Chereads / Keajaiban untuk Hati / Chapter 23 - Asa yang Merayap

Chapter 23 - Asa yang Merayap

Aku duduk di teras belakang, hanyut dalam berbagai pikiran dan angan yang tidak sampai.

Angin yang menerpa wajah dalam sekejap melenakan, mataku terpejam untuk sesaat.

Tidak benar-benar sesaat, aku tertidur lebih dari setengah jam. Begitu terjaga, aku melirik jam yang menunjukkan pukul setengah tujuh.

"Nyenyak tidur ?", ucap Ryan yang berada tepat di sampingku.

Dalam keadaan setengah sadar, aku berjalan ke kamar tanpa menanggapi ucapannya; energi dan jiwaku belum kembali secara utuh.

Sesampai di kamar, aku masih tidak bisa melawan mata yang masih ingin terpejam dan kembali tertidur.

Adzan maghrib membangunkanku dari tidur yang tidak kurencanakan.

🍁🍁🍁

Selepas salam terdengar suara Tante Lusi dari balik pintu, mengingatkan agar aku bersiap pergi ke acara peresmian restoran barunya.

Aku memakai dress berwarna peach dan scarf pemberian Ryan. Memoles make up seadanya untuk menutupi wajahku yang nampak agak pucat, antara kekurangan waktu tidur atau kelebihan waktu tidur.

Ryan sudah berdiri di balik pintu ketika aku membuka pintu kamar. Dia menatapku beberapa saat dan tersenyum.

"Ara cantik, malam ini", ucapnya sambil meraih iPhone.

"Biasanya, berarti gak cantik", batinku.

"Ayo, foto!", lanjutnya sembari melakukan wefie.

Usai mengabadikan beberapa gambar, kami menuju ruang depan. Tante Lusi dan Om Sofyan sudah menunggu di sana.

"Ayo gerak sekarang, acaranya udah hampir mau mulai", ajak Tante Lusi seraya berjalan mendahului kami bersama Om Sofyan.

Om Sofyan hanya tersenyum melihat istrinya yang melangkah terburu-buru, persis seperti Ayah yang tenang di antara kepanikan Bunda.

Sungguh, Allah Maha Adil, termasuk dalam memilihkan pasangan hidup bagi setiap hamba-Nya.

Sejenak terlintas di pikiranku tentang sosok pasangan hidup yang telah terukir untukku di Lauhul Mahfudz, akankah sosoknya akan sesabar dan sesempurna Ayah; pertanyaan itu kelak hanya akan terjawab seiring waktu berlalu.

Lamunanku terhenti saat Ryan memetikkan jarinya di depan wajahku.

"Semoga Sayed Ryan Idroes adalah takdirku", batinku yang tanpa sadar menatap wajah Ryan yang berada tepat di hadapanku.

Membangun harapan dan membayangkannya sebagai realita saja sudah membuat aku begitu bahagia. Asa itu merayap-rayap dan mencapai sudut terdalam di jiwa dan alam bawah sadarku. Tanpa sadar aku tersenyum seraya menelusuri wajahnya. Aku tidak ingin kehilangannya, aku tidak bisa kehilangannya, tapi aku juga tidak memiliki keyakinan untuk mempertahankannya dalam hidupku.

"Kenapa Ara senyum sendiri ?", tanyanya.

"Karena hanya ingin", jawabku lalu kembali tersenyum.

"Ayo, pergi", ucapnya.

Ryan meraih tanganku dan menyusul langkah orangtuanya. Aku tidak tahu apa yang merasukiku hingga hanya membiarkannya melakukan apapun padaku.

Tidak, aku hanya tidak bisa menolaknya meski memiliki banyak alasan untuk menghindar dan masih bisa menepisnya jika aku mau. Tapi, aku tidak melakukannya.

Aku melepaskan tangannya secara natural di depan orangtuanya karena tidak ingin disalahpahami. Tetapi, mereka sama sekali tidak mengganggap hal itu sebagai sesuatu yang menimbulkan kecurigaan, seolah tidak terjadi apa-apa.

"Ara pergi bareng Ryan", komando Om Sofyan sebelum meninggalkan rumah bersama Tante Lusi diantar oleh sopirnya, Pak Ali.

Aku hanya mengangguk pelan dan Ryan juga tidak menunjukkan sinyal keberatan.

🍁🍁🍁