Aku tidur dengan nyenyak hingga tidak terasa satu jam berlalu begitu saja. Lalu, duduk beberapa saat di atas tempat tidur untuk mengembalikan seluruh kesadaran.
Seluruh jiwa yang sempat berada dalam genggaman Pemilik Semesta kembali, aku beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka dan bersiap pulang.
Aku keluar dari kamar mencari ibunya, tapi tidak menemukannya. Seorang asisten rumah tangga yang sedang membersihkan vas bunga memberitahuku dan memintaku mengikutinya.
"Ara, sini duduk", ucap ibunya begitu melihat kedatanganku.
Perlakuan ibunya terlalu baik dan sangat ramah, atau mungkin memang seperti itu kesehariannya. Selain baik, ibunya nampak cantik bahkan semakin cantik saat tersenyum.
"Aunty, Ara mau pamit pulang", ucapku.
"Boleh, tapi biar driver yang hantarkan ya", lanjut ibunya.
"Gak perlu Aunty, I really enjoy walking distance, it only takes 10 minutes by walking", jawabku.
"Quarter kilometer can be quite far for a patient. Just drive my car, it will be a good solution for us", ucap Hanan yang datang tiba-tiba sambil memainkan jari telunjuk sebagai isyarat "Big NO".
Sang troublemaker kembali berulah, 250 meter bisa ditempuh dengan 10 menit jalan kaki, tapi Hanan meributkan hal kecil itu. Dia juga menambahkan bahwa mobilnya menjadi jaminan agar aku kembali besok pagi.
Meski ibunya telah meminta seorang sopir mengantarku, tetap saja Hanan Mikail tidak setuju; bersikukuh hingga akhir memaksaku menyetir sendiri mobilnya.
"Nope. Ara kena drive juga", tegasnya.
"It's ok aunty, Ara jual aja mobilnya, bolehkan ?", celetukku sponstan.
"Boleh sangat, biar padan muka", tandas ibunya membelaku.
Mereka menggunakan kalimat "biar padan muka" untuk mengungkapkan kekesalan atau hanya untuk menggoda. Kalimat itu sama artinya dengan "biar tau rasa".
"Aunty rasa pelik, Hanan tak pernah bagi sesiapa sentuh kereta putih dia. Tapi kenapa Ara boleh pula ?", tanya ibunya padaku sambil melirik usil ke arah putranya.
Aku tidak yakin pertanyaan itu ditujukan untukku. Pertanyaan itu lebih mengarah pada Hanan yang tanpa alasan membiarkan orang lain menyetir mobil sport putih kesayangannya untuk pertama kali.
Menurut ibunya, mobil itu haram disentuh oleh siapapun karena merupakan benda pertama yang dibeli dengan uangnya sendiri.
Setelah perdebatan berakhir, aku dapat meninggalkan rumah itu. Ibunya membantu mendorong kursi roda Hanan sampai ke depan pintu ketika aku akan pergi.
Saat pamit pulang, ibunya mencium pipiku sebanyak tiga kali. Sedangkan Hanan hanya tersenyum melihat sambutan hangat ibunya. Lalu, mengatakan sesuatu yang tidak ingin aku dengar darinya.
"Take care, my future wife", ucapnya sesaat sebelum aku pergi.
Ucapan Hanan membuat ibunya setengah terkejut untuk sesaat. Reaksinya kembali seperti biasa, lalu tersenyum padaku sambil mengelus rambut Hanan yang masih duduk di kursi roda.