Chereads / Me Vs Your Identity / Chapter 25 - Memainkan Peran (3)

Chapter 25 - Memainkan Peran (3)

Tanpa disadari, Naya telah berada di belakang Adi. Ia awalnya ragu ingin memanggil Adi, karena melihatnya sedang berbicara dengan bos Vano. Tapi rasa penasaran Naya sudah tidak dapat di bendung lagi. Maka Naya memberanikan diri untuk bertanya.

"Maaf, apa kita bisa bicara sebentar?" kata Naya kepada Adi setelah pengambilan gambar selesai.

Adi memutar tubuhnya, melihat siapa yang bersuara dari belakang punggungnya. Naya nampak ragu-ragu memandangnya.

"Ya? Ada apa Naya?" ia meyakinkan jika benar Naya mengajaknya bicara.

"Apa kita bisa bicara sebentar?" tanya Naya lagi.

"Ermm, aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku dan ... Setelah ini selesai aku harus cepat pergi ke suatu tempat. Maaf, tapi untuk saat ini sepertinya kita belum bisa mengobrol. Ada apa? Apa ada yang penting?" Adi berharap Naya mengurungkan niatnya untuk mengajak bicara. Adi belum siap jika Naya bertanya tentang banyak hal.

"Ah, ehmm mungkin kita bisa bicara lain kali. Maaf, aku tidak mau mengganggu pekerjaanmu."

"Bagaimana kalau kau bagi nomor ponselmu, aku akan menghubungimu saat aku ada waktu. Bagaimana?" kata Adi cepat.

"Baiklah, tunggu sebentar" Naya nampak senang, ia lalu akan beranjak menuju lokernya.

"Tunggu" kata Adi menghentikan.

"Ya?"

"Kau ketik saja di ponselku. Nanti aku akan menghubungimu" Adi memberikan ponselnya.

"Ya" Naya menerimanya lalu menekan beberapa nomor. Naya mengembalikan ponsel Adi setelah selesai.

Adi menerimanya. "Naya."

"Ya" Naya memandang Adi begitu di panggil.

Cekrik!

Adi mengambil gambar Naya sebagai foto profil untuk kontaknya. Senyum tipis menghiasi bibirnya.

"Kenapa tidak bilang" kata Naya malu sambil mengalihkan pandangan ke arah lain. Sementara tangan kirinya menyelipkan rambut ke belakang telinga.

"Hemm, yang natural terlihat lebih indah."

Naya baru akan membuka mulutnya saat Adi minta izin untuk melanjutkan pekerjaannya.

"Baiklah, aku lanjut kerja dulu."

"Ok, terima kasih untuk ilmu singkat yang kau ajarkan tadi."

"Ok" kata Adi sambil tersenyum ala iklan pasta gigi. Sesekali ia membetulkan letak kaca matanya.

Naya menghela nafas pelan. Ia nampak kecewa karena tidak dapat bertanya banyak ke Adi.

Baiklah, tidak apa-apa. Nanti saat dia ada waktu pasti menghubungi gue. Gue akan tanya banyak hal, Abi harus memberiku penjelasan tentang semua ini. Gue yakin, pasti ada sesuatu di balik sikapnya yang aneh.

Begitu pemotretan hari ini selesai, Naya tidak dapat menemukan Adi. Hemm, mungkin dia memang sangat sibuk. Buktinya ia langsung menghilang begitu pekerjaanya disini selesai. Naya akhirnya kembali ke Asrama bersama para peserta yang lain.

Di asrama, Naya segera menuju kamarnya. Raganya butuh istirahat. Naya menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Naya menatap langit-langit ruang kamar. Pikiran Nayaa melayang, membayangkan kembali pembicaraannya dengan Adi tadi dan waktu di pesta bertemu dengan Abi. Naya menduga-duga, apa yang sebenarnya sedang direncanakan oleh Abi.

Ceklek!

Seseorang tiba-tiba membuka pintu kamar Naya. Hal tersebut membuat Naya loncat dari atas ranjang.

"Ada apa?" tanya Naya heran.

"Jangan berisik, Gue nggak mau peserta lain tau jika gue sedang ada disini" katanya mengecilkan volume suara.

"Apa yang lo mau?" tanya Naya blak-blakan.

"Tidak sopan, kenapa lo nggak menawarkan minum lebih dulu?"

"Apa itu perlu? Biasanya lo nggak pernah mau berlama-lama berada di dekat gue? Apa lo tidak takut tertular kulit gosong gue?" Sindir Naya.

Naya tau jika kulit gelap itu tidak menular. Fisa selalu berpikir jika itu hama. Itulah yang selalu Fisa ucapkan sejak dulu. Fisa tidak mau tertular kulit gelap Naya, jika terlalu lama beranda dekat dengannya. Itu hanya alasannya karena Fisa tidak suka jika disuruh dekat-dekat dengan Naya.

"Lo nyindir gue? Gue bukan anak kecil lagi dan lo sudah tidak gosong" Fisa menyilangkan tangannya di depan dada.

Ah, jadi sekarang dia sudah mengakui jika aku bukan lagi itik buruk rupa. Batin Naya dalam hati. Namun, Naya tetap waspada sebab tidak mungkin Fisa sekedar main ke kamarnya, pasti Fisa datang karena ada maunya. Ada sesuatu yang dia inginkan.

