Aku tidak begitu lama menemani mereka makan karena seorang karyawan memanggilku.
Aku sangat berterimakasih karena terbebas dari mereka. Bukan berarti aku tidak menyukai mereka, tapi hanya tidak ingin membahas lebih lanjut tentang topik sebelumnya. Belum lagi Bella, kelihatan ingin memastikan bahwa Anne mencintai orang tepat.
Aku baru saja tersenyum sesaat, tapi biang masalah lain sudah berdiri di hadapanku.
"It's lunch time", ucapnya yang tiba-tiba muncul.
Kehadiran Hanan akan menimbulkan pertanyaan baru jika Bella dan Anne melihatnya bersamaku. Aku dalam masalah jika mereka mengetahui tentang ini. Menolak ajakan Hanan yang kepala batu juga percuma.
"Order lah cepat", komando-ku padanya.
"Saya order macam biasa", ucapnya pada seorang pelayan.
Dia berniat duduk di meja yang telah direservasi sebelumnya, tapi jika kami duduk di sana pasti Anne dan Bella akan melihatnya.
"Kita makan di tempat lain", ucapku.
Dia hanya mengangkat alis dan bahu bersamaan, mengisyaratkan tidak keberatan.
Sebelum pergi aku meminta makanan diantar ke taman rumah kaca yang terletak di area belakang restoran; ruangan rahasia Ryan untuk melepas penat dan terlarang bagi pelanggan.
Ryan pertama kali membawaku ke tempat itu ketika aku mendatangi restoran bersamanya.
"Tak tahu pula ada tempat macam ini dekat restoran", ucapnya datar.
"Tempat ini bukan untuk costumer, tapi khusus family members", ucapku.
"Wow, family members ? I must be a family for you…", ucapnya.
Aku hanya bisa menatap geram ke arahnya. Perkataan sesinis apapun tidak akan mempengaruhinya.
"And Ryan", lanjutnya.
"Seriously, Ryan invited me twice. Actually, this's my third time", jelasnya.
"At that time, I think there was something that troubled him so much, but I don't know what it was", lanjutnya.
"That's meant you're his true best friend, may be soulmate", jawabku.
Aku melunak seketika saat dia menyebut nama Ryan. Di tengah obrolan itu, handphone-ku berdering, ada panggilan dari bunda. Bunda menelpon seperti biasa mengingatkanku untuk makan dan shalat karena aku sering kali melewatkan makan tanpa sadar.
"Tak sangka pula you yang nampak garang dekat luar, rupanya mommy's girl", ledeknya usai bunda mengakhiri sambungan telepon.
Aku hanya melirik sekilas ke arahnya ketika mendengar ucapannya. Dia selalu tahu bahaimana cara membuatku kesal dengan berbagai alasan. Tapi aku sedang tidak ingin meladeninya. Tidak lama kemudian, seorang pelayan restoran mengantar makanan.
"Makanlah cepat!", pintaku setengah memelas setengah memerintah.
Jika bersikap ketus, aku pasti akan kalah. Semakin banyak perdebatan semakin memperpanjang durasi kebersamaan. Sehingga aku mencoba menekan emosi dan mengalah. Dengan begitu, waktu yang harus aku habiskan dengannya akan lebih cepat berlalu.
"Ara tak makan ?", tanyanya karena aku hanya memesan strawberry frappe.
"Makan terus!", ucapku yang mulai lelah menghadapinya.
Akhirnya dia menurut, aku juga sudah lelah menanganinya. Setiap saat dia mengusik ketenangan hidupku, tapi aku mencoba bersabar menghadapinya karena mempertimbangkannya sebagai sahabat Ryan.
Jika tidak, aku sama sekali tidak punya waktu untuk dihabiskan bersamanya. Banyak perempuan di luar sana yang bersedia menemaninya makan, aku tidak tahu kenapa Hanan selalu memaksaku.