Chereads / The Decision / Chapter 20 - Bab 17

Chapter 20 - Bab 17

Selamat membaca ๐Ÿ’™

๐ŸŒผ๐Ÿ‘‘๐ŸŒผ

Jarum jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore lebih dua puluh menit itu membuat seorang wanita berumur empat puluh lima tahun terus gelisah dalam penantiannya. Sudah lima hari ini dia sendirian dirumah besar itu. Hanya dua orang yang tinggal di dalam rumah bercat putih itu. Dia Marta, isteri yang ditinggal suaminya bekerja, pulang setahun sekali dan seorang Ibu yang memiliki satu anak laki-laki. Cuma anak tampannya yang selalu menemani hari-harinya. Tapi, setelah bertambah dewasa dan masuk ke dunia pekerjaan, Alvison kecilnya sudah berubah drastis. Jarang menghabiskan waktu bersamanya, sering keluyuran ke luar kota, pulang larut malam, dan terutama kalau masa liburan sudah tiba. Pasti takkan menunjukkan batang hidungnya.

"Malem, Mi." dipaksakannya senyum simpul diwajah lusuh bak pakaiannya itu. Sambil berjalan masuk, pemuda itu bersuara dengan nada lesu. "Al istirahat dulu ya. Capek."

Anak yang di tunggu berhari-hari akhirnya datang juga. Tapi melihat respon Alvison yang cuek, membuat Ibu satu anak itu sedikit kecewa. "Kenapa lama banget sih...?" tanyanya yang sontak membuat kaki Alvison berhenti. Tubuhnya berbalik dan kini menatap Marta. "Kamu nggak kasihan apa sama Mami?! Mami sendirian selama kamu pergi, Al!"

"Maaf, Mi... Al bener-bener butuh liburan." jawabnya jujur dan hendak menggerakkan kakinya lagi.

"AL!" mendengar bentakan Marta, lantas membuat Alvison mengurungkan niatnya. Alisnya terangkat seolah ia bertanya kenapa lagi? Marta sebisa mungkin menahan emosinya. "Oooh! Mami tau, kamu kayak gini karna udah bosen hidup berdua sama Mami kan? Iya?" Marta terdiam setelah mengatakan itu dan menerawang jauh. Teringat sosok sang suami. "Kamu mau jauhin Mami kayak Papi kamu itu? Iya?"

"Mi..." kepalanya menggeleng dan ditariknya sang Mami ke dalam pelukannya. "Al cuma pengen istirahat sekarang. Liburan kemaren juga karna Al capek mikirin keuangan di salah satu toko kita." jelasnya sedikit jujur sambil berusaha menepis rasa lelah di tubuh tegapnya itu jauh-jauh.

Marta berangsur melepaskan diri. "Oke-oke, Mami ngerti." sembari mengelus lengan kanan anaknya Marta mengijinkan, "ya udah masuk kamar sana. Jangan lupa bersih-bersih ya." Alvison mengangguk.

Tubuh lelah itu berjalan semakin jauh, menuju lantai dua. Dimana kamar sang Mami dan dirinya berada dan bersebelahan. Tak lupa untuk mengunci pintu. Dijatuhkannyalah tubuh itu ke atas ranjang setelah tas punggungnya tergeletak di atas lantai dingin kamarnya. Kelopak matanya lantas tertutup. Karena kepalanya yang terasa berat seperti tertekan kuat, ia coba jari-jarinya untuk memijit bagian dahi lalu pangkal hidung selama kurang lebih lima menit.

Dari luar Marta berteriak tak terlalu kencang. "Mami udah siapin makan. Kalo udah selesai mandi turun sebentar, kita makan."

"Iya, Mi!" sahutnya dengan mata masih terpejam.

"Mami tunggu."

"Hem." sahutnya yang nyatanya tak terdengar dari luar. Setelah dirasa sedikit cukup membantu, Alvison menyiapkan pakaian ganti lalu menyambar handuk yang menggantung di tempatnya dan berjalan masuk ke kamar mandi.

