Aku mencoba mengurangi interaksi dengan Ryan untuk menenangkan diri dan memilih menemani Tante Lusi ke Da Lusi, restorannya. Sesampai di sana, Da Lusi sudah dipenuhi oleh pengunjung yang datang untuk bersantap siang. Tante Lusi juga terlihat sibuk karena terjun langsung melayani pelanggan sekaligus memastikan karyawannya bekerja dengan baik. Di tengah kesibukannya, aku mencari kegiatan yang bisa mengusir kebosanan akut, lebih tepatnya mengusir kegalauan yang sejak tadi menggerogotiku.
Saat seorang waitress ingin mengambil pesanan dari salah satu pengunjung yang duduk di meja sudut kiri restoran; aku buru-buru menariknya dan meminta tablet yang dipegangnya. Aku beranjak menuju meja tersebut.
"Carbonara and orange juice please", pesannya tanpa melihat list menu ketika aku mendatanginya.
"Ok, thank you", ucapku lalu meninggalkannya dan beranjak ke meja lain.
"Wait!", tegurnya.
"Iya", jawabku setelah kembali berbalik arah.
Pelanggan itu menatapku sesaat, lalu urung mengatakan apapun. Setelah memastikan tidak ada masalah, aku meninggalkannya. Sepertinya dia salah mengenaliku, atau mungkin wajahku mirip dengan seseorang yang dia kenal dan aku mengingatkannya pada orang itu.
Setelah itu, aku mendatangi meja pengunjung di sebelahnya yang ingin memesan makanan. Aku juga mendatangi beberapa meja lain untuk menerima pesanan. Usai meninggalkan meja ke tujuh, Tante Lusi menarikku menjauh dari meja pelanggan.
"Ara ngapain ?", tanyanya.
"Kalau ketauan Bunda kamu, Tante bisa kena omel", lanjutnya yang sudah sangat khatam dengan karakter ibuku.
"Bunda gak akan tau", jawabku.
Ia menanggapi dengan ekspresi tidak pasti dan tidak meyakinkan. Hal itu wajar karena Bunda seringkali bisa mencium aroma ketidakjujuran dan kebohongan, tidak ubahnya seperti "Lie Detector" dalam wujud manusia.
Sehingga, aku terpaksa mengikutinya dan duduk di salah satu meja yang baru saja dibersihkan usai ditinggalkan pengunjung. Ia memanggil seorang karyawan dan memintaku memesan makanan sesuai keinginan.
"Beef steak and mango juice", ucapku.
"Avocado juice and special menu", jawab tante Lusi.
Aku mencoba merayu Tante Lusi agar bisa melanjutkan kegiatan sebelumnya, tapi tidak berhasil. Tante Lusi menjabarkan berbagai alasan yang terasa dibuat-buat; (1) tujuanku adalah liburan bukan bekerja, (2) kelelahan bisa memperburuk kondisiku, dan (3) Ryan akan marah jika aku jatuh sakit.
Alasan ketiga yang diutarakannya membuatku terdiam dan menurut, meski ayah memintaku belajar tentang cara pengelolaan restoran.
Tidak lama menunggu, makanan yang kami pesan mendarat di atas meja. Beragam menu ditawarkan dan cita rasa menjanjikan kenikmatan bagi lidah setiap pengunjung. Mulai dari western food, makanan melayu, dan beberapa masakan Aceh juga tersedia.
Kami harus bekerjasama agar tidak menyisakan makanan yang mendarat melebihi ekspektasi. Meski tidak memesan banyak menu, makanan yang disajikan hampir memenuhi seluruh meja.
Aku segera menyadari bahwa itu adalah perbuatan Tante Lusi yang sengaja menjebakku untuk menjalani program penambahan berat badan yang telah ditargetkannya bersama Bunda.
Aku melirik kesal ke arahnya, ia hanya tersenyum dan mengangkat bahu.
🍁🍁🍁
Tiba-tiba seseorang menarik kursi tepat di sebelahku. Tidak ada orang lain yang berani melakukan hal itu selain Ryan. Aku langsung menarik lengannya dan menyuruhnya duduk agar dapat membantuku menghabiskan makanan dan keluar dari masalah yang telah direncanakan oleh ibunya.
Setelah memastikannya duduk dengan nyaman, aku langsung mendaratkan sendok mendekati mulutnya. Aku kaget setengah mati ketika menyadari orang yang duduk di sebelahku bukan Ryan, melainkan pelanggan pertama yang aku tadi.
Tante Lusi menertawakan kebodohan dan kecerobohanku beberapa saat, sebelum kemudian memperkenalkannya padaku.
"Ini bukan bang Ryan, tapi En. Hanan Mikail", ucapnya yang masih tersenyum.
"S-sorry..", ucapku sedikit canggung, lebih tepatnya malu.
Manusia yang bernama Hanan Mikail memamerkan sesimpul senyum sebelum menganggukkan kepala.
Ah memalukan, kelemahan terbesarku adalah bersikap terlalu apatis yang pada akhirnya berujung menjadi sebuah kecerobohan. Lain kali, aku harus memastikan untuk memeriksa wajah orang sebelum menyeret seseorang tanpa persetujuan.
"Aunty baik sangat, sedia makan dengan waitress", ucapnya meledekku.
Apa yang salah dengan profesi waitress; pekerjaan itu halal. Banyak orang hebat yang pernah bekerja part-time sebagai waitress saat menempuh studi di luar negeri sebagai tambahan penghasilan.
Selain itu, tidak pernah ada larangan yang menyatakan pemilik restoran tidak boleh makan bersama waitress. Setiap manusia memiliki hak yang sama. Siapa dia sampai punya hak mengelompokkan manusia.
"Hanan bercanda, jangan ditanggapi dengan serius!", ucap Tante Lusi.
"Kenalkan, Ara Sofia, keponakan aunty dari Indonesia", lanjutnya.
Dari cara Tante Lusi memperlakukannya, terlihat jelas bahwa hubungan mereka cukup dekat; mungkin saja kerabat atau teman Ryan.
Aku hanya menerka-nerka tanpa memastikan kebenaran karena tidak penasaran tentang identitasnya yang sama sekali tidak ada kaitan denganku.
Hanan Mikail bergabung selama beberapa menit sebelum meninggalkan restoran usai menerima panggilan telepon.
Aku berterimakasih kepada penelepon, siapapun itu, karena membuatnya pergi sesegera mungkin. Ketidaknyamanan yang sulit dijabarkan, karena mengenali orang yang salah sehingga aku merasa sedikit canggung dengan kehadirannya.
🍁🍁🍁