Aku duduk termenung di teras depan, memandang langit yang sudah mulai gelap. Satu hal yang dapat dipelajari dari langit, butuh kegelapan untuk melihat keindahan.
Kita harus menunggu malam untuk melihat cahaya bintang bertaburan di langit.
Mendadak aku menjadi sangat sensitif bersama kerinduan yang terpendam. Aku mengalihkan perasaan itu dengan merenungi bintang-bintang yang bersinar terang di atas sana, tapi aku masih melihat satu wajah meski memandang ke arah berbeda.
Wajah yang selalu tersenyum di antara dawai angin malam dan cahaya rembulan. Aku tidak perlu menyebut siapa pemilik wajah yang terlihat bersinar di langit malam. Wajah itu sudah terlalu sering mengusik dan menjebakku dalam cinta yang tidak terduga.
"Ara kangen rumah ?", tanyanya yang kini duduk di sebelahku.
"Emm, merindukan seseorang yang tidak layak dirindukan", ucapku sok puitis sambil mengarahkan wajah ke arahnya setengah menahan kesal.
Dia menertawakan jawabanku, dan aku hanya tersenyum tipis ke arahnya. Dasar bodoh, dia masih pria bodoh dengan IQ 180.
Kecerdasannya sama sekali tidak berfungsi untuk mengenali perasaanku. Benar, aku memang merindukan rumah, tapi jauh lebih merindukannya meski dia berada tepat di sampingku.
"Pernah gak, abang menunggu sesuatu yang gak pasti ?", tanyaku.
Wajahnya mulai berubah setelah mendengar pertanyaanku. Seharusnya aku tidak mengajukan pertanyaan bodoh itu.
"Kita terkadang seperti bulan dan bintang yang bersinar pada waktu yang berbeda. Begitu juga cinta, kerinduan, dan penantian. Orang yang kita rindukan, merindukan orang lain. Orang yang kita tunggu, menunggu orang lain. Mungkin semua orang pernah menunggu sesuatu yang tidak pasti dalam hidupnya", jelasnya dengan wajah serius.
***