[Sesuatu terlintas di benak Ara karena merasa benar-benar frustasi menghadapi Hanan Mikail yang terus mengusik kenyamanan hidupnya]
"I think, you'd find a girl friend", ujarku yang mulai frustrasi.
"Untuk apa ?", tanyanya.
"Biar ada teman makan", ucapku.
Mendengar perkataanku dia tersenyum sejenak, lalu kembali meneruskan makan. Dia tidak menanggapi saranku, malah fokus ke makanan.
Sedangkan aku sibuk melirik handphone. Tidak biasanya, Ryan tidak mengabariku saat jam makan siang. Menyadari pikiranku di tempat lain, dia memetikkan jarinya untuk mengembalikan jiwaku.
"Saya tidak perlukan girl friend, I'm looking for a wife", ucapnya.
"I believe you'll be my future wife since the first time we met", imbuhnya.
Percuma bicara dengannya. Dia tidak akan goyah hanya karena perkataan orang lain. Satu hal yang tidak dapat aku pungkiri, ada ketulusan dari matanya saat mengatakan itu.
Bukankah ini aneh, aku pergi jauh meninggalkan rumah untuk mencari jawaban atas keraguanku agar bisa membuat keputusan mengenai cinta dan masa depanku; mempertahankan rasaku pada Ryan atau melupakannya.
Tapi segala sesuatu mulai menjadi lebih rumit setelah aku berada di sini.
"You know when it was ?", tanyanya.
"I see you for the first time last autumn at Great Mosque in Itaewon, but you didn't noticed there was a person staring at you", lanjutnya.
"I went there with Ryan for relaxation, it was a surprising story that you and Ryan didn't noticed each other even you were at the same place", imbuhnya.
Takdir tidak memihak padaku, bahkan meskipun berada di koordinat yang sama, Ryan dan aku tidak bisa saling menemukan. Ketika dia datang berkunjung ke Aceh, aku juga tidak berada di sana. Bukankah semua kejadian ini terlalu aneh untuk disebut sebagai kebetulan ?
---------------
---------------