Malam yang singkat berlalu tanpa membawa pengaruh apapun hingga menjelang pagi. Setidaknya aku harus tetap bersyukur, aku benar-benar terlelap dalam damai.
Pagi pertama di Kuala Lumpur telah dimulai dan harus diisi dengan semangat baru. Aku bergegas mandi, wudhu', dan shalat subuh.
Tante Lusi mengetuk pintu kamar dan mengajakku jogging. Aku segera bergegas dengan pakaian sporty dan menemui mereka di ruang TV.
Sekilas aku mengamati hanya Ryan yang mengenakan pakaian yang sesuai untuk jogging, tapi tidak dengan orangtuanya.
"Jom...", ajak Ryan seraya beranjak bangun dari duduknya.
"Tante Lusi dan Om Sofyan gak ikut ?", tanyaku.
Ryan mengangkat bahu sambil merentangkan tangan, sedangkan mereka hanya tersenyum, lalu menggeleng. Meski merasa dijebak untuk olahraga, aku tetap menemaninya jogging di sebuah taman di sekitar kompleks.
Lebih dari setengah jam berlari mengitari taman, aku memutuskan untuk istirahat. Sedangkan Ryan masih melanjutkan berlari-lari kecil 1 lap lagi.
Sejak kapan dia jadi rajin olahraga, banyak hal yang berubah darinya. Sementara Ryan melanjutkan jogging, aku memilih berteduh di sebuah kursi yang bertengger di bawah pohon rindang.
"Best kan jogging macam ni", ucapnya yang baru saja menghampiriku.
"Biasa aja pun, apa coba best-nya", ucapku.
"Haus", lanjutku.
Dia pergi membeli minuman ringan, sementara aku menunggu di tempat yang sama. Lalu, dia menghampiriku kembali dengan dua minuman botol.
Melepas dahaga yang menyiksa, haha lebai.
Tiba-tiba sebuah mobil yang melewati kami membunyikan klakson, Ryan hanya melambaikan tangan dan tersenyum. Sedang sang pengendara bahkan tidak merendahkan kaca, lantas melanjutkan perjalanan tanpa menyapa.
"Siapa ?", tanyaku.
"My BFF", jawabnya.
"Best friend forever", ulangku setengah meledek.
🍁🍁🍁
Usai jogging kami kembali ke rumah. Aku berlari-lari kecil menuju kamar, itu hanya kebiasaan.
Gerah sekali, bajuku sudah lembab karena keringat. Usai mandi dan membersihkan diri, aku ke ruang makan untuk sarapan. Di meja makan sudah ada Tante Lusi, Om Sofyan, dan Ryan.
"Ara mau sarapan apa, nasi goreng, roti, atau bihun ?", tanya Tante Lusi.
"Kalau tiga-tiganya, boleh Tan ?", tanyaku bergurau.
"Boleh, makan yang banyak", jawab Ryan.
Tiba-tiba deringan handphone Ryan mendominasi suasana, dia merespon panggilan itu dengan segera.
Aku takjub seketika, dia bukan orang yang seperti itu. Ibuku sering membicarakan keluhan Tante Lusi terhadap Ryan yang sering mengabaikan panggilan telepon ataupun pesan singkat, bahkan sikap tidak acuhku pada handphone sebenarnya menular darinya.
Sekarang dia adalah orang yang berbeda, dia telah tumbuh menjadi laki-laki dewasa.
"Siapa yang call ?", tanya Om Sofyan.
"Dato Ilyas", jawabnya.
Dia meninggalkan rumah sebelum sempat menyentuh sarapan. Dari ibunya aku tahu bahwa Dato Ilyas memilih Ryan sebagai dokter yang bertanggungjawab atas kesehatan putrinya; Anne Kumala yang menderita leukemia.
Sebenarnya, Anne telah menjalani operasi transplantasi sumsum tulang belakang, perlahan kondisinya mulai membaik meski belum stabil dan pulih sepenuhnya.
Jika kondisinya mulai menurun, maka Ryan menjadi orang pertama yang akan dihubungi oleh keluarga dan kerabat Anne.
Tidak ada hal menarik usai sarapan, aku hanya menemani Tante Lusi yang tengah menikmati hobi mengurus bunga dan tanaman lain di halaman belakang.
Meskipun bukan penyuka bunga, aku senang menikmati keindahannya dari jauh tanpa menyentuh. Sambil menunggu, aku pergi ke pantry menyiapkan minuman dan membawa beberapa cemilan ke teras belakang.
Setelah selesai dengan pekerjaannya, ia menghampiriku dan menikmati minuman bersama sambil bercerita tentang banyak hal.
"Kalau ada Ara, Tante ada kawan ngobrol", ucapnya.
Aku hanya menanggapi perkataannya dengan sesimpul senyum. Di tengah obrolan kami, Ryan yang baru kembali dari rumah Dato Ilyas bergabung.
"Gimana keadaan Anne ?", tanya Tante Lusi.
"Her condition's better, she's feeling well", jawabnya.
Setelah melepas penat dengan cengkrama singkat, Tante Lusi mengajakku ke restoran supaya aku bisa belajar tentang tata cara pengelolaan restoran on the spot.
Ia sangat mendukung rencana Ayah yang mendorongku untuk mengembangkan dan memperluas café. Menurut Tante Lusi, menjadi pengusaha lebih menjamin masa depan. Ayah juga memiliki pemikiran serupa dan lebih mendukungku mempelajari management business, berbeda dengan bunda yang menginginkan aku melanjutkan studi dan menemukan universitas tujuan di Malaysia.
🍁🍁🍁
Ryan tiba-tiba protes ketika aku menyetujui permintaan Tante Lusi untuk menemaninya ke restoran karena dia berencana mengajakku keluar. Tapi, hari ini aku benar-benar tidak ingin melihatnya. Tidak, aku tidak sanggup melihatnya. Aku takut tidak bisa menahan diri, lalu tiba-tiba bertanya "Mengapa Anne Kumala sangat penting baginya?".
"The reason why I'm coming home is I wanna take you to the movie", keluh Ryan.
"Lain kali aja ya", jawabku.
Aku belum pernah melihat Ryan pergi bahkan tanpa menyapaku. Saat itu, aku merasa Ryan hanya dipenuhi oleh Anne Kumala ketika dia menerima telepon itu. Setelah semua itu, bagaimana aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Bukankah itu seperti menjerumuskan diriku sendiri ke lubang penderitaan?
🍁🍁🍁