Apudura, gaun yang terbuat dari daun teratai dan panjangnya di atas lutut itu, sudah melekat apik di tubuh Aalona. Gaun hijau tua yang akan memudahkan pemilik tubuh untuk bergerak lebih ekstra. Manaelama juga singgah di puncak kepala, menghiasi rambut yang menjuntai indah pada balik punggung.
Aalona segera keluar setelah tersenyum saat mahkota bunga benar-benar terpasang. Menjauh dari matera dengan langkah lebih cepat dari biasanya. Aalona sangat semangat hari ini. Walau sempat merasa sedih di dinihari, dia usahakan yang terbaik jika menyangkut kerajaan dan rakyat. Aalona sudah mengatakan pada Elina sekaligus Berly, untuk berkumpul di meuni pagi-pagi sebelum dirinya membagikan rodu khas istana pada seluruh rakyat bersama Elina.
"Apa aku datang terlalu pagi?" gumamnya di saat tidak melihat satupun mailnera di meuni. Aalona lantas memilih duduk dengan sepasang kaki yang mengarah pada tanah. Diliriknya bunga teratai yang berwarna merah dan tumbuh di sekitar meuni. "Kau sangat cantik, tumbuhlah subur." Ia mengatakan dengan tersenyum, kemudian mendongakkan kepala untuk melihat langit, menyampaikan doanya pada Sang Penguasa dan Pencipta alam.
"Apakah aku terlambat datang, Putri?" suara mailnera perempuan dari arah barat. "Apakah Berly juga belum datang?"
"Tidak perlu memanggilku seperti itu, aku belum menikah. Panggil aku seperti biasanya saja."
Elina yang sudah berdiri di hadapan sang putri, sontak menolak dengan keseriusan, "tidak bisa, Putri. Ratu Alena yang memerintahkan ini. Apa kau tidak ingat perintahnya kemarin? Aku tidak mau melanggar untuk kedua kalinya demi kenyamanan pendengaranmu."
"Apapun untuk kerajaan kita," sahut Aalona yang tidak bisa membantah, terlebih lagi dirinya memang sedikit melakukan kesalahan. Tidak seharusnya dia nyaman jika dipanggil tanpa memakai sebutan 'Putri' yang wajib dipakai seluruh rakyat karena posisi Aalona sudah tinggi, yaitu pemimpin mailnera.
"Apakah aku harus memanggil Berly?" tanya Elina yang siap bila harus ke istana. Ia juga tak mau melihat Aalona menunggu. Berly sungguh keterlaluan kalau melupakan perintah penting sang putri yang sudah diagendakan sejak sore hari kemarin.
"Tidak, kau duduk saja di sampingku," tolak sang putri. "Lagipula ... aku tahu, kau tidak dari istana." Elina menggerakkan kepala ke atas-bawah, membenarkan perkiraan tersebut. "Kau darimana pagi-pagi begini?"
Elina yang mulai duduk di sebelah kiri Aalona, merekahkan senyum. "Hem ... aku baru saja membagikan rodu pada rakyat. Tapi aku tidak sendirian. Aku pergi bersama Deryl dan bunda. Mereka sudah kembali lebih dulu, dan kemungkinan besarnya mereka sudah sampai di istana."
"Sayangnya, aku tidak sempat bertemu dengan mereka ketika perjalanan kemari."
"Ya ... sudah cukup lama mereka kembali. Sementara aku, kau tahu? Aku asik menggoda mailnera kecil yang menggemaskan tadi, dan ... kau tahu? Mereka meminta Putri Aalona dan diriku untuk membagi aimas dan oda dari istana."
"Baiklah, karena rodu sudah dibagikan, kita akan membagi aimas dan oda untuk makan siang rakyat terkasihku nanti. Apakah mereka menanyakanku juga? Maksudku seperti, mengapa aku tidak ikut membagikan rodu, apakah mereka menanyakan itu?"
"YA! Bahkan mereka mengharapkan kehadiranmu ketimbang aku, Putri." Elina membalas dengan tampang seperti orang kecewa dan sedih.
Begitu melihat ekspresi sahabatnya yang murung, Aalona mengulurkan tangan dan memegang salah satu bahu mailnera seumurannya itu. "Tidak perlu bersedih, El ... mereka tidak bermaksud seperti itu." Walau terlihat peduli, Elina mampu melihat guratan senyum di bibir Aalona.
"Kau sama saja dengan mereka. Kau ini putri yang adil atau putri yang jahat? Teganya kau menggoda teman sendiri." Tawa Aalona tiba-tiba saja lepas. Terhibur hanya dengan mendengar pertanyaan Elina yang diiringi oleh nada sedihnya. Sangat membahagiakan di pagi yang sangat cerah ini. "Kau sungguh menyebalkan. Padahal kau ini sudah menjadi putri mailnera."
