Chereads / The Decision / Chapter 24 - Bab 21

Chapter 24 - Bab 21

"Apakah ada yang ingin kau sampaikan di pagi-pagi buta begini?!" Emosi seseorang meletup di pagi hari. Mungkin sedikit susah dibilang pagi jika tidak mengecek arloji. Bahkan langit masih menunjukkan awan gelap. "Kau masih saja menutup mulut? Jika tidak ada yang ingin kau sampaikan, kumatikan." Sesekali Al menguap, kantuk yang melingkupi masih kentara. Belum sadar betul, ditambah sang penelepon tetap tak mau bicara.

Masih tidak mendengar sahutan di seberang panggilan telepon tersebut membuat Alvison semakin kesal. Ditatapnya layar ponsel sejenak, ia kembali menempelkan benda pipih itu pada telinga kiri. Sebelum dia membuka mulut, pria yang menelepon itu mengeluarkan suara tanpa intonasi, "aku menyekap mereka di gudang milik Julian. Kau mau ikut memberi pelajaran atau tidak? Sebelum orang suruhanku mengirimnya ke kantor polisi pagi ini."

"Kenapa kau sekap?! Aku sudah mengatakan pada Julian untuk segera membereskan mereka tanpa mengotori tangan! Kau juga mendengarnya kemarin! Kenapa sekarang berbeda dari perintahku?!"

"Kau tidak seru, Al. Aku tutup telfon—" belum sempat Kean merampungkan ucapan, Alvison kembali bersuara untuk membentaknya.

"KAU TURUTI SAJA PERINTAHKU KEMARIN!" saking kerasnya volume suara sahabat sekaligus bosnya itu, Kean menggeram dan menjauhkan ponsel dari telinga kanan. "KATAKAN JUGA INI PADA JULIAN! AKU SEDANG TIDAK INGIN MENGOTORI TANGANKU ATAUPUN TANGAN KALIAN! BAWA DIA PERGI DARI GUDANG TANPA ADA CACAT SEDIKITPUN! KAU MENGERTI?!"

"Aku sudah memukulnya, Al. Aku tidak bisa lagi menahan emosi begitu melihat wajah melas mereka itu." Kini suara Julian yang masuk ke dalam telinga Alvison. "Kemarilah, lihat betapa melasnya mereka sekarang, setelah tertawa-tawa di club semalam. Aku yakin, kau juga tergoda untuk menghabisinya. Atau kau ingin aku menunjukkkan wajah mereka melalui panggilan video?"

"Apakah kau dan Kean sudah tidak mau bekerja di tempatku?!" tanya Alvison dengan keras, matanya menajam seperti cakar harimau.

"kenapa kau menanyakan itu? Kau mau memecat kami?" Julian bertanya sambil melirik Kean yang juga mendengar Alvison dengan tatapan datar, mengarah pada benda pipih di tangan kanannya sendiri. "Kau tidak serius saat mengatakannya kan, Sobat?"

"Aku sudah menyuruhmu untuk membereskannya baik-baik, dan aku juga serius sedari tadi," tekan Alvison memperingatkan. "Jangan gunakan tanganmu dan Kean untuk bertindak lebih. Kau suruh saja orang-orangmu untuk membawanya ke kantor polisi pagi ini. Untuk apa kau dan Kean membawanya di pagi-pagi buta begini ke gudang? Mengganggu acara tidurku saja!"

"Kau serius tidak mau memukul? Atau paling tidak memberikan sobekan di sudut bibirnya? Kau tidak akan puas jika tidak melaku—" panggilan terputus begitu saja.

Alvison melempar ponselnya ke sisi kiri tubuh, dan benda hitam itu mendarat dengan posisi terbalik. Sang pemilik kembali terlentang di atas ranjang tanpa ingin menutup kelopak mata. Ia mengamati langit-langit kamar dengan kedua tangan tersimpan di leher belekang.

"Mengapa aku tidak bisa mendengar suaramu, My Aal? Apakah kaupun tidak bisa mendengarkan suaraku?" tanya Alvison dengan dahi berkerut.

Ya, karena sedari tadi dia memanggil nama Aalona di dalam hati. Kala melihat nama Kean, serta ketika Julian bersuara pertama kali. Pemuda itu iseng mencoba karena ingin membuktikan bahwa apa yang dia dengar di kafe dan kantor kemarin adalah kebenaran. Tapi, anehnya, pagi ini Alvison tidak mendapat jawaban Aalona untuk dirinya.

