Chereads / Me Vs Your Identity / Chapter 29 - Rasa Berdebar

Chapter 29 - Rasa Berdebar

Naya segera memberi isyarat kepada Putra, jika mereka harus jaga sikap sebab ada Adi bersama mereka. Tidak sopan untuk mengabaikannya.

"Ehem, setelah ini lo mau kemana Nay?" tanya Putra.

"Balik ke asrama."

"Nggak asik, kenapa nggak jalan-jalan dulu. Manfaatin waktu karena lo sedang berada di luar. Ayo mau kemana? Biar gue antar," tawar Putra.

"Kayaknya nggak dulu. Masih banyak yang harus gue pelajari. Gue nggak bisa santai selama kompetisi ini belum berakhir."

"Ayolah, cuma jalan-jalan sebentar tidak akan membuatmu pingsan."

"Gue serius, Tra."

"Hemm, baiklah. Kalau begitu biar gue antar."

"Ok, tapi Adi gimana? Kamu ikut juga kan? Biar sekalian kami tau tempat tinggalmu" tawar Naya. "Nggak apa-apa kan, Tra? Lo mau kan antar Adi sekalian?"

"Tidak masalah, Ayo?"

"Ah, tidak perlu. Terima kasih," Adi menolaknya dengan sopan.

"Jangan sungkan."

"Benar, terima kasih. Aku masih ada urusan lain. Jadi tidak bisa menerima tawaran baik kalian," jawab Adi polos, sesekali ia membenarkan letak kaca matanya. Ah, Adi sudah mulai terbiasa dengan penyamarannya.

Sebenarnya Adi hanya beralasan, sebab dia sendiri tidak tau harus minta diantar kemana? Tidak mungkin ia pulang kerumahnya, bisa panjang urusannya. Adi bahkan belum memikirkan sampai sejauh itu. Mungkin sekarang dia harus mulai mempertimbangkan untuk memiliki rumah baru agar penyamarannya sempurna.

"Baiklah, kalau begitu kami pergi dulu. Hati-hati dijalan ya? Dan terima kasih untuk hari ini" ucap Naya kepada Adi.

"Ok."

Putra hanya mengangkat tangannya, tanda dirinya pamit. Adi hanya mampu menatap punggung Putra dan Naya yang semakin menjauh. Putra merangkul bahu Naya, tidak ada perlawanan. Mereka terlihat sangat dekat. Adi menatap kepergian mereka dengan rasa iri di dalam hati. Adi sedih karena belum mampu menyentuh Naya. Padahal ia sangat merindukan gadis itu.

Nay, semoga semua cepat selesai dan aku mampu membongkar semua masalah yang menghalangi kebersamaan kita. Semoga semua berjalan sesuai harapanku. Semoga saat hari itu tiba, aku masih bisa memelukmu, memiliki cintamu seutuhnya.

Adi kembali ke kantornya. Mengerjakan tugasnya sebagai pimpinan Mahardika Fashion. Hafa masuk saat Abi tengah memeriksa beberapa dokumen yang ada di mejanya.

"Kamu sudah kembali?" tanya Hafa.

"Ya."

"Apa permainanmu saat ini kurang berjalan lancar?"

"Apa maksudmu?"

"Wajahmu menyedihkan."

"Jangan meledekku."

"Hemm, apa gadis itu belum menyadari kehadiranmu di dekatnya?" tanya Hafa penasaran.

"Putra terlihat semakin lengket dengan Naya," gumam Abi tanpa sadar.

"Ah, jadi kamu cemburu?"

"Hafa," Abi memperingatkan.

Hafa tertawa kecil melihat sikap Abi yang gelisah. "Erm, kenapa kamu tidak temui dia dengan identitasmu yang sekarang? Bukankah akan lebih mudah bagimu untuk mendapatkan perhatiannya? Bukankah Naya sangat mencintaimu?" Hafa menebak.

"Tidak sesederhana itu. Hubungan kami cukup rumit. Hah! Biarkan aku mengupas satu persatu masalah yang menghalagi jalanku untuk bersamanya."

"Kamu yakin bisa menyelesaikannya? Jangan sampai, Pria itu memanfaatkan waktu kosong ini untuk mendapatkan cinta gadis pujaanmu. Nanti kamu menyesal."

"Hafa, jangan membuatku bimbang."

"Uwuu, aku pikir kamu tidak akan mudah terprovokasi," Hafa menahan tawa.

"Sudahlah, siapkan ruang meeting sepuluh menit lagi. Strategi marketing kontrak kerja sama dengan Perusahaan Singapore ini harus segera mendapatkan perencanaan matang."

"Baik, segera aku siapkan."

Hafa tidak mengganggu Abi lagi. Hafa segera melakukan perintah Abi. Lima belas menit kemudian mereka sudah berada dalam ruang meeting bersama beberapa staff berwenang.

