Chereads / Perfect_Paradise / Chapter 4 - Part 4

Chapter 4 - Part 4

#Kediaman Azzura

Aku mengakui kecantikan Clarissa dan suaranya yang seksi (astaga apa yang aku pikirkan?!), namun sejujurnya semua itu membuat kepalaku berdenyut. Ia mengambil gelas yang ada dalam genggamanku dan menghapus jarak di antara kita.

"Oke...Baiklah, sudah cukup." Aku bergeser dan menciptakan jarak.

Clarissa memandangku penuh tanya, "Dengarkan Aku, Anda sungguh menawan dan Aku mengakui itu--"

Baiklah... aku kehilangan kata-kata untuk melanjutkan kalimatku, Clarissa masih memandangiku penuh kebingungan.

"---tetapi---dengarkan Aku, maaf...Aku tidak bisa melanjutkan ini. Kita hentikan saja semua ini."

...

Clarissa hanya diam, apakah ia terkejut atau tenggelam dengan kebingungannya, aku tidak tahu.

"Maafkan Aku, Rachel---dia---dia kehilangan akal. Dia temanku dan khawatir tentang kesendirianku, jadi ia berpikir untuk mengirimmu kemari. Maafkan Aku---ini tidak bisa dilanjutkan."

Aku menghela nafas lega setelah melihat kepala Clarissa mengangguk, setidaknya ia mengerti maksudku.

"Baiklah, Aku akan pergi."

"Maaf, Aku tidak bermaksud menyinggung Anda."

"Tidak masalah, Anda tidak bermaksud seperti itu. Anda adalah orang yang baik. Selamat malam."

"Selamat malam."

Aku mengantarkan Clarissa ke depan pintu memandang punggungnya yang perlahan hilang ditelan kegelapan malam. Aku menutup pintu, menguncinya dan menjatuhkan tubuh ke atas sofa mocca kesayanganku. Mengusap kasar wajahku yang sempat tegang beberapa saat.

"Sial!" keluhku dengan memandang cermin. Melihat sosok wanita yang tampak frustasi, kemeja setengah berantakan dan wajah yang hampir terlihat gila.

#Root Cafe'

Aku masuk ke dalam kafe dan harum kopi menyambutku.

"Good Morning, Boss,"

"Morning. Moriz."

"Ms. Allie sudah menunggumu di dalam."

Aku sedikit menghela nafas mendengar nama dosen sekaligus teman sesama dosen itu, selain mahasiswa di strata S3, aku juga seorang dosen untuk strata S1. Allie bekerja di universitas yang sama denganku. Ia mengajarku di strata S3.

"Kau tampak tak bersemangat. Ada apa?"

"Hanya kurang tidur."

"Akan kuantarkan kopi ke mejamu."

"Terimakasih, Moris."

Aku melangkah masuk ke dalam kafetaria yang ku miliki sejak dua tahun lalu.

Bertemu Allie di akhir pekan adalah hal biasa bagiku. Yang tidak biasa adalah mood yang buruk. Sejak pertemuanku dengan Clarissa semalam, ada yang menggangguku.

Tidak, aku tidak memikirkan Clarissa. Hanya saja ada hal yang membuatku gelisah. Sesuatu yang tidak kumengerti, mungkinkah aku telah menyinggungnya semalam?

"Selamat pagi, Ms Allie."

"Oh... Azzu, selamat pagi."

"Maaf membuatmu menunggu."

"Tidak perlu meminta maaf, kau tau, baristamu membuat freddocino dengan sangat baik."

"Terimakasih." Aku duduk di di hadapan Allie.

"Jadi, apa yang bisa kubantu?"

"Pertama, tolong jangan memanggilku Ms. Cukup Allie saja."

"Tetapi bagaimana bisa? Kau adalah dosenku."

"Tentu bisa. Kita sudah saling mengenal sejak kau belajar di strata S2. Ayolah, santai saja. Aku pikir kita sudah layaknya teman."

"Baiklah, Allie."