"Jika aku putri jahat, aku tidak akan memimpin mailnera. Akupun tak akan pernah menjadi bangsa mailnera lagi. Apa kau mau aku berubah menjadi putri jahat?" goda Aalona.
"Kau ini, aku hanya bercanda. Aku tidak mungkin menginginkan itu! Membayangkannya saja aku tidak pernah." Tak lupa mengubah raut muka menjadi tersenyum cerah. Dia kembali senang, meninggalkan eksperesi kepura-puraan. "Kau memang putri yang unik, Putri Aalona. Kau memiliki sifat yang hampir mirip dengan raja Avi. Bedanya, raja Avi tidak pernah bercanda. Selalu serius dan tegas, dan kebenarannya adalah raja Avi memiliki hati yang lembut sangat-sangat lembut. Seperti pipi halus bayi mailnera yang baru lahir."
Aalona tertawa lagi, "kau bisa sekali memuji ayahku seperti itu. Candaanmu sangat lucu dan menghiburku."
"Kali ini aku tidak bercanda, aku sungguh-sungguh, Putri Aalona."
"Ya, baiklah." Elina tersenyum kala sang putri mengutarakan, "dan ... mengenai penilaianku untukmu, kau adalah teman dan sahabat yang baik." Tak sampai di situ saja, Aalona menambahkan, "sebagai hadiah, aku akan mengijinkanmu masuk ke perpustakaan yang ada di magdsana. Khusus hari ini ... kau bisa sepuasnya membaca di sana. Selama satu hari ini, perpustakaan keluarga kerajaan, menjadi milikmu, Elina."
Elina tidak bisa lagi menahan raut keterkejutannya atas hadiah dadakan Aalona. Bagai minum di tanah gersang, wajah Elina berbinar-binar. Melihat kesegaran di mata sahabatnya, Aalona merekahkan senyum. "Apa kau yakin?!" seru mailnera seumuran sang putri itu. Sampai-sampai, dua tanggannya meraih tangan putri mailnera tersebut lalu mengenggam erat-erat. "Aku akan sangat-sangat senang mendengar ini, apalagi kalau kau tidak menggodaku, Putri Aalona. Aku akan sangat senang kalau kau serius dengan ucapanmu ini."
"Aku serius kali ini. Aku akan memperbolehkan si kutu buku ini membaca sepuasnya di perpustakaan magdsana dan memilih buku apapun itu tanpa terkecuali. Aku akan menemanimu membaca di sana. Bagaimana? Apa kau juga suka itu, Elina?"
Elinapun memeluk Aalona seerat yang dia bisa. "WAH-WAH, AKU SUNGGUH MERASA BAHAGIA MENDENGARNYA! TERIMA KASIH PUTRI AALONA!"
"Kau terlalu berlebihan." Aalona mengatakan bersama tangan yang sudah mengelus punggung Elina dengan kasih. Menganggap Elina seperti anggota keluarga. "Aku melakukannya karena kau sudah membagi rodu pada rakyat. Aku tahu, kau pasti lelah."
"Tapi, bagaimana dengan ratu Alena? Apakah dia akan menyetujui keputusanmu ini? Membawaku ke magadsana adalah pilihan terbesar, keputusan beliau juga tidak boleh diabaikan walaupun kau pemimpinnya, Putri."
"Kita akan mengatakan apa yang terjadi pagi hari ini. Kau tenang saja." Mendorong pelan tubuh Elina agar menjauh darinya dan melanjutkan dengan senyuman indah yang hanya dimiliki pemimpin mailnera cantik, "aku akan mengungkapkan semua yang kau lakukan di pagi hari ini. Kau totalitas ketika membagi rodu, aku tahu itu."
"PUTRI AALONA!" teriak Berly dari arah yang sama, sama seperti Aalona datang. Dari arah utara, dia berjalan lebih cepat dari mailnera rata-rata. Jika seperti itu, baik Aalona maupun Elina tahu betul bahwa ada yang tidak beres.
"Ada apa, Berly?"
"Kau lama sekali! Kami sudah menunggumu," sela Elina.
"Maaf Putri Aalona, ada sedikit kekacauan di istana. Aku harus memanggilmu karena perintah Ratu Alena, dan masalahnya tentang perjodohanmu."
Dengan gerakan cepat, Aalona berdiri dan memutar tubuhnya. Langkahnya bahkan terlihat seperti sebuah pedang jika diayunkan. Sembari berjalan cepat, ia memandangi pemandangan di sekitarnya dengan jeli dan menajam.