Chereads / Keajaiban untuk Hati / Chapter 50 - Impian Masa Kecil

Chapter 50 - Impian Masa Kecil

Ryan pulang menjelang pukul 8 malam. Dia bekerja sangat keras untuk merawat pasien-pasiennya. Tidak hanya di rumah sakit, jiwa dokter tetap melekat padanya meskipun di rumah.

Profesi itu telah menyatu dengan dirinya, meski awalnya dia ingin hidup sebagai pilot dan mengelilingi berbagai belahan dunia.

Sebagian besar impian masa kecil seseorang hanya sebatas mimpi, atau keinginan bocah yang belum mengerti apa-apa tentang dunia dan sandiwara di dalamnya.

Hal itu tidak hanya berlaku padaku, tetapi juga Ryan yang terpaksa merelakan impiannya karena Om Sofyan berharap Ryan memilih karir sebagai dokter dan meneruskan pengelolaan rumah sakit keluarga.

Mungkin ada segelintir orang yang dapat mewujudkan impian masa kecilnya dengan perjuangan yang tanpa kenal lelah. Sebagian kecil di antara mereka mendapatkannya tanpa banyak usaha.

Aku iri pada mereka yang memiliki keberuntungan itu.

Aku masih menatap Ryan yang muncul di balik pintu kamarku selama beberapa detik.

Ah, aku malah memikirkan hal entah-berantah tentang impian masa kecil ketika melihatnya. Terlalu banyak kenangan masa lalu yang terlintas saat melihatnya. Dia seperti kilasan memori yang terus berjalan dan menyaksikan masa kecil yang hanya tinggal kenangan.

Kami tumbuh bersama sebagai keluarga meski kemudian terpisah. Hal itu yang mungkin membuatnya tidak sekalipun merasa dilema dengan perasaannya terhadapku.

Selamanya dia akan berperan sebagai seorang kakak yang selalu berdiri di sampingku atau mengawasiku dari jauh.

Sesekali aku berharap Ryan merasa bingung antara melihatku sebagai adik atau wanita.

Tapi, aku tahu harapan itu tidak akan pernah terwujud.

"Ara, ikut abang jab", ucapnya.

Aku mengikutinya dengan patuh, lalu duduk di sofa yang ada di ruang TV sesuai perintahnya. Tiba-tiba dia menyentuh dahiku, pandangan matanya menetap di sana selama beberapa waktu. Kemudian, melepaskan perban dan menggantinya dengan yang baru.

"Tiga-dua hari boleh sembuh. Ingat, jangan coba-coba lupa minum obat", ucapnya sambil mengelus kepalaku, lalu kembali ke kamarnya.

Aku mengangguk lagi, sesekali menjadi penurut tidak ada salahnya.

Ketika bersamanya, aku bukan hanya menjadi penurut tapi berubah menjadi tidak mandiri.

Aku menjadi ketergantungan dan malas menggerakkan otak untuk berpikir. Menurut pandanganku dulu, dia adalah orang yang nyaris sempurna dan tidak banyak melakukan kesalahan. Begitupun sekarang, dia tidak banyak berubah dan aku masih mengaguminya.

Rasa kagum itu tidak pernah hilang. Rasa itu bertahan dan berkembang menjadi sesuatu yang lebih kompleks.

Seandainya kekagumanku tidak berubah menjadi sesuatu yang lain, maka aku akan menjadi adik yang paling beruntung; memiliki seorang kakak laki-laki yang sangat peduli.

Tentu saja, tidak semua hal yang terjadi dalam hidup berjalan seperti keinginan manusia.