Dua hari usai wisuda, aku terbang ke Malaysia sesuai rencana.
Aku harus pergi mencari jawaban, sebelum memutuskan segala sesuatu tentang masa depan. Aku juga tidak ingin selamanya terusik oleh kenangan indah yang menyakitkan.
Hal terbaik yang bisa aku lakukan adalah mengumpulkan keberanian, menghadapi realita sehingga dapat melanjutkan hidup. Membebaskan diri dari ketidakpastian agar tidak tenggelam dalam bayang-bayang Ryan di masa lalu.
Sebagai manusia, kita sering lupa bahwa kita tidak hidup di masa lalu dan belum tentu memiliki kesempatan hidup di masa depan. Kita hanya memiliki satu hari, yaitu hari ini. Jadi, jalani saja hari ini dengan baik supaya hari esok lebih bermakna.
🍁🍁🍁
Setelah menempuh perjalanan kurang dari satu jam, pesawat mendarat di Kuala Lumpur International Airport (KLIA).
Ryan sudah mengabari akan menjemput di bandara. Lihat saja, aku bahkan tidak harus menunggunya yang tidak pernah on time, tapi selalu in time.
"Assalamu'alaikum, welcome to KL", ucapnya.
"Waalaikumsalam, terimakasih sudah tepat waktu", jawabku.
Untuk sesaat aku tertegun karena melihat jam pemberianku masih melingkari pergelangan tangannya. Tiba-tiba muncul pertanyaan di benakku, apakah dia selalu memakainya, atau hanya memakainya hari ini saja untuk diperlihatkan kepadaku.
Dia langsung mengarahkan mobil menuju ke rumahnya. Dalam perjalanan, dia banyak bertanya dan sesekali menjelaskan tentang tempat yang baru saja kami lewati seperti seorang tour guide.
Aku tidak terlalu fokus pada penjelasannya dan hanya menanggapi Ryan seadanya. Aku sibuk bergelut dan berperang dengan batinku sendiri. Aneh, perasaanku pun menjadi semakin tidak menentu. Saat aku mencoba menemukan jawaban dan penjelasan, aku malah kebingungan dan kehilangan arah.
"Abang bawa koper dulu ke kamar, Ara langsung aja ke ruang makan", ucapnya begitu kami tiba di rumah.
Sesuai arahan, aku mengikuti petunjuknya dan tiba di ruang makan. Tante Lusi langsung menghampiriku dan mencium pipiku tiga kali. Ah, hal itu sedikit mengusikku tapi itu adalah tradisi bersalaman di sini. Mungkin aku harus menyesuaikan diri dengan hal itu.
"Ara, sini duduk, makan", ucap Tante Lusi sambil menarik kursi untukku.
"Ayah dan bunda titip salam", jawabku.
Ryan juga bergabung di meja makan ketika aku baru akan mengambil piring. Dia menarik kursi tepat di sampingku.
"Pak dokter, hari ini tak kerja ke?", ledekku dengan logat melayu.
"Hari ini off demi puteri Ara", jawabnya meledek.
"Let's eat first, and talk later", tegur Tante Lusi.
Masakan Tante Lusi sedikit lebih enak dari masakan bunda yang juga mahir mengolah makanan. Tidak mengherankan jika restorannya menjadi salah satu yang paling diminati.
"Udah kabari bunda kalau Ara udah sampai ?", tanyanya lagi.
"Udah", jawabku.
"Tante udah dapat izin dari bunda supaya Ara bisa tinggal di sini lebih lama. Ara bisa liburan sekalian cari university. Bunda udah oke, Ara gimana ?", lanjutnya.
Aku hampir menelan makananku saat mendengar pertanyaannya. Dan lagi, kebiasaan klasik bunda terulang. Kebiasaan menyusun rencana masa depanku tidak akan pernah menuai ujung. Aku tidak tahu kapan bunda akan berhenti melakukan semua itu.
Dan, aku hanya bisa menanggapi pertanyaan Tante Lusi dengan senyuman. Aku belum memiliki jawaban pasti untuk pertanyaan itu, sama sekali belum memikirkannya.
"Em, that's a good idea", tambah Ryan.
Mendengar persetujuan Ryan, Tante Lusi tambah semangat membujukku untuk melanjutkan studi di Malaysia. Meski tidak mendesakku untuk mengambil keputusan sesegera mungkin, tetapi ia memintaku mempertimbangkannya dengan matang.
Sebenarnya aku pernah sangat tertarik pada Sastra Perancis, tapi bunda mengarahkanku menjadi seorang dosen atau dokter hingga akhirnya aku memilih Ilmu Kimia. Perlahan aku mulai sangat menyukainya dan berharap melanjutkan pendidikan master ke Eropa, baik itu Leipzig, Berlin, atau London. Dan, jika harus memilih kampus di Asia, incaranku adalah KAIST. Tapi, aku hanya bisa memilih kampus di Indonesia, Malaysia, atau Jepang.
Bunda tidak akan pernah melepaskan cengkramannya padaku, aku akan selalu menjadi seseorang yang harus selalu menurutinya pada akhirnya, baik dengan rela ataupun terpaksa.
Pada akhirnya, aku menyetujui permintaan Tante Lusi untuk menetap lebih lama dari rencana awal sambil pelan-pelan mencari jawaban atas pertanyaan yang belum terjawab.
Bunda juga menyuruhku mencari beberapa kampus yang bagus untuk melanjutkan pendidikan master. Sejak awal bunda tidak pernah setuju dengan rencanaku untuk melanjutkan pendidikan ke Eropa.
Menurutnya, Malaysia adalah negara yang tepat untuk melanjutkan studi karena ada keluarga Tante Lusi yang bisa dipercaya. Selain itu, jarak tempuh Aceh-Malaysia relatif dekat. Kalau dipikir lagi, alasan itu memang logis. Hanya saja impianku untuk melanjutkan kuliah ke Eropa mungkin tidak akan pernah terwujud.
Kali ini aku tidak ingin menyerah, diam-diam aku telah mengajukan pendaftaran ke Korean Advanced Institute of Science and Technology (KAIST) dan Imperial College London (ICL).
Apapun yang terjadi nanti, setidaknya aku sudah mencoba yang terbaik sehingga tidak menghadapi penyesalan. Tapi, saat ini aku lebih ingin fokus menemukan jawaban; jika nantinya kenyataan itu menyakitkan, aku hanya butuh healing time untuk berbenah diri dan menyembuhkan hati. Lalu, perlahan-lahan