#Root Cafe'
Hari minggu ku tidak spesial. Hari ini aku banyak menghabiskan waktu untuk duduk di kafe. Moris dan Sapho berkali-kali memaksaku untuk menceritakan sesuatu yang menggangguku.
Sepasang suami istri muda yang bekerja untukku itu amat mengerti bahwa aku tak berperilaku seperti biasanya.
Aku memijit kepalaku sendiri, sampai dua orang wanita datang ke hadapanku. Salah satunya memasang wajah garang seolah ingin membunuhku.
"Ada apa?"
"Aku yang seharusnya bertanya!"
Rachel begitu marah, aku melihat ke arah Sapho. Tampak jelas ia memperhatikan kami.
"Ayo ke ruanganku."
Aku berdiri dan berjalan mendahului kedua sahabatku. Setelah kami semua masuk ke ruanganku, aku mengunci pintu. Setidaknya dengan begini Sapho dan Moris tidak akan berani menguping. Aku yakin itu, mereka adalah orang-orang yang tahu diri.
Cloudy mengambil tempat dengan duduk di sofa kantorku. Ia tahu bahwa Rachel akan memarahiku habis-habisan karena itu ia hanya akan berperilaku layaknya penonton bioskop.
Sementara Rachel sudah bertolak pinggang, "aku tidak mengerti Azzu. Mengapa kau menolak Clarissa."
Aku berjalan ke kursi kerjaku. Dan kembali memijat keningku sendiri.
"Maaf Rachel, aku hanya tidak bisa."
"Tidak bisa? Baiklah kalau begitu aku minta kau untuk berkencan dengan pria."
Aku hanya diam.
Rachel mendekati meja kerjaku. Amarah masih menguasai wanita yang menjadi sahabatku itu.
"Kau juga tidak bisa bukan?! Katakan alasannya Azzu. Kau tidak berkencan dengan pria ataupun wanita. Apa kau dapat memahami kekhawatiranku?!"
"Kau ini-----kau sebatang kara di negara ini. Kau terlalu misterius untuk seorang wanita. Meninggalkan keluargamu dan datang kemari, tidak menjalani kehidupan percintaan. Apa kau sadar akan kehidupanmu?! "
Aku masih terdiam. Cloudy akhirnya memutuskan untuk berdiri, aku menangkap pandang ia menggenggam lengan Rachel.
"Tenanglah... Biar aku yang bicara..."
Aku mendengar suara hela nafas secara kasar dari Rachel. Ia memutuskan untuk duduk di sofa coklat. Kini Cloudy yang mendekati meja kerjaku. Tidak, lebih tepatnya ia mendekatiku. Ia duduk di atas meja kerjaku dan memandangku.
Kami hanya diam untuk sesaat. Sampai ia mengambil tangan yang sedang kugunakan untuk memijat kening.
"Dia hanya khawatir padamu."
"Aku tahu, tetapi aku baik-baik saja."
Cloudy mengusap punggung tanganku.
"Kau tahu, saat pertama kali kita bertemu di kelas. Rachel untuk pertama kalinya mengatakan padaku, bahwa ia akan memiliki saudara."
Aku tersenyum mendengar ucapan Cloudy.
"Ia tidak pernah benar-benar ingin melanjutkan pendidikan. Tetapi kau berhasil membujuknya untuk melanjutkan pendidikan."
Aku masih terdiam.
"Aku tau, Rachel sangat keras kepala... Tapi kau lebih keras kepala..."
"Dia berusaha keras agar kau merasakan jatuh cinta. Kau tahu Azzu, Rachel hanya ingin kau memiliki tempat bersandar, memiliki tempat untuk berbagi beban, berbagi perasaan. Ia ingin kau menjalani hidup dengan lebih ringan dan bahagia. Rachel dan aku tidak dapat selalu ada untukmu. Kami sangat menyayangimu."
"Aku tahu..."
"Ingat bagaimana Louis berusaha keras untuk mendekatimu, atau Carlos yang harus mengulang matakuliah karena ingin sekelas denganmu. Louis dan Carlos hanya sebagian kecil dari pria yang kami usahakan untuk menjadi pasangamu."
Aku tersenyum, "Tidak ada yang berhasil."
"Ya... Kau terlalu keras mengunci hatimu.... Clarissa adalah jalan terakhir bagi kami. Kami berusaha memahami, kau tidak ingin jatuh cinta, jadi kami mengirim Clarissa. Dia profesional dan sepenuhnya akan menganggap kliennya sebagai klien. Tetapi itu juga tidak berhasil. Kami tidak dapat memahami dirimu."
Aku memandang Rachel yang duduk dengan kaki bergerak tak tenang. Aku tahu, ia masih menahan amarahnya.
"Pagi ini, sebelum memulai pekerjaannya, Rachel ingin memberi uang kepada Clarissa. Namun ia menolaknya. Clarissa bukan wanita layanan sembarangan. Ia tidak akan menerima uang tanpa melakukan pekerjaan. Meski ia tak mengatakan tentang kejadian antara kau dengan dirinya, penolakannya menjelaskan semuanya."
"Kalian ingin mengerti, bahka aku juga tak dapat mengerti diriku sendiri."
Ucapanku berhasil membuat Rachel menghujamku dengan tatapan mengintimidasi. Apa aku harus mengatakan semuanya? Aku tidak tahu, apakah aku sanggup...