Chereads / The Decision / Chapter 17 - Bab 14

Chapter 17 - Bab 14

Selamat membaca💙

🌼👑🌼

Berly keluar saat Aalona ingin masuk ke sana dengan satu buah buku ditangannya. Terlihat sahabat lelakinya itu yang nampak buru-buru dan Aalona enggan bertanya, takutnya mengganggu jalan pemuda itu. Putri itu lebih memilih menebarkan senyum dan menyapa lalu menyusul Elina yang nyatanya masih serius di depan matanya.

"Asiknya...!" seru Aalona tepat di balik punggung sang sahabat yang tengah asik berdiri. Ditangannya terdapat buku berjudul 'Manis' : resep untuk membuat aneka olahan berbalut madu, tepat sebelum buku itu tidur tengkurap di atas alas istana.

"LONAAA...!" kagetnya. "Hemmm... Baru datang sudah mengganggu..." sembari menarik buku yang ia baca tadi.

"E-eeh... maaf-maaf. Aku nggak bermaksud, El... Maaf. Enggak bermaksud sama sekali" sesalnya tak enak. Ia pikir suaranya tak akan semenggelegar itu sampai-sampai si Elina dibuatnya terkejut. Tubuhnya yang tadinya membungkuk untuk memungut benda jatuh itupun batal terlaksana, karena Elina tentunya. Lebih dulu sigap mengangkut lalu menggenggam.

Mengulas sedikit senyum. "Iya, nggak papa. Sedikit kaget aja. Tapi, kalo jantungku bermasalah gimana?"

"Heeem... Kita enggak mengenal sakit apapun. Itu kalo kamu lupa siapa kita...."

Elina tertawa dengan mulut tertutup. Setelah lega barulah berdeham guna mengembalikan keseriusannya. "Ngomong-ngomong kenapa ke sini?" pasalnya taulah dia, Aalona itu jarang mengunjungi ruang berisi tumpukan ratusan buku ini.

"Mencarimu. Mau nggak ke meuni bersama? Beberapa hari nggak ke sana aku jadi kangen..." curhatnya sambil kedap-kedip menggoda.

"Hiiih..." dengusnya. "Eh, ya udah ayok! Tapi aku bawa ini." mendorong buku itu dengan tangan kanan lurus ke depan sampai si 'Manis' hanya berjarak sejengkal di depan wajah Aalona. Sayang, tulisannya jungkir-balik seperti murid sekolahan yang sedang senam lantai, sikap lilin.

Aalona mmutar bola mata lelah. "Kebalik!"

"Eh-eh. Hehe, resep makanan kaum kita ini..." kepalanya mendongak sambil terpejam. "Uuum... Enak! Terutama yang gara." membayangkan agar-agar segar bermandikan madu khas mailnera itu.

"Coba liat." diulurkannya buku berukuran sedang dan tak tebal itu. Usangnya juga nampak jelas dari bagian cover. Mungkin sudah ada sejak dulu. Atau mungkin sebelum kedua remaja itu lahir ke dunia. Kedua netra Aalona menyipit tepat di bagian daftar isi. Lembar kedua setelah sampul. Yakni halaman pertama. "Aimas, gara, ima, oda, puim, rodu, dan sam. Tujuh? Tapi kenapa yang ada di istana cuma tiga? Aneh ya, El?" Elina mengangguk setuju dengan wajah polosnya. "Tapi kenapa kamu tadi bilang gara itu enak? Emang pernah nyobain?" gadis itu geleng-geleng.

"Ya menurutku aja, siapa tau enak banget." giliran Aalona yang menengok ke kanan-kiri heran dengan tingkah Elina yang menurutnya aneh itu. "Ya udah nih bukunya, bawa." dikembalikannya benda itu ke tangan pembacanya. "Ke matera dulu. Ada yang mau aku ambil." ucapnya lagi setelah berbalik dan keluar dari sana bersama Elina yang mengekori.

"Mau ambil buku cinta dan mantra itu?" tebak perempuan yang berpakaian sama dengan Aalona, berbahan daun teratai.

Terkaannya benar, sang putri ingin membaca kembali sejentidatmai. Menggali lebih dalam pengetahuan dan ilmu yang ada di dalam lembar demi lembarnya. "Ya, sepertinya memang harus dapat semua ajaran atau sesuatu yang penting dari sana."

