"Are you jealous or something ?", ucap Hanan yang tiba-tiba datang mengagetkan.
Aku hanya menanggapi perkataannya dengan mengernyitkan alis, lalu meninggalkannya yang tengah melemparkan senyuman ke arah Ryan yang masih duduk tenang nan bahagia bersama Anne di meja yang sama sejak tadi.
Aku tidak pergi begitu saja, sebenarnya lambaian Tante Lusi mengalihkanku. Pertolongan Tante Lusi benar-benar datang pada waktu yang tepat.
Tanpa berbagai alasan yang dapat dijabarkan, aku hanya tidak menyukai kehadiran Hanan Mikail. Mungkin karena setiap perkataannya selalu berhasil memojokkanku. Dia menyadari sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh siapapun. Dia hanya orang asing yang baru aku temui beberapa jam yang lalu, tapi nyaris tidak ada yang bisa aku sembunyikan darinya. Mungkin karena hal itu kekesalanku selalu meningkat setiap kali melihatnya dan hanya ingin menghindarinya dengan alasan apapun.
🍁🍁🍁
Aku menghampiri Tante Lusi yang tengah berbincang akrab dengan dua wanita upper class seusianya. Kedua wanita itu ikut melemparkan senyuman ke arahku bersama dengan lambaian Tante Lusi yang mengarah padaku.
Dari sorot mata Tante Lusi tersirat sangat jelas bahwa ia tengah mencoba menjualku pada dua wanita yang saling menyebut Datin itu. Dalam hal ini, Tante Lusi bukan lagi Tante-ku, tapi hanya sahabat sejati Bunda.
"Kenalkan, my niece from Indonesia", ucap Tante Lusi yang masih mengaitkan tangannya dengan tanganku.
Kedua Datin itu menyambutku dengan ramah, mungkin saja Tante Lusi sudah mempromosikanku sejak tadi pada keduanya. Sementara aku hanya bisa tersenyum mengikuti permainannya yang sejak tadi tengah liar berburu calon Besan untuk Bunda.
Untung saja, salah seorang Datin itu segera pergi setelah menerima telepon. Anne dan Bella terlihat menyusulnya setelah berpamitan pada Tante Lusi dan Datin Almeera. Mereka juga bersikap hangat padaku, tapi aku hanya bisa tersenyum canggung pada dua wanita muda nan cantik itu.
Aku mengamati bayang-bayang Anne yang perlahan menjauh, bahkan bayangannya saja terlihat cantik. Jujur saja, dia benar-benar sepadan dengan Ryan. Mereka adalah pasangan sempurna yang akan menyejukkan mata setiap orang yang melihatnya.
"Mereka benar-benar pasangan yang ditakdirkan surga", aku menggerutu kesal dalam hati.
Datin Almeera sepertinya menyadari bahwa aku memperhatikan bayangan Anne sejak tadi, sehingga langsung memberitahuku bahwa wanita baru saja pergi adalah Datin Eliza, merupakan ibu kandung Anne sekaligus tante Bella.
Ah, Anne membuat aku melupakan masih tersisa satu musuh virtual yang harus aku hadapi, target calon besan terniat Tante Lusi, yaitu Datin Almeera.
"Siapa nama ?", tanya Datin Almeera.
"Ara, Ara Sofia", jawabku.
"Cantik nama Ara, sebijik macam orang dia", jawabnya.
"Your Tante is my friend, so just call me Aunty, Aunty Almeera", lanjutnya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis, sedikit canggung dengan sikap ramahnya yang sulit diatasi. Pada dasarnya, aku memang tidak menyukai banyak orang, tidak suka berinteraksi dengan orang baru, apalagi jika mereka adalah kolega dari orang-orang terdekatku. Mungkin saja ini disebut trauma, trauma yang disebabkan oleh niat terselubung dari orang-orang terdekatku ketika mereka memperkenalkanku pada seseorang atau sekolompok orang.
Perang virtual-ku tidak berakhir dengan segera, tidak lama Om Sofyan menghampiri kami bersama seorang laki-laki paruh baya yang memiliki wajah unik oriental sekaligus perpaduan Melayu-Eropa. Aku menarik nafas dalam, mencoba menggumpulkan kesabaran menghadapi Tante Lusi dan Om Sofyan yang sepertinya memang sengaja menjebakku dalam rencana klasik yang menyebalkan seperti rencana-rencana Bunda ataupun Nona Squad.
"My husband, Uncle Adryan", ucap Datin Almeera padaku.
Aku hanya bisa tersenyum seperti orang bodoh saat Datin Almeera juga menyebutkan namaku pada suaminya, Dato' Adryan Mikail.
"Uncle nampak Ara rapat dengan Hanan", ucap Dato Adryan Mikail tiba-tiba.