"Lebih baik aku kembali tidur," ucapnya sembari memejamkan mata. Sebelum kembali melanjutkan tidur yang terganggu, Alvison mengatakan dengan sungguh-sungguh, "Kean dan Julian sepertinya harus kuperingatkan, agar mereka mendengar perintahku dengan baik-baik." Tidak seharusnya bawahan mengabaikan perintah atasan. Walaupun teman dekat, Alvison juga harus tegas di lingkungan kerja. Profesionalitas dalam berkerja memang sangat dibutuhkan, termasuk dengan sahabat karib.

Langit memang masih hitam. Bahkan banyak orang yang masih bergelut dengan selimut tebal di atas kasur. Bagaimana tidak? Jam masih ada di pukul setengah tiga pagi. Alvison dengan mudahnya terlelap. Tak sampai satu menit, dia sudah berada di alam lain.

Sementara itu, jauh di pelosok hutan, dan di titik terpencil lautan bunga teratai merah muda, mailnera cantik tengah terdiam begitu terkejut. Ya, bisa, Aalona bisa mendengar dengan jelas suara Alvison yang memanggilnya lewat perasaan. Kini ia berdiri tegak menghadap pada pemandangan luar matera miliknya.

Aalona yang menerima panggilan Alvison melalui hati ke hati itu sengaja tak mau mengirim respons. Bukan karena dia tak suka, tetapi harus dilakukan jika tak mau membuat semuanya semakin rumit. Saran Alena padanya mau tak mau harus dipertimbangkan.

"Maafkan aku," lirihnya tanpa sengaja. Sesingkat mengedipkan mata, ucapannya telah sampai pada Alvison. Masuk begitu saja di tengah-tengah tidurnya yang lelap. Aalona yang seketika sadar bahwa permohonan maafnya tersampaikan, kembali menenangkan diri dengan memandang jauh ke atas. Ditembusnya bunga teratai, menangkap pemandangan hitam, pekatnya awan. "Aku sangat merindukanmu," imbuh Aalona kala dia tidak mendapat jawaban.

Putri mailnera itu memindah tatapan. Ia menebarkan pancaran mata jernih pada madara, tempat tinggal berukuran sedang milik rakyat yang bisa dilihat saat ini. Aalona tersenyum simpul dan mengucapkan, "tidak akan kubiarkan mereka menderita. Jika harus tersiksa, aku siap memberikan nyawa pada mereka sebagai ganti air mata rakyatku sendiri." Aalona kembali menengadah ke angkasa. "Ayah, aku akan membuktikan kedamaian dan kebahagiaan pada seluruh rakyat yang kau berikan padaku ini, dengan tanggungjawab penuh."

"Kamu mendengar suaraku lagi. Apa kamu terbangun karena mendengar panggilanku, My Aal?" tanya Alvison yang rela memaksakan sepasang mata kantuknya untuk terbuka lebar. Sayang sekali, Alona tak mau membalas walau dia memang mendengarnya dengan jelas. Sejujurnya, Aalona terpaksa dan tidak tega mendiamkan Alvison. "My Aal?" Masih tak ada jawaban, yang diajak bicarapun kekeuh tak mau menyahut. "Apa kamu tidur?" tanya pria itu mencoba berkomunikasi lagi.

Aalona yang sanggup mendengar suara berat, namun terdengar sangat-sangat lembut itu semakin tak tega saja. Dengan cepat dia kembali ke atas ranjang mungil nan indah buatan tangan cantik itu sendiri. Semakin cepat detik berlalu, semakin sedih pula sang putri cantik kala suara Alvison tidak berhenti untuk memanggil namanya. "Kamu masih mendengar atau tidak, My Aal?" seperti itulah pertanyaan yang membekas di dalam hati sang putri sebelum panggilan 'My Aal' mengalun lagi.

Hingga akhirnya, terdengar ucapan selamat tidur, terdengar manis dan keluar mulus dari sang pria. Sampai ke dalam lubuk hati putri mailnera tersebut dengan cepat bagai kilat, katanya, "pejamkanlah mata dan bayangkan sebuah senyuman tulusku untukmu, My Aal. Pelukan hangatku selalu untukmu, hanya untukmu, Putri Cantik. Tidurlah dengan lelap...."

Aalona sungguh tidak berani mengeluarkan sesuatu dari bibirnya walau hanya satu kata. Dia tahu, walau kata biasa yang terucapkan, Alvison akan merasa senang karena keduanya sama-sama terikat di dalam keajaiban rasa. Salah satu kekuatan terbesar kerajaan mailnera agar bisa berdiri selama ribuan tahun. Perasaan cinta yang murni, terhadap makhluk hidup apapun.