"Ya, apalagi itu turun-temurun. Pasti sangat berguna nantinya."

"Betul sekali, aku juga berpikir seperti itu...."

Bahkan didalam otak penuh Aalona, bukan cuma buku sejentidatmai saja yang berlarian. Perihal olahan madu yang ia bacapun ikut masuk ke pikirannya. Glamour girl itu seakan-akan adalah wanita yang penuh kesibukan saja. Hem, memang iya. Saat melangkah saja banyak yang dipusingkan, apalagi membaca buku penuh isi aneh-aneh itu. Rasanya aku ingin balita saja. Selamanya kalau bisa.

"Aalona! Mau bawa rodu?" tanya sang ratu yang melihat putrinya lagi. "Sebelum pergi ke meuni." lanjutnya menjawab kerutan di kening Aalona.

"Enggak... Lona masih kenyang Bunda." balasnya dengan mata mengarah ke Bibi Mely yang melewati mereka tepat di belakang ratu Alena, dan kebingungan kedua gadis berpakaian apudura itu dikarenakan, tangan Mely sibuk membawa rodu bertumpuk-tumpuk.

"Baiklah." Alenapun mengikuti arah pandang sang anak. Begitu juga Elina, masih menatap sang Ibu dengan heran.

"Bibi Mely! Mau ke mana?"

Yang dipanggil berhenti sebentar lalu tersenyum kecil dan berkata, "dapat perintah dari ratu Alena membagi rodu ke seluruh rakyat."

Aalona diam. Menyunggingkan senyum setelahnya dengan wajah berseri-seri dan mendekati Ibu Elina. "Aku bantu, Bi. Aku dan Elina. Setuju, El?"

"Oke!" serunya tanpa ragu sedikitpun. Malahan siap, amat siap dan semangat. Ikut mendekat dan mengambil alih roti-roti yang sudah di wadahi daun teratai.

"Bunda, kita pergi!" pekik Aalona sehabis keduanya selesa memindah-tangankan makanan manis khas istananya itu.

"Tunggu, sayang." cegah Alena dan membuat alis Aalona hampir menyatu.

"Aku pergi dulu saja, Lona. Kamu menyusul ya!" seru Elina yang diiyakan. Menjauh setelah Mely kembali ke dapur dan saat Aalona menatap sang ratu berpakaian ureburai. Hanya bagian lututnya tak mekar seperti milik remaja seusia anaknya.

"Kenapa Bunda? Apa sangat penting?" Alena mengangguk dan melangkahkan kakinya ke magadsana. Ruangan megah nan indah, terkhusus untuk raja dan keluarganya. "Jadi, apa?" tanyanya setelah mereka sampai. Kini keduanya ada di kamar sang ratu. Duduk tepat di tepi ranjang. Menatap satu sama lain.

"Apa Aalona mau melanjutkan perjodohan Ayah dan Bunda sebelumnya?" ucapnya lancar tanpa tersandung lidah. Sayangnya malah membuat Aalona sontak terdiam kaku. Jantungnya serasa ditarik cepat. "Bunda tau, Aalona ragu. Jangan terlalu pusing memikirkannya. Tapi dari dua kerajaan yang ingin mengenal lebih bangsa kita, terutama putriku, mereka mengirim kabar kelanjutan perjodohannya." sang ratu menghirup oksigen dalam-dalam lalu melebarkan senyum, bermaksud menormalkan raut wajah Aalona yang mendadak datar.

"Aalona tau Bunda." ucapnya sembari mengangguk. Ia tepis rasa takut dalam dirinya secara kasar. "Ini pasti akan dipertanyakan. Dan, kalau Lona memutuskan untuk membatalkannya. Apakah diberi ijin oleh Bunda?"

Alena menggenggam tangan sang anak. "Aalona pasti tau apa yang akan Bunda jawab." sembari memberikan senyum cerahnya lalu menarik Aalona ke dalam dekapan hangat itu. "Aalona sendiri yang berhak mengambil keputusan bukan? Jadi... Lona mengerti?"

Dalam dekapan, kepalanya mengangguk paham. "Terima kasih, ratu Alena." Kelegaannya keluar begitu saja. Tumpah sudah, meluber bersama rasa takut yang sudah ia usir sedari tadi.

🌼👑🌼

Bab ini gimana?

See you :)

God bless you <3