Selamat membaca💙
🌼👑🌼
Kini mobil hitamnya sudah duduk manis di area parkir kafe yang dijanjikan Julian. Sang pengemudi keluar dengan rambut tengahnya disugar sedikit ke samping kanan menggunakan salah satu tangannya. Sedangkan tangan Alvison yang lain, tersimpan di dalam kantong celana bahan hitam. That's cool! Aalona akan menyesal kalau tak melihat penampilan pemuda tampan itu sekarang!
Sampai di dalam, pandangan Alvison menyapu bersih seluruh ruangan di lantai dasar itu. Dan... Ketemu!
"Cepat, Al! Pesanlah...."
"Mana Kean?"
"Ke toilet."
Sesuai permintaan salah satu temannya, Alvison menyampaikan minuman andalannya dan juga menu santapan, "kopi moka satu, air putih satu, nasi ayam seporsi, dan terakhir minta pie chocolate."
sebelum Alvison berbalik, karyawati bername tag Sinta itu bersuara, "maaf, untuk pie chocolate satu porsi?"
"Ya." Alvison langsung putar badan seratus delapan puluh derajat dan angkat kaki dari sana. Sampai di mejanya, terdapat tiga kursi yang memutari meja bundar itu. "Langsung ke inti. Masalah keuangan?" tanyanya pada Julian yang sedari tadi menatap serius kedua temannya dengan rahang yang sudah mengeras. Julian saja sudah menampakkan wajah sangar. Bagaimana respon Alvison setelah mendengarnya?
"Ya. Ada tiga orang yang mempermainkan bisnismu. Ketiga pria ini bersekongkol sejak lama." Julian menarik napas panjang lalu membuangnya pelan. "Masing-masing ada di toko yang kita tangani."
Pandangan Alvison menajam. Dengan suara berat ia bertanya, "di pusat yang selalu aku awasi pun dia berani?!" tak disangka-sangka olehnya. Alvison benar-benar tak percaya kalau dirinya bisa kecolongan seperti ini.
Kean pun ikut menyalurkan suara. Namun di antara ketiganya, ekspresi Kean lah yang paling datar. Bukan karena dirinya dalang dari itu semua, tapi memang begitu lah si Kean, selalu tanpa ekspresi. "Kamu sudah tau orangnya kan?" tanyanya, sudah pasti ke arah Julian. Yang ditanya lantas mengangguk. "Urus lah, lanjutkan obrolan ini nanti. Aku lapar." memang, pesanan Kean dan Julian sudah tiba sejak tadi. Hanya menunggu milik Alvison.
Dengan tatapan tak sukanya Julian mendesis. "Makan tinggal makan. Apa susahnya."
Kean mengedikkan bahu. "Sudah tau orangnya juga masih diam. Lebih bagus menyingkirkan dulu baru ceritakan. Itu baru bagus. Aku kasih dua jempol," ucapnya sebelum menjamah makanannya. Hanya mencicipi sedikit lemon tea.
"Kau!"
"STOP!" perintah Alvison yang sudah mulai jengah. "Jadi, rencana mereka sudah dipikirkan sejak kapan? Apa kamu tau?" tanyanya kemudian.
"Rencananya sudah diadakan lama, sudah dua tahun terakhir. Tapi, dijalankan dua bulan ini. Sedangkan benar-benar berhasil di minggu-minggu ini. Tepatnya setelah kau mengetahui keganjilan," terang Julian.
Penjelasan singkat yang membuat tangan Alvison mengepal kuat. Seakan ingin menekan apapun di dalam genggamannya sekarang juga. Namun, beberapa detik kemudian wajah gadis berumur tujuh belas tahun melintas di kepalanya.
Perempuan cantik itu tersenyum sambil menggeleng pelan. "A-alona..." batinnya sedikit terkejut. "Kenapa kamu muncul tiba-tiba..." ucapnya lagi. "Otak aneh!" sambil memijat pelipis.
"Al!" seru Julian dan Kean yang menatap bingung ke arahnya.
"Pusing-eh?" suara Kean. Alvison menggeleng pelan.
Julian yang merasa pertanyaan Kean benar, lantas menyuruh Alvison, "itu makan lah dulu. Kita lanjutkan setelah ini."
"Ya, mungkin aku memang sudah lapar."
Tiga pemuda yang sama-sama berumur dua puluh tiga tahun itu langsung sibuk dengan makanan mereka. Kean yang sudah makan dari tadi, sekarang telah usai. Sedangkan dua lainnya masih sibuk menggunakan peralatan makan tanpa bersuara.
Hingga tiba-tiba, ada suara yang membuat Alvison membulatkan mata. Jantungnya bahkan bekerja dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Kata gadis yang ia rindukan dari seberang yang mendadak membuat Alvison diam mematung, "kondisikan emosimu. Aku tau, kamu laki-laki baik. Dan kamu lah laki-laki pertama yang kutemui di dunia manusia. Aku ingin sifat baikmu itu selalu muncul di mana pun." Terdengar tawa kecilnya.
"Kuharap kamu bisa mendengar suaraku ini. Aku hanya coba-coba, Al. Semoga tersampaikan." Diminumnya air bening yang ia pesan, hingga habis. Lalu menyesap kopinya sedikit.
Alvison bangkit dari tempat duduknya. "Aku serahkan tugas ini ke kalian berdua. Kalau masih kesulitan, aku akan langsung lapor polisi. Lebih baik begitu daripada aku mengotori tanganku, kan? aku pergi duluan. Sebelumnya, thank you, Julian..." ujarnya lalu menjauh dan pergi.
Jangan tanyakan bagaimana eksperesi kedua temannya itu. Kean biasa saja dan masih dengan ekspresi papan selancar, datar. Sedangkan Julian mendengus kesal, ingin mengumpat keras namun tertahan, "sialan! Diajak diskusi malah mengatur sepuasnya. Kalau seperti ini, aku juga ingin jadi bos!"
🌼👑🌼
Di dalam ruangan berukuran sedang dengan keramik putih corak abstrak warna abu-abu, si tampan tengah duduk anteng di atas empuknya : benda berkaki empat persis di depan meja kerjanya. Di ruang si bos 'sensitivity', punggung tegap itu ia senderkan ke dada kursi. Kepalanya mendongak, sedangkan pandangannya melirik ke sudut ruangan sebelah kanannya. Jari telunjuk dan jempolnya sedari tadi mengelus dagu. Ia masih bingung dengan insiden dua jam yang lalu di kafe, saat bersama sahabat sekaligus anak buahnya tadi. Sampai-sampai jarum jam sudah menunjukkan pukul empat sore dan Alvison tak sadar. Ia hanya diam sembari terus berpikir.
"Suara itu... Suara Aalona?" tanyanya pada diri sendiri. Akhirnya! Bergumam juga bos muda itu. "Tapi, kenapa bisa?" Alvison berdeham sekejap. "Ah ya... dia bukan manusia. Hampir saja aku lupa!" diacak-acak rambut tengahnya lalu berdecak. "Terlalu susah dinalar---Arghhh...!"
Beberapa detik kemudian kelopak matanya tertutup. Membiarkan otaknya untuk tenang sebentar saja. Kepala Alvison yang mendongak itu ia senderkan pada dada kursi. "Rasanya aku merindukanmu..." gumamnya masih dengan mata yang terpejam.
"Aku juga merindukanmu, Al...."
🌼👑🌼
Gimana? Kurang?
See you
God bless you