Lima belas menit sudah ia habiskan di bilik itu. Masih mengenakan handuk sedang dari perut sampai lutut ia keluar. Secepatnya ia meraih pakaian yang tertinggal di atas kasur lalu masuk ke kamar mandi lagi. Sudah kebiasaannya untuk berganti di dalam sana.

Aroma kopi menyeruak ke sudut kamar pria berkaos putih dengan celana pendek selutut itu. Sudah dipastikan akibat dari parfum yang ia semprotkan ke beberapa titik tertentu bagian tubuhya. Rambut yang sedikit lebat di bagian tengahnya itu dibiarkan basah dan tak menyentuh sisir. Benar, ia terlihat bekali-kali lipat lebih segar dari penampilan sebelumnya. Dijamin, Aalona pasti tergila-gila kalau sudah melihatnya seperti itu. "Ah, cewek itu... Aku merindukanmu, My Aal." gumamnya masih di depan cermin. Belum ada dua puluh empat jam penuh, dirinya sudah dilanda rasa kangen setelah sosok itu berterbangan dipikirannya. Gimana kalau dua hari? Seminggu? Sebulan? Huft, bisa dipastikan sulit mengatasi. Jalan satu-satunya ya dengan mengunjungi Aalona. Karena tak ada alat komunikasi apapun di dunia gadis itu.

Tok Tok...

"Ya! Al udah siap!" seakan tau kalau yang mengetuk pintu adalah Marta. Siapa lagi kalau bukan sang Ibu? Di dalam rumah luas itu kan hanya ada mereka berdua.

๐ŸŒผ๐Ÿ‘‘๐ŸŒผ

Hari ini adalah waktu yang berat untuk Alvison lakukan. Saat di mana ia harus bergelut lagi dengan tugasnya. Pria berusia dua puluh tiga tahun itu kini sudah siap dengan penampilan formalnya. Kemeja biru langit dan celana bahan hitam. Rambutnya tak seberantakan semalam. Namun juga tak terlalu rapi. Hanya dirapikan dengan jari-jarinya. Sepatu hitam mengkilap menambah kesan cool untuk penampilannya pagi ini. Jangan lupakan aroma mocha yang membuat siapapun betah di dekat Alvison. Terlebih, pelukannya...

Diraihnya tas hitam yang biasa ia bawa untuk bekerja. Dan menutup pintu kamar tanpa dikunci. Tubuh tinggi nan tegap itu mulai menuruni tangga. Kedua netranya lantas melirik ke arah dapur, berlokasi di bawah tangga yang ia pijak. Di meja makan putih itu terlihat sang Ibu yang hendak meletakkan nampan berisi roti tanpa rasa dan dua gelas jus alpukat, beberapa macam selai dari kacang, cokelat, dan stroberi, sudah tersedia dan tertata rapi di atas sana.

"Pagi, Al." sapa Marta ketika sadar si anak kesayangannya sudah berjalan menghampirinya. "Udah semangat kerja?" tanyanya basa-basi.

"Pagi." sambil menarik kursi dengan tangan kiri dan tangan yang lain meraih sehelai roti putih di depannya. "Kalo nggak semangat, nggak akan bisa liburan lagi."

Marta mendesis dan memutar bola mata. "Barusan aja kamu pulangudah mikir libur lagi." ucap Marta tak suka. "Nggak kasian apa?! Mami di rumah sendirian Al... Kamu tau sendiri kan kalo temen Mami cuma kamu!" sambungnya mulai sedikit emosi dan ikut duduk di salah satu kursi dari empat yang tertata. Tepatnya berhadapan dengan Alvison.

Sambil membuka salah satu selai, Alvison menatap sang Mami. โ€ณYa udahโ€ฆ Mami mau liburan juga? Kalo mau, Al urus semuanya. Gimana? Mau?" tangannya tengah mengoles selai kacang pada roti putih itu.

"Enggak!" memekik tak setuju. "Kalo sendirian ya sama aja... Minimal sama kamu lah, Al."

