aku bersyukur karena mempunyai fotografer profesional dan sebaik dirimu. Terimakasih, Adi." Naya berkata dengan tulus.
"Ok." Adi senang mendpatkan respon baik dari Naya. "Hemm, bagaimana kalau aku antar kamu pulang ke Asrama sekarang. Malam semakin larut, tidak baik untuk kesehatan jika kamu terlalu lama berada di luar."
"Iya, Ayo."
Naya bangkit dan mulai melangkah ke hadapan. Rupanya Adi melepas jaketnya, lalu menelungkupkannya ke bahu Naya. Adi melakukan hal tersebut karena melihat Naya menyilangkan tangan di dada, sambil tangannya menggosok kulit lengannya yang mulai tertusuk udara dingin malam hari.
"..." Naya menoleh ke arah Adi yang sudah berjalan sejajar dengannya.
"Biar nggak dingin. Kamu harus jaga kesehatan. Kamu tidak boleh sakit selama mengikuti kompetisi. Lagipula, jika kamu sampai sakit. Siapa yang akan menjenguk papamu di Rumah Sakit?" nasehat Adi.
Benar kata Adi. Aku harus bisa jaga diri sendiri. Akan sangat merepotkan jika aku sampai jatuh sakit. Batin Naya.
"Terimakasih, ya?"
"Ough ... Tiba-tiba aku merasa mual."
"Kenapa? Kenapa tiba-tiba? Apa yang sakit? Ayo duduk dulu, biar kamu lebih nyaman." Naya mulai khawatir.
"Bukan, aku merasa mual karena hari ini kau berulang kali berkata terimakasih. Sepertinya aku mengalami over dosis ucapan terimakasih darimu" Adi terkekeh.
"Ah, itu ..."
"Sttt ... Ok. Lupakan. Ayo cepat, nanti kamu keburu dingin." Adi reflek menggenggam tangan Naya dan menariknya kehadapan, membuat Nata mau tidak mau mengikuti langkah kakinya.
Naya cukup terkejut dengan perlakuan Adi. Tanpa Naya sadari, dirinya diam-diam mulai merasa nyaman dengan keberadaan Abi di dekatnya.
Adi begitu manis, lembut dan perhatian. Rasanya begitu damai saat berada di samping Adi. Kata Naya dalam hati sambil terus memandang punggung Adi. Tangannya masih terpaut.
Adi menghentikan langkah kakinya saat mereka sudah sampai di depan pintu gerbang asrama. Ade kemudian baru sadar jika sejak tadi ya genggam tangan Naya.
"Maaf, aku tidak bermaksud ..."
"Aku tau. Baikalah, aku masuk ya? Terimakasih untuk hari ini." Naya memotong ucapan Adi.
"Diulangi lagi?" Ekspresi Adi kesal.
"Hahaha maaf. Baiklah, hati-hati di jalan."
"Ok, istirahatlah. Aku pulang sekarang. Bye."
"Ok, bye."
Keesokan harinya, para peserta kompetisi sudah berada di studio untuk melakukan sesi pemotretan kedua. Adi lebih bersemangat saat tiba giliran Naya. Adi tersenyum, lalu maju mendekati Naya.
"Semangat, lakukan dengan santai. Tidak perlu buru-buru, ok?" Kata Adi setengah berbisik. Tanganya berpura-pura membetulkan kerutan di baju Naya.
"Ok."
"Ayo, kita lakukan," arahan Adi.
Sementara itu tidak jauh dari posisi pengambilan gambar, sepasang mata tajam terus memperhatikan Naya. Ia bertambah tidak suka sebab melihat kedekatan Naya Dan Adi.
Naya bersiap di tempatnya. Naya mulai dengan senyuman di bibirnya. Sesaat kemudian Naya sudah hanyut dalam pose apik. Tubuhnya begitu pas dalam memposisikan anggota geraknya.
Naya mampu melakukan sesi pemotretan tanpa terlihat sedikitpun rasa terbebani. Kini Naya lebih dapat bertenang.
Adi tersenyum saat pengambilan gambar. Ia merasa puas dengan pencapaian Naya. Adi lalu melakukan pemotretan terakhir.
"Ok, satu lagi."
Naya segera merubah pose. Naya menatap kehadapan, dengan tatapan lembutnya.
Cekrek!
Kriyetttt ...
"Kyaaa ...!!!"
"Awas!" Teriak Adi.
Apa yang terjadi? Kenapa ada yang berteriak? OMG ...