Sementara itu Putra telah sampai di Asrama Naya. Putra masih enggan untuk berpisah dengan gadis pujaan hatinya itu.

"Terima kasih, Tra. Gue bisa sampai Asrama dengan selamat."

"Ngapain lo buru-buru pulang? Seharusnya kita pergi jalan-jalan dulu."

"Tadi kan sudah gue jelasin. Gue janji, setelah kompetisi ini berakhir kita pergi berlibur."

"Janji ya?"

"Iya."

"Ok, tapi sebelum waktu itu tiba gue boleh main ke sini kan?"

"Weekend."

"Selain weekend?"

Naya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Putra melipat bibirnya menahan kecewa.

Baiklah, tidak apa-apa. Yang penting gue masih bisa bertemu dengan Naya. Batin Putra.

Putra memaksa untuk singgah sebentar. Putra masih ingin bersama Naya. Mereka akhirnya duduk di ruang tamu Asrama.

Putra melihat keadaan Asrama yang masih sepi. Haya terlihat beberapa orang yang sepertinya petugas di Asrama. Sedangkan peserta kompetisi tidak ada yang terlihat. Tapi Putra tidak peduli tentang itu.

"Nay, apa Fisa bersikap buruk ke lo selama di Asrama?" tanya Putra yang tiba-tiba menjadi penasaran.

"Buruk sih nggak, kak Fisa hanya tidak mau mengenal gue selama dalam kompetisi. Dia tidak ingin peserta lain tau jika kami bersaudara."

"Benarkah? Ah, tapi lo harus bisa ngelawan jika Fisa berbuat buruk ke Lo."

"Iya, gue tau. Lo tenang aja, gue bisa jaga diri gue baik-baik."

Sorry, Tra. Gue terpaksa berbohong. Gue hanya nggak mau bikin lo khawatir. Lagipula gue masih bisa jaga diri gue sendiri. Batin Naya.

"Syukurlah. Eh Nay, ngomong-ngomong lo ngerasa ada yang aneh nggak sama Adi? Fotografer lo itu?" kata Putra memicingkan matanya.

"Ada apa dengan dia?"

"Ya gue ngerasa aneh aja. Seperti ada yang dia sembunyikan."

"Jangan mulai deh. Sudah jangan berpikir macam-macam. Gue ngerasa dia baik. Memang sih awalnya gue kira kalau dia itu Abi."

"Nah itu, gue ngerasa gitu juga. Gue masih ragu kalau dia itu bukan Adi tapi Abi. Mana ada orang yang sangat mirip padahal tidak ada hubungan darah?"

"Memang iya. Tapi sudahlah, gue mau percaya padanya. Lagipula Adi sudah bilang kan kalau dia itu bukan Abi, mereka jelas dari latar belakang yang berbeda. Jangan bahas ini lagi ya? Gue takut nanti Adi akan terluka jika mendengarnya."

"Kenapa Adi terluka?"

"Ya karena tau kalau kita tidak mempercayainya. Ayolah, hargai pernyataan orang lain. Bukankah kita sudah berteman dengannya sekarang?"

"Baiklah. Tidak ada buruknya juga berteman dengannya. Malah lebih bagus kalau kalian berteman, sebab Adi bisa membantumu dalam kompetisi ini."

"Adi sudah sangat membantu gue dengan ilmu yang ia ajarkan kemarin. Tapi gue tidak mau memanfaatkan pertemanan ini untuk meraih keuntungan dengan cara yang curang."

"Iya iya, gue percaya kok. Lo kan emang orang yang sportif."

Naya hanya tersenyum membalas ucapan Putra.

"Sudah, sana lo balik. Ngapain lama-lama disini?"

"Oo lo ngusir gue? Sombong ya sekarang."

"Hei, gue nggak sombong. Gue hanya tidak ingin bokap lo nyalahin gue karena ngeganggu waktu lo."

"Lo kayak nggak tau gue aja. Sejak kapan papa bisa ngatur gue?"

"Hemm, terserah. Selamat menikmati waktu lo. Gue mo naik. Lo puas-puasin aja duduk disini," Naya bangkit dari duduknya tapi Putra sigap menggenggam pergelangan tangan Naya. Lalu menariknya hingga Naya terduduk di pangkuannya.

"Berani ya lo ninggalin gue?"

Putra menatap Naya begitu dalam, ucapannya terdengar seperti ancaman. Hembusan nafas Putra begitu terasa karena mereka berada dalam jarak yang cukup dekat. Entah mengapa dada Naya berdebar kencang diperlakukan seperti itu oleh Putra.

Ah perasaan apakah itu? Hemm, akankah Naya mengubah haluan perasaannya?