What's wrong with this old-fashion couple of the century, sejak kapan aku dekat dengan manusia menjengkelkan seperti Hanan Mikail. Mengapa tiba-tiba saja dikaitkan dengan Hanan Mikail ?
Sungguh, itu sama sekali tidak adil.
Penglihatan mereka benar-benar kacau, tidak bisa membedakan kedekatan yang nyata atau hanya suatu kebetulan. Aku sudah kehilangan kata-kata karena mendengar kesimpulan yang tidak masuk akal itu. Keadaan diperburuk dengan pengakuan palsu Hanan yang baru bergabung.
Bagaimana dia bisa dengan mudahnya merangkai kebohongan dalam hitungan detik di hadapan semua orang. Aku terperanjat mendengar pengakuan Hanan yang mengaku sudah mengenalku sejak lama dan berteman baik denganku.
Bukankah itu keterlaluan?
Dia sama sekali tidak pernah mempertimbangkan kebohongannya akan menyulitkanku. Pengakuan sesuka hatinya bisa saja merusak masa depan dan nama baikku. Jika saja bisa, detik itu juga aku ingin melemparnya ke laut mati ataupun segitiga bermuda.
"Bawa Ara ke rumah biar kenal dengan keluarga kita", ucap Dato Adryan setengah menggoda anaknya.
Kesalahpahaman baru dimulai dan aku harus meluruskan kesalahpahaman itu. Tapi Hanan Mikail semakin menambah daftar panjang kesalahpahaman dengan langsung menanggapi perkataan ayahnya dengan anggukan pasti nan meyakinkan. Lalu, tersenyum dan melirik usil ke arahku.
He is such a great liar!
Aku tersentak tiba-tiba, dia benar-benar berniat mempermalukanku tanpa ampun.
Dia sama sekali tidak memberiku kesempatan bicara, apalagi membela diri. Spontan, aku menginjak sepatunya, dia nampak meringis kecil karena hal itu. Bahkan tindakan itu tidak meredakan amarahku, tidak juga mengurangi kekesalanku. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk memperbaiki masalah yang ditimbulkan olehnya, bahkan gagal meyakinkan Tante Lusi yang terlihat bingung sekaligus bahagia karena rencananya berjalan sesuai rencana tanpa banyak usaha.
Tante Lusi juga menunjukkan ekspresi penuh tanya saat pandangan kami beradu. Reaksi berbeda ditunjukkan oleh kedua orangtua Hanan Mikail yang saling melirik satu sama lain, lalu tersenyum ramah padaku. Setelah itu, mereka berpamitan pada Tante Lusi dan Om Sofyan, lalu ibunya memelukku.
"Weekend ini, Ara kena datang ke rumah tau", ucap Datin Almeera yang lagi-lagi membuat aku hanya bisa tersenyum canggung.
"Good night, Ara Sofia", bisik Hanan sebelum menyusul kedua orangtuanya.
Aku ingin menghantamnya sekuat tenaga. Tidak, pukulan saja tidak akan cukup untuk membuatnya menyingkir dari hadapanku. Mungkin aku harus membunuhnya, jika saja islam tidak melarang pembunuhan dan tidak mengkategorikan perbuatan itu sebagai dosa besar, mungkin aku akan melakukannya.
Bagaimana tidak, belum pernah terjadi dalam sejarah hidupku, seseorang yang tanpa rasa takut mendorongku hingga ke dasar jurang penistaan. Aku belum pernah dijebak seperti Hanan mencoba menjebakku, bahkan tidak ada orang yang berani mencobanya.
Tiba-tiba, entah datang dari mana keberanian itu, dia asal saja mengacaukan segalanya dalam hitungan detik. Aku sama sekali tidak bisa mentolerir perbuatan yang semena-mena itu, apalagi memaafkannya.
Setiap perbuatan tentu ada ganjarannya. Hanan Mikail, tunggu saja pembalasanku!
Ah, tidak. Aku tidak harus melawannya. Aku harus bersikap seperti biasa; mengabaikan Hanan seperti mengabaikan orang lain.
Aku tidak boleh terusik oleh alasan apapun yang mendasarinya. Semua akan sama saja, kebencian atau ketertarikan tetap akan menyita ruang kosong di otak manusia yang memuat tentang objek yang dimaksud.
"Ara udah kenal Hanan sebelumnya?", tanya Tante Lusi usai kepergian mereka.
"Enggak", jawabku jujur.
Tante Lusi manggut-manggut meski jelas sekali masih ada keraguan yang tersisa dari wajahnya. Mungkin sulit baginya percaya padaku sepenuhnya karena Hanan bersikap sangat ramah. Tapi juga tidak ada yang bisa aku lakukan untuk meyakinkannya.
🍁🍁🍁