Alvison berdecak sebelum menggigit sudut olahan gandum itu. "Mami kan tau, Al paling suka liburan sendiri. Menyatu dengan alam, Mi..." barulah ia gigit besar.

"Mami juga suka, di pantai kan sama aja, sama-sama menyatu dengan alam." setelahnya meneguk jus hijau pekat buatannya.

Kunyahan sang anak berhenti sejenak. "Maksud Al itu hutan. Lebih seger hutan menurut Al. Mau nggak?"

"Haaah... Nggak serulah. Nggak ada pemandangan yang bagus di dalem hutan. Mau nyari apa?!"

Alvison geleng-geleng sambil tersenyum miring. "Mami sih, taunya pantai, mal, sama pasar doang. Di hutan itu ya, bisa nyegerin mata, banyak tumbuhan hijau. Ada air terjun juga. Nginep di tenda, jadi lebih seru. Nggak pernah nyobain sih..." ejeknya tak serius. Lalu meraih minumannya.

"Nggak ah, Mami tetep pantai. Lebih cantik dari hutan." jawabnya final.

"Terserah. Al juga tetep pilih hutan." balasnya dan melanjutkan aksinya meminum cairan alpukat itu, pelan-pelan hingga tandas. Sedangkan Marta mengedikkan bahu fokus makan roti. "Udah. Al berangkat sekarang." sambil bangkit dan mengulurkan tangan kanannya.

Disambutnya tangan anak laki-laki satu-satunya itu. Bibirnya membentuk seulas senyum lalu berujar dengan lembut dan tulus, "hati-hati. Janji sama Mami, pulang dengan selamat." Alvison mencium kening Marta setelah menempelkan bibirnya pada punggung tangan wanita paling berjasa itu.

"Pasti!" jawabnya lalu tersenyum tipis. "Ah! Tunggu, Mi..." di rogohnya saku celananya. Dimana dompet milik pria berbakti itu tersimpan. "Buat Mami. Kalo mau ke mal, pakek uang ini. Terserah mau buat apa."

"Makasih, Al." di peluknya Alvison erat-erat, setelah menerima sepuluh lembar uang kertas warna merah menyala. Pastinya membuat semua orang, tak terkecuali balita akan tergiur kala melihatnya.

"Sama-sama!" menarik diri. "Al berangkat, takut banyak kerjaan. Lagi males lembur."

"Ya." singkat Marta. Sudah tak memusingkan perkataan anaknya karena terlalu senang mendapatkan uang pagi-pagi. Ibarat rejeki nomplok. Bagaimana tak senang sekali, baru dua minggu yang lalu Alvison memberinya dua juta rupiah, dan sekarang satu juta. Memang, anak satu-satunya itu sungguh berbakti. Tanpa minta, sudah di kasih.

Kali ini Alvison menyetir dengan pelan. Tak seperti biasanya yang di atas rata-rata. Sebenarnya ia memikirkan kata-kata Ibunya tadi. Lelaki itu paham betul bagaimana perasaan Marta selama ini. Rasa kesepian yang besar dan rasa bosan menjalani hari-hari yang jauh dari kata indah. Hanya sedikit yang bisa Alvison berikan. Bahkan liburan bersama pun pemuda itu sulit untuk mengabulkan. Ya... Itu karena Alvison sosok yang tak mau menghabiskan waktu liburnya beramai-ramai. Lebih nyaman tanpa teman. Namun, karena rasa kasihannya pada sang Mami, ia mau menjelajahi seluruh hutan bersama Marta. Hanya wanita itu yang menolak ketika diajak. Ya sudahlah.

Sampai di parkiran salah satu cabang toko rotinya, Alvison menghembuskan napas pelan. "Kerja, kerja, kerja!" gumamnya penuh semangat. Ditatapnya bangunan itu, kedua matanya bergerak menajam ke tulisan besar yang terpampang jelas di sana, 'SENSITIVITY' nama tokonya.

๐ŸŒผ๐Ÿ‘‘๐ŸŒผ

Gimana?

See you :)

God bless you <3