Aalona tidak menyangka. Begitu makan malam bersama penghuni istana, ekspresi Alena berubah drastis. Menggiring dirinya untuk masuk ke dalam magadsana, ruangan megah khusus keluarga raja. Sudah tercium bahwa ada hal penting yang ingin Alena ungkapkan pada pemimpin mailnera. Keduanya duduk di kursi berbahan bunga teratai, berwarna merah muda dan terlihat sangat megah. Saling bersebelahan ketika Alena mengatakan, "duduklah."
"Apakah ada hal yang sangat penting sampai Bunda mengajak Lona kemari?" Alena masih tidak bergeming.
Walau tatapannya mengarah pada wajah putri cantik yang memandanginya dengan mengibarkan senyum, pikiran Alena berterbangan kemana-mana. Perjodohan Aalonalah yang menghantui ratu mailnera tersebut. "Kau pasti sudah tahu jawabannya, putri Aalona. Kau pengganti Ayahmu yang berarti kau sudah menggantikan posisi raja. Seharusnya kau tahu jika Bunda membawamu kemari."
"Baiklah. Maaf untuk itu, Bunda."
"Jangan lupakan tugas dan kewajibanmu sebagai putri. Kau adalah seorang pempimpin dari bangsa mailnera. Sekalipun kita sangat dekat, kau juga harus melihat kondisi. Umurmu sudah cukup matang untuk tahu manakah bahasa yang harus kau gunakan di saat serius dan tidak."
"Baik Ratu, Aalona mengerti. Perihal apakah itu?" Senyum yang semula tampil lebar di muka, perlahan sirna. Berubah menjadi ekspresi penuh keseriusan dengan tubuh tegap. "Aalona tidak menemukan keganjilan selama setengah hari ini. Hingga Ratu Alena mengajak ke magadsana seperti sekarang."
Alena kembali membungkam bibir. Namun, tatapannya masih saja tertuju pada paras Aalona yang sangat-sangat cantik. Perpaduan antara raja dan ratu mailnera memang tidak bisa dianggap remeh dan disia-siakan.
Karena kecantikan itulah yang terkadang membuat Alena sedikit waspada. Putrinya menjadi incaran bangsa lain. Tanpa terkecuali bangsa luilnes, kerajaan rafflesia yang tidak diterima permohonan perjodohannya oleh raja Avi.
"Ratu..." panggil Aalona yang merasa pikiran sang Bunda sedang melayang entah kemana. Alenapun mengedipkan mata. "Apakah ada sesuatu yang salah? Apa pekerjaanku sebagai putri hari ini tidak benar? Aku melakukan kesalahan sampai kau serius sekali."
"Bukan. Ini bukan tentang kerajaan. Tetapi menyangkut sesuatu yang lain. Mengenai perjodohan putri teratai, pemimpin mailnera."
"Perjodohanku? Bukankah aku sudah pernah menanyakan hal ini padamu, Ratu? Apakah ada perubahan sekarang? Setahuku, sebagai putri satu-satunya di sini, aku memiliki wewenang. Akulah yang berhak memutuskan perjodohanku."
Aalona tidak marah. Hanya saja dia masih heran serta bingung. Seakan-akan takdir mempermainkan dirinya kala Alena menjawab, "aku teringat hal yang teramat penting, Putri. Bahwa sekecil dan sebesar apapun janji, harus ditepati. Walau susah dan berat, sebuah janji wajib kau bayar. Kita harus membukitan bahwa kita bukan pengingkar janji." Alena menyampaikannya dengan nada tegas.
"Janji? Aku tidak tahu janji apa itu, Ratu. Aku tidak pernah berjanji untuk menerima perjodohan."
"Ya, kau benar, Putri Aalona."
"Bukankah hanya Ratu Alena dan raja Avi yang telah mengatur perjodohan tersebut? Dan kini aku berhak untuk menolak perjodohan yang sudah tersusun sampai sekarang. Itu adalah hakku sebagai putri kerajaan. Aku memiliki kewajiban mengatur istana dan seluruh rakyat, akupun mempunyai hak pribadi. Bukankah seperti itu, Ratu?"
"Ya, semua itu benar. Lalu, apakah kau tidak malu jika kerajaan kita ini dianggap pengingkar janji? Saat itu kau setuju, Putri."
"Aku setuju karena aku tidak bisa menolak dan karena saat itu tugasku hanya menuruti semua perintah raja dan ratu. Lalu, apakah aku bersumpah untuk menerima perjodohan itu?"
"Aku hanya mengingatkan perjanjian yang aku katakan bersama raja Avi dulu, dan kau harus tahu apa keputusanmu sekarang maupun nanti ke depan. Semua keputusannya ada di dalam genggaman tanganmu, Putri Aalona."
