Aku merebahkan badan di atas sofa karena kelelahan secara emosional. Sejujurnya, aku muak menghadapi skenario klasik yang telah dirancang apik oleh bunda dan NoNa Squad.
Mereka memperlakukanku seperti perempuan yang akan menua seorang diri dengan kekhawatiran berlebihan yang selalu salah takaran dan tidak tepat sasaran.
"Tante...", lirihku sambil meraih pergelangan Tante Lusi dan menjatuhkan kepala ke pundaknya.
"Kenapa ?", tanyanya sambil tersenyum.
Aku hanya menggeleng tanpa kepastian dan melepaskan peganganku, lalu menjatuhkan kepala ke sisi sofa. Apa yang harus aku katakan, jika ia pun tidak menangkap gejala apapun.
Bagaimana cara mengatakan sesuatu dengan lugas, "Jadikan aku menantu perempuanmu". Hal itu terlalu sembrono untuk diutarakan. Ah, sepertinya aku benar-benar seorang diri menanggung perasaan kacau ini.
"Jadi, gimana ?", tanya Ghina yang baru bergabung.
"Jangan terlalu pemilih, nanti single sampai tua", tambah Tania.
"Kak, fix cuma Bang Reza yang cinta mati sama kakak", sambung Irham.
"Just say yes, and everything will be alright", ucap Ilham dengan irama.
"Keputusan Ara apa ?", tanya Tante Lusi yang tiba-tiba tertarik dengan pembicaraan absurb itu.
"Tante jangan ikut-ikutan mojokin Ara dong", protesku.
"Penolakan yang gak memenuhi syarat tidak dianjurkan dalam islam. Kali ini Ara harus ambil keputusan yang bijak", tambah bunda.
"Panas, Ara mandi dulu ya", hindarku.
Aku meninggalkan mereka dengan perasaan kesal. Tidak, aku marah. Aku masih sangat muda, tapi mereka memperlakukanku bagaikan perempuan tua yang bahkan tidak memiliki harapan untuk menemukan seseorang yang baik.
Mereka mengganggap aku apa selama ini, apa aku tidak terlihat cukup normal. Apa keadaanku sudah sangat mengkhawatirkan, sehingga selalu didesak untuk bertunangan.
Pernikahan adalah sesuatu yang seharusnya terjadi secara alami. Aku ingin menikmati prosesnya; dimana menemukan seseorang, mencintai seseorang tanpa adanya dorongan dari pihak selain diriku.
Lagipula, waktunya juga tidak tepat. Setidaknya mereka harus membiarkanku dalam damai merampungkan penelitian sebelum membahas perjodohan dan segala hal yang berkaitan dengan itu.
Aku menetap di kamar usai mandi, membenamkan diri dalam kesunyian. Sejujurnya bukan mereka yang membuat aku kesal dan emosi, melainkan sikap tidak keberatan yang ditunjukkan Ryan terasa lebih menyakitkan.
Reaksinya sama sekali tidak berubah, sama sekali tidak goyah, Seketika aku tersadar, aku terlalu mengharapkan sesuatu yang tidak akan pernah menjadi milikku.
Tindakan keluarga dan NoNa Squad tidak pernah menjadi kekhawatiranku, mereka selalu melakukan hal serupa. Sehingga, aku menjadi terbiasa dan berhenti menanggapi itu sebagai masalah yang rumit.
Aku yakin, pada titik tertentu mereka akan berhenti dan menyerah. Hal yang sangat menggangguku adalah Ryan. Dia sangat tenang, sungguh itu menyebalkan.
Aku beranjak dari kamar untuk mengantar NoNa Squad yang ingin pulang sampai ke depan pintu. Aku kembali setelah bayangan mobil mereka menghilang.
Mereka adalah teman yang luar biasa, meski tidak memahamiku. Ya, mereka tidak harus memahamiku karena aku pun tidak mampu memahami diriku sendiri.
Aku kembali ke kamar dengan wajah datar meski suasana hati tidak karuan. Perasaanku kacau, ini adalah penolakan yang nyata.
Aku benar-benar patah hati meski tidak pernah mengutarakan isi hati, meski tidak mendengar satupun kata penolakan. Tapi, hal itu terlalu menyakitkan untuk kuakui sebagai kebenaran.
Usai maghrib Ryan menyuruhku untuk siap-siap karena Irham dan Ilham mengajaknya keluar. Kami hanya keluar berempat, sedangkan yang lain memilih menetap di rumah.
Jika aku menolak, kekecewaanku akan terlalu kentara. Selain itu, besok pagi dia juga akan segera kembali ke Malaysia. Meskipun jarak yang terbentang di antara kami tidak jauh, aku menganggap itu sebagai perpisahan.
"Ara belum terlalu sehat, jangan pulang terlalu telat", ucap Tante Lusi sebelum kedua adikku datang.
Dan, aku hanya merespon dengan anggukan sebelum pergi.
🍁🍁🍁