Wanita berusia 35 tahun itu tersenyum, "well... hari ini kita tidak akan membahas penelitian dan semacamnya."

"Mengapa tidak?"

"Aku ingin mengobrol biasa saja. Layaknya teman."

Aku terkekeh ringan, "kau tau, aku pikir kita akan membahas sebuah proyek penelitian untuk akhir tahun ini."

"Sungguh?"

"Ya."

"Mengapa kau selalu memikirkan tentang penelitian."

"Tidak ada yang bisa kupikirkan lagi," aku tersenyum sendiri dan melihat ke arah pengunjung kafe.

"Hidupku adalah kafe ini, deretan mahasiswa di kelas dan penelitian."

Ia tersenyum dan menyeruput freddocino-nya.

"Bagaimana tentang pria?"

"Tidak, aku tidak memikirkannya."

"Mengapa tidak?"

"Bagaimana dengan dirimu sendiri? Kau juga belum menikah."

Allie menyandarkan punggungnya ke kursi. Kedatangan Moris yang mengantarkan kopi untukku, membuat percakapan antara aku dan Allie terhenti sejenak.

"Thank you, Moris."

"Your welcome, boss..."

Aku menghirup harum kopi, membuat kegelisahan tanpa alasan yang menyerangku sedikit hilang, namun tetap masih menggangguku.

"Apa kau sedang dalam masalah?"

"Tidak," aku mengiringi jawaban dengan senyuman, kemudian menyeruput kopi hangatku.

"Jangan berbohong, Azzu. Aku ini sarjana komunikasi. Aku bisa mengerti dari bahasa tubuhmu."

Aku tersenyum, perkataan Allie ada benarnya. Bukan hal yang bijak untuk berbohong kepada profesor yang ahli di bidang komunikasi antarpribadi.

"Aku hanya sedikit gelisah. Mungkin efek kurang tidur."

"Apakah ada yang mengganggu pikiranmu?"

"Hanya terlalu banyak minum kopi."

Kami tertawa ringan bersama.

"Well, why you're not married?"

"Simple, unrequited love."

"Really?"

"Yeah... "

"Come on, ada banyak pria di Athena."

Allie tersenyum, "aku tidak tertarik dengan pria."

"Oh..."

Hanya itu yang bisa ku katakan. Aku bersandar pada kursi.

"Why you're silent?"

"Nothing, jadi... Cinta yang bertepuk sebelah tangan itu adalah cintamu dengan seorang wanita?"

Allie hanya mengangguk, kami kembali diam.

"Dia wanita yang baik---dan juga cantik."

"Apa dia memiliki boyfriend?"

"I'm not sure."

"Bagaimana bisa?"

"Dia masih sendiri. Aku tidak pernah memberitahu perasaanku."

"Bagaimana kau menyebut ini bertepuk sebelah tangan? Bahkan kau belum memberitahu-nya."

"You're right... Tapi itu tidak mudah..."

Aku menggenggam tangan Allie, aku tau dia terguncang.

Mata kami saling menatap, aku tahu ini berat baginya. "Kau pasti bisa. Setidaknya biarkan ia tahu."

Allie tersenyum, "aku akan mencobanya."

"Good."

Aku kembali menyeruput kopi yang mulai dingin.

"Kau tampak tak terkejut mendengar tentang diriku. Apa karena kau terbiasa berteman dengan Rachel dan Cloudy?"

Aku meletakkan cangkir kopiku, "Aku tidak mengerti."

Allie hanya tersenyum, "Kau adalah teman yang baik, mereka beruntung memiliki teman sepertimu."

...

Aku hanya diam, aku mengerti maksud ucapan Allie. Aku hanya berpura-pura tidak tahu.

"Aku harus pergi, Azzu. Senang dapat mengobrol santai denganmu."

Aku hanya tersenyum, sebelum benar-benar pergi Allie sempat memelukku, aku hanya dapat menepuk bahunya. Setidaknya itu akan memberikan makna bahwa aku menerima keadaannya dan mendukung apapun jalan yang ia pilih.