Hari ini aku sangat berterimakasih pada Hanan Mikail yang datang pada waktu yang tepat. Untuk pertama kalinya aku bersyukur akan kehadirannya.
Jika tidak, aku tidak tahu bagaimana cara menangani pelanggan semacam itu.
"Thank You", ucapku dan tersenyum tipis.
"Terimakasih tak cukup. Ara kena bayar dengan temankan saya makan sekali", jawabnya sesaat sebelum aku meninggalkannya.
"Seharusnya aku tidak berterimakasih", gumamku nyaris tidak terdengar.
Sekilas aku menyadari ada senyuman kemenangan dari wajahnya. Ah tidak, lebih tepatnya smirk smile.
Aku agak menyesal, meski dia pantas nenerima itu. Benar, penyesalan memang selalu datang terlambat. Sehingga, aku tidak bisa menolak ajakannya sebagai bentuk rasa terimakasih.
Aku duduk mematung di hadapannya dengan 5 Watt energi yang tersisa. Aku hanya menatapnya yang tengah menikmati makanan dengan lahap. Jika dipandang lama-lama, wajahnya lumayan. Memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai pria tampan, tapi dia menyengkelkan.
Aku hampir selalu kesal tanpa alasan setiap melihatnya, bahkan aroma parfum-nya yang tercium dari jarak 10 meter bisa meruntuhkan kebahagiaanku seketika.
Sesekali aku merasa itu tidak adil untuknya. Belum lagi, adakalanya aku merasa kehidupannya menyedihkan. Tapi, aku selalu mengalihkan kesadaranku setiap kali menatap matanya, meski aku tahu ada luka di sana.
"Saya tak kisah kalau Ara pandang saya. Sampai bila-bila Ara nak pandang, pandanglah!", ucapnya sambil tersenyum.
Sepertinya dia adalah orang yang peka terhadap lingkungan, meski terlihat arogan dan menyengkelkan dari luar.
Dia menyadari setiap mata yang mengarah padanya, tapi aku tidak peduli. Aku memandanginya bukan atas dasar tertarik, tapi luka di matanya mengusikku dan perlakuannya membingungkanku.
Tapi, sekarang aku tidak peduli. Ada hal yang lebih penting, yaitu merebahkan badan untuk me-recharge energi yang telah banyak terkuras beberapa waktu yang lalu.
Aku melirik ke meja, piring yang berisi makanan sekarang sudah kosong. Dia telah menghabiskan makanannya dan hutangku terbayar.
"So, may I leave now en. Hanan Mikail ?", ucapku dengan memelas.
"Em, thank you, Ara Sofia", ucapnya dengan lirikan usil dan bangkit dari duduknya, lalu meninggalkan restoran.
"Hmm, see you again my future wife", lanjutnya tanpa menoleh.
Apapun itu terserah saja, aku akan membiarkannya membual sesuka hati. Ah terserah, apa peduliku.
***