Aalona sangat memahami hak dan kewajiban sebagai putri di kerajaan sendiri. Dengan senyum yang membingkai di paras elok putri mailnera tersebut, bibir lembut dan tipisnya merespon, "aku akan melakukan hal yang baik untuk menangani permasalahan ini."
Alena menatap Aalona bersama lengkungan bibir yang tercipta sangat tipis. "Bagus jika kau paham."
"Apakah masih ada hal lain lagi yang ingin Ratu katakan? Jika tidak, aku bisa pergi sekarang. Aku harus menemui Berly dan Elina untuk mengurus pembuatan meuni. Sepertinya, mailnera kecil membutuhkannya untuk bersantai, terlebih ketika para bunda mereka sibuk mencari madu."
"Tidak ada lagi. Hanya itu yang ingin aku sampaikan padamu, Putri."
"Baiklah. Aku permisi, Ratu."
"Sebelum kau pergi, aku ingin kau mengingat saranku untuk tidak mempermalukan kerajaan kita, kepimpinanmu sendiri. Aku juga ingin, kau selalu mengutamakan rakyat daripada kepentinganmu pribadi, Putri Aalona."
"Apapun untuk kerajaan kita. Aku permisi, Ratu."
Seperginya Aalona dari tempat yang penuh kenangan bersama sang ayah, ia menghirup napas dalam-dalam. Dia harus kuat dan tersenyum. "Darah ayah mengalir di tubuhku. Itu tandanya aku bukanlah seorang putri dari raja yang lemah. Raja Avi terkenal kuat dan rela berkorban. Aku pasti bisa melakukannya."
Aalona tak menyadari kalau dirinya sudah dekat dengan perpustakaan istana, dimana Elina biasa bermesraan bersama buku-buku di sana. Sebaliknya, Elina mendengar derap langkah kaki. Diapun merelakan waktu untuk berhenti menyimak kalimat-kalimat di buku yang berada tangannya demi menghampiri suara langkah tersebut. Tak sengaja, Elina berhasil menyerap kata-kata Aalona.
"Kau memang bukan seorang putri yang lemah, Putri Aalona."
Aalona menoleh ke kanan, dimana sahabatnya itu berada. Melihat sambutan senyuman Elina yang terlihat sangat manis, Aalona kembali menyunggingkan bibirnya lebih indah lagi. "Kau memang mengenalku, Elina."
"Ya, semua mailnera tidak ada yang tidak kenal denganmu. Jadi, untuk apa kau mengatakan itu."
"Tidak, aku hanya mengingatkan diriku sendiri untuk tidak lemah." Bagaimanapun juga dia tidak mau menceritakan perjodohannya bersama Elina. Biarlah seluruh rakyat tahu setelah dia memberikan suara beberapa hari ke depan. "Kau tahu, aku akan melakukan semua tugas dan perintah terdahulu demi rakyatku dan kerajaanku, apapun itu akan kulakukan dengan baik." Elina mengangguk mengerti itu, sangat. "Karena itu, doakan aku agar lebih baik lagi."
Bukannya menyetujui ucapan Aalona, Elina malah menatap sang putri lekat-lekat seperti mencari-cari sesuatu di dalam pancaran mata Aalona. "Kalau aku tidak salah menilai, kau tengah tidak baik-baik saja, Putri Aalona. Apakah ada tugas berat yang membuatmu sampai meminta doa dariku? Kau tidak berusaha menyimpan kesedihanmu sendiri, bukan?"
"Ha ... ha ... tentu saja tidak. Aku masih bisa menangani tugas sebagai pengganti raja untuk saat ini."
"Kau yakin, Putri?" tanya Elina sampai sepasang matanya menyipit. Benar-benar terlihat sangat sipit.
"Benar, aku sangat yakin, Elina." Elinapun percaya tanpa rasa curiga lagi. Walaupun perasaannya masih sedikit merasa tidak tenang. "Dan berhubung kau ada di sini, ayo ikut aku ke matera. Aku punya tugas untukmu dan Berly. Kalian berdua harus melaksanakannya besok pagi dan aku ingin, dalam waktu satu hari pekerjaan itu selesai. Apakah kau tahu dimana Berly sekarang?"
"Setahuku dia sedang berada di dapur. Apakah kau mau aku memanggilnya sekarang juga, Putri?"
Aalona mengangguk. "Baiklah, tolong panggilkan dia. Jika terlihat masih sibuk, kau tunggu Berly saja. Aku harus mengganti pakaian secepatnya, Elina." Elina yang mengertipun langsung beranjak pergi, sebelumnya tak lupa membungkuk penuh hormat.