[Ara menarik nafas dalam-dalam, mencoba meraih kesabaran dari tempat yang jauh jika berhadapan dengan Hanan]
"Assalamu'alaikum en. Mikail", ucapku sambil tersenyum menahan kesal.
"Wa'alaikumsalam, my future wife", jawabnya ringan tanpa beban.
Hanan Mikail, manusia paling percaya diri yang pernah aku temui. Entah berapa banyak perempuan yang disebut sebagai "future wife" di luar sana. Dia adalah manusia paling sembrono dan berbuat sesuai keinginan tanpa memedulikan pendapat orang lain.
"What's wrong with your breakfast ?", tanyaku.
"Nope, saya panggil Ara untuk temankan saya makan", ucapnya yang semakin membuatku geram.
"Saya tak kisah, kalau Ara tak nak. Saya boleh adukan pada Aunty Lusi", lanjutnya mengancam.
Aku terpaksa menurutinya. Sarapan dengan manusia paling menyebalkan, ah luar biasa sekali. Bagaimana jadinya jika tadi pagi aku sudah sarapan di rumah, pasti begah.
"Mulai esok Ara kena temankan saya breakfast hari-hari dan sekali-kali boleh temankan saya lunch", ucapnya tersenyum sambil memamerkan kedua lesung pipinya.
Aku hanya diam karena percuma berdebat dengan orang sepertinya. Aku juga berusaha untuk tidak membencinya karena takut perasaan itu akan berbalik arah.
Terserah dia mau bicara apapun, setelah ini aku juga akan pergi.
Dia masih sabar menungguku menghabiskan sarapan, meski dia sudah menghabiskan sarapannya sepuluh menit lalu.
Aku sengaja berlama-lama untuk menguji level kesabarannya. Aku penasaran, dia akan memilih menunggu atau pergi sebelum aku menyelesaikan sarapan. Aku sudah makan sepelan mungkin, tapi dia masih betah duduk di hadapanku.
"I think you'd go or you'll be late", ucapku yang mulai bosan melihatnya terus memandangiku.
Dia hanya tersenyum usai mendengar perkataanku. Jujur, senyumannya itu manis karena deep dimple yang menghiasi kedua pipinya. Sayang, keindahan wajah tidak mencerminkan karakter seseorang.
Orang yang terlahir dengan wajah seperti itu seharusnya tidak bersikap menyebalkan.
"Emm, ya. Assalamu'alaikum my future wife", ucapnya sebelum pergi.
Aku rasa dia agak gila. Jumlah pertemuanku dengannya saja masih bisa dihitung dengan menggunakan jari, tapi sudah berani menyebutku "future wife" secara terang-terangan.
Tolong! Hidup tidak sebercanda itu Hanan Mikail.
Jika pun ada kemungkinan ucapannya menjadi kenyataan di masa depan, setidaknya tidak perlu menggembar-gemborkan sekarang.
Dia cukup menyimpan sendiri dalam hati, sehingga orang lain tidak salah paham dengan perkataannya yang sembarangan itu.
"Cik Ara, rapat ya dengan en. Hanan Mikail ?", tanya seorang karyawan.
"En. Hanan tak pernah ajak perempuan untuk temankan dia makan. Hari-hari dia makan seorang atau dengan En. Sayed Ryan atau client", lanjutnya sambil terus membereskan meja.
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya, lalu kembali ke ruangan. Jika dipikir lagi, hal itu ada benarnya. Selama ini aku tidak pernah melihatnya bersama seorang perempuan atau mungkin saja aku tidak memperhatikannya. Sudahlah, aku tidak ingin tahu apapun tentangnya.
Manusia seperti Hanan Mikail lebih baik dibiarkan saja karena percuma berdebat atau menghindarinya. Dia bukan tipe orang yang akan menyerah untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Aku lebih suka membiarkan orang seperti itu merasa menang, lalu kalah kemudian.