Chereads / The Decision / Chapter 18 - Bab 15

Chapter 18 - Bab 15

Selamat membaca ๐Ÿ’™

๐ŸŒผ๐Ÿ‘‘๐ŸŒผ

Suasana siang hari di wilayah kaum mailnera bisa terbilang hening. Banyak penjaga kerajaan dan negrinya yang sudah menjalankan tugas seperti biasanya sedari pagi. Sama halnya dengan sepasang gadis cantik yang sedang membantu pelayan istana, membagi-bagikan beberapa rodu ke seluruh kaumnya. Terutama untuk rakyat biasa yang tinggal di madara.

Sang putri yang sejak awal sudah merelakan tenaga untuk turun tanganpun terlihat bersemangat. Bahkan disetiap detiknya. Bukan hanya putri cantik nan baik itu, Elinapun tak jauh berbeda, dia nampak melakukan tanpa beban. Hampir persis seperti sang putri. Tapi... Tetap saja, aura Aalonalah yang lebih mencolok, membuat para rakyat terkagum-kagum. Dan tak jarang pula dari mereka yang dengan tulus hati, diam-diam mendoakan hal-hal positif untuk putri cantik itu. Pancaran ekspresi penuh kegembiraan juga selalu Aalona berikan, dari madara satu ke madara yang lainnya dan pasti sampai kerjaannya selesai.

Aalona, si gadis murah hati dan tidak sombong itupun menyuruh rakyatnya untuk sering-sering mengunjungi istana. Seperti sekarang ini, ia berkata dengan senyum manis dibibirnya, "lebih baik dikeramaian dan merasa bahagia daripada dikesepian merasa terluka juga..." sudut-sudut bibirnya naik ke atas membentuk lengkungan. "... Lagipula magadsana terlalu luas untukku dan Bunda, jadi suasa di dalam istana sudah pasti sunyi."

Wajah wanita pengumpul madu itu terlihat begitu tak percaya, bangga, dan pasti ia terkesima sangat dengan Aalona. "Terimakasih putri Aalona. Kau sangat baik. Kata pemimpin bahkan tak cukup untuk putri sepertimu." bibirnya kini sudah membentuk lengkungan lebar. Kau putri yang sangat mengenal rakyatmu. Bahkan sifat baikmu lebih dari kata baik. Semoga kebahagiaan selalu menemani hidupmu putri Aalona.

"Tak apa-apa. Istana juga milik rakyat, Bibi. Benar kan, El?" tanyanya meminta persetujuan pada sahabat yang berdiri di belakangnya itu.

Mulut gadis yang terbuka hendak menggigit rodu itupun terkatup tiba-tiba. Mengurungkan niatnya menggigit kue manis itu di saat kepala Aalona menoleh dan sepasang matanya menatap dirinya. "Ah iya, benar Bibi. Sang putri memang benar, jadi Bibi jangan sungkan, hehe." jawabnya setengah malu setengah kesal karena kue lezat itu tak jadi ia musnahkan.

"Baiklah, kami permisi."

"Silahkan putri Aalona. Dan terimakasih." sang putri pun berbalik dan pergi. Sedangkan dirinya kembali naik ke tangkai bunga teratai ---setelah menyimpan rodu yang tadi ia terima. Naik hingga ke bagian bunga untuk menggarap tugasnya lagi yakni mengumpulkan madu.

"Apa ada rodu lagi?" tanya Aalona pada gadis yang kini mengunyah pelan di sebelahnya. Akhirnya kue maknyus nan enak itu bisa ia hancurkan dengan gigi-giginya.ย ย 

"Nggak ada Lona, punyaku juga sudah habis."

"Oke... Kalo memang sudah, sebaiknya sekarang kamu ke meuni duluan. Waktuku hari ini cukup banyak dan aku nggak mau menyia-nyiakannya lagi." terangnya yang membuat Elina paham seketika. "Aku akan mengambil buku itu." seperti sebelumnya, ia ingin mengambil buku itu. Tapi karena ketagihan untuk membagi rodu, Aalona mengurungkan niatnya itu. Pikirnya lebih baik menuntaskan tugas lebih dulu barulah bersantai.

"Okei!" Aalona lantas mengangguk. "Jangan lupa bawa aimas dan ima, Lona!" pekiknya setelah ingat waktu yang mereka pakai nanti amatlah panjang. Dan pastinya membuat keduanya haus atau bisa saja butuh asupan makanan. "Eh, maaf! Bukan bermaksud menyuruhmu!"

"TAK MASALAH!" singkatnya. Langkah Aalona yang panjang dan cepatlah yang membuatnya harus menaikkan volume suara. "RODUNYA CEPAT HABIS JUGA KARNA ULAHMU!" teriaknya lagi sebelum benar-benar menghilang dari tatapan Elina.

Spontan sahabatnya itu tertawa kecil. "Gimana nggak habis, buatan Bundaku kan nggak perlu diragukan lagi, hehe." gumamnya dengan langkah kaki ke arah meuni ---daun teratai yang dibentuk seapik mungkin menjadi tempat duduk besar.

"Aku lanjut membaca buku ini El. Kamu bertugas menemaniku. Jadi terserah kamu mau apa. Tapi tetap duduk manis di sini." putusnya tak mau dibantah. Namun tetap dengan nada lembut dan senyum lebarnya. Kedua tangannya memeluk buku besar bernama sejentidatmai.

"Ya. Silahkan... Tapi aku juga akan membaca buku." dikeluarkannya buku resep tentang madu itu dari balik punggungnya. "Eh, kamu lupa bawa aimas dan ima, Lona?" kerena setelah Aalona duduk, putrinya itu langsung membuka hampir separuh bagian buku.

"Astaga! Maaf, tapi aimas sama ima di matera sudah habis. Aku belum membuatnya lagi dan karena terlalu semangat membaca... Jadi lupa mampir ke istana. Maaf-maaf..." jelasnya dengan perasaan dan raut muka tak enak. Ia benar-benar melupakan itu. Sejujurnya, perut gadis yang memakai apudura itu belum lapar, hanya saja ia tahu kalau lidah Elina ingin mencicipi minuman dan makanan itu. Sungguh, sang putri terlalu berhasrat ingin membaca buku cinta dan mantera itu.

Elina paham, jadi ia memilih untuk membunuh perasaan sedih akibat batal nyemilin ima dan menyesap aimas. "Nggak masalah. Aku tau Lona..." ide kecil melintas secara kilat diotaknya. "Kamu tunggu sini, aku yang akan ke istana. Gimana?"

"Yakin?"

"Iya, nggak masalah kan aku tinggal sendirian?"

"Aku bukan bayi imut nan cengeng."

Elina terkekeh. "Ya-ya bayi tua... Aku pergi!" baangkitlah sahabat Aalona itu dan langsung berlari setelah menggoda sang putri.

"Hei mailnera kelaparan! Berani sekali!" balasnya tak mau kalah. Sedangkan Elina memperlihatkan cengirannya dengan kedua tangan diangkat, telapak tangannya melambai. "Hiiish..." sang putri hanya bisa tersenyum kecil lalu menenggelamkan fokusnya pada buku tebal itu.

๐ŸŒผ๐Ÿ‘‘๐ŸŒผ

Gimana? Aku masih dan selalu berusaha menulis dan berpikir....

See you๐Ÿ˜˜

Gbu๐Ÿ˜‡