Naya bersikap lebih santai, ia duduk di tepi ranjang sambil menanti maksud utama dari kedatangan Fisa di kamarnya.

"Ah, baiklah. Gue langsung bilang saja. Akhir pekan ini merupakan hari bebas bagi kita. Lo pasti sudah tahu itu kan? Gue cuma minta saat libur akhir pekan nanti lho tidak boleh pulang ke rumah. Gue nggak mau Mama sampai tahu, jika akhir pekan adalah hari bebas bagi kita. Gue ada acara dengan teman-teman gue. Tidak perlu tahu kemana gue akan pergi bersama teman-teman gue, yang lo harus lakukan hanya ... lo tidak boleh pulang ke rumah. Kalau sampai Mama tahu, gue keluar dari asrama akhir pekan nanti, gue nggak akan segan-segan untuk nge-depak lo dari kompetisi ini secepat mungkin" ancam Fisa.

Ya, itu bisa saja dilakukan oleh Fisa. Sebab dia memang dekat dengan beberapa orang penting.

"Kenapa gue harus turuti mau lo?"

"Karena gue kakak dan lo adalah adik. Lo harus turuti kata-kata gue."

"Ah, sekarang lo nganggep gue saudara? Lucu. Bukankah lo sendiri yang minta gue untuk ngejauhin lo? Bahkan tidak boleh mengungkap status hubungan diantara kita."

"Udah deh, nggak usah banyak omong. Lakuin apa yang gue minta. Lo kan bisa tinggal dimana aja? Atau nggak perlu keluar asrama."

"Ok, itu aja kan mau lo?" Naya malas berdebat lama dengan Fisa.

Fisa memandang acuh tak acuh ke arah Naya. Lalu melanjutkan kata-katanya.

"Itu aja. Bye."

Fisa memutar tubuhnya dengan gemulai, lalu berjalan menuju pintu dan keluar dari kamar Naya.

"Huft" Naya menghembuskan nafas panjang. Membuang segala kekesalannya. Berhadapat dengan Fisa selalu membuat pikirannya tegang. Fisa selalu meninggalkan rasa kesal di hati Naya.

Jika Naya ditawari satu kesempatan untuk menghapus ingatan, maka ia akan langsung memilih untuk menghilangkan segala ingatannya tentang Fisa. Dia lebih suka hilang ingatan kalau mempunyai saudara perempuan. Naya berpikir, menjadi anak tunggal seperti Putra mungkin lebih menyenangkan daripada mempunyai saudara satu tapi sifatnya seperti Fisa.

Seberapa banyak usaha Naya untuk bersikap baik, tapi kakaknya pasti tidak akan pernah diterima oleh hati nurani kakaknya itu. Jika Naya sekali saja bersikap buruk kepada kakaknya, makanan yang akan mendapatkan pembalasan yang berlipat ganda dari kakaknya itu.

Argh, terserah dengan apa yang mau dilakukan oleh Fisa. Gue tidak akan peduli, yang penting akhir pekan nanti aku akan mengunjungi Papa di rumah sakit. Fisa tidak perlu khawatir karena gue tidak akan pulang ke rumah. Lagipula Mama juga tidak akan senang melihat gue pulang. Fisa lah yang lebih diharapkan kepulangannya oleh Mama. Sikap Mama membuat gue berpikir jika mungkin gue ini adalah anak tiri. Bagaimana tidak aku berpikir seperti itu jika perlakuan Mama kepada gue jauh berbeda dibanding perlakuan Mama terhadap Fisa. Ya, dulu gue sering mengeluhkan, mungkin gue ini adalah anak pungut karena perbedaan perlakuan Mama tersebut, tapi Papa selalu bisa meyakinkan gue. Bahkan Papa pernah sengaja melakukan tes DNA untuk membuktikan bahwa gue ini benar-benar anaknya. Hemm, memang hanya papa yang menyayangiku menerimaku apa adanya. Pa, Naya rindu. Ucap Naya dalam hati.

Tanpa terasa air mata Naya meluap, ia sangat merindukan papanya. Andai saja keadaannya tidak menjadi seburuk ini pasti Naya lebih memilih untuk menghabiskan waktunya untuk terus bersama dengan papanya menemani Papanya selama dirawat di rumah sakit.

***

Abi baru saja selesai bertemu dengan klien. Kontrak kerjasama berada di tangannya. Abi dapat memperoleh kepercayaan dari rekan bisnisnya itu.

Hafa mendekati Abi setelah mengantar klien sampai ke pintu keluar restoran. Hafa duduk di kursi samping Abi.

"Tadi ketua mencarimu, saat kamu berada di studio foto. Sebaiknya kamu menghubungi ketua sekarang" kata Hafa.

"Aku malas menghubungi bocah tua itu."

"Kalau kamu siap kena masalah, lakukanlah."

"Ah, baiklah" kata Abi malas.

Abi mengambil ponselnya, lalu membuka kontak untuk mencari nomor kakeknya. Abi menggeser layar ke atas menggunakan ibu jarinya. Tiba-tiba ibu jarinya terasa kaku, saat menemukan nama Naya di dalam ponselnya. Wajah Naya dengan ekspresi polos menatapnya. Abi sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.

Ibu jari Abi dengan lancang, menekan foto profile kontak tersebut. Lalu mengusap lembut wajah Naya dalam layar ponselnya.