Detik ini, aku hanya ingin terlelap dalam kedamaian. Keinginanku benar-benar terjadi, bahkan tanpa sadar aku mendapati diriku berada dalam mobil Ryan yang telah terparkir di depan rumah.
"Kenapa Ara bisa di sini ?", tanyaku yang baru menyadari kejanggalan.
Bagaimana bisa aku berakhir di mobil, padahal sebelumnya aku tertidur di ruangan Tante Lusi. Aku melirik kesal ke arah Ryan.
Aku yakin 100% ini adalah perbuatannya. Dugaanku benar, dia terus tertawa setelah keusilannya terungkap.
"Kelakuan buruk Ara itu sama sekali belum berubah, masih suka jalan-jalan sambil tidur", ucapnya.
Memalukan, kebiasaanku belum berubah. Tunggu dulu, ada hal aneh yang harus dipertanyakan. Aku tidak akan berjalan sambil tidur jika tidak ada yang menyuruhku untuk bangun atau pindah dari posisi sebelumnya.
"Pasti abang kan yang suruh Ara bangun dan jalan sendiri ?", tanyaku.
Dia kembali tertawa setelah mendengar pertanyaanku. Dia akan sangat menyebalkan ketika usilnya kumat. Dari kecil, mengusiliku saat aku tidur menjadi hobi dan kesenangannya.
"Terus kenapa gak dibangunin ?", tanyaku rewel.
"You sleep like a baby", ucapnya.
Aku terdiam sesaat dalam kekacauan yang membingungkan. Dia belum berubah, dia hanya menganggapku seorang gadis kecil dan akan selalu seperti itu.
Membalikkan hatinya agar melihatku lebih dari sekedar seorang adik sepertinya adalah kemustahilan. Aku tidak bisa mengubah pandangannya terhadapku, tidak akan pernah bisa.
Dia memprioritaskanku dan memberi tempat khusus di hatinya, sebagai adik bukan kekasih.
Sesekali aku pernah berpikir bahwa Ryan berpura-pura bodoh meski tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya.
Dia sengaja membodohiku agar tidak menyakiti perasaanku. Di lain waktu, aku menduga tidak mungkin dia menyadari hal itu.
"Jom turun!", ucapnya sambil membuka pintu untukku.
"Tumben ?", tanyaku.
"I'll treat you like a princess once time", sahutnya.
"I wish you can do it more often", ucapku sambil berjalan mengikutinya.
Ditinjau dari segi manapun, Ryan nyaris sempurna, tidak memiliki celah, baik itu; fisik, kecerdasan, dan manner.
Tetapi kehadirannya adalah kebahagiaan yang menyiksa karena tidak akan pernah menjadi milikku.
Semakin lama bertahan di sisinya, perasaanku akan semakin dalam.
Aku tidak ingin mengalami gejolak batin yang membingungkan. Seharusnya aku tidak kembali masuk ke dunianya. Aku sempat berpikir, waktu akan menghapus perasaanku atau mengubah arahnya.
Tidak ada yang berubah, dia masih sama, perasaannya belum berubah. Sungguh, Ryan adalah dilema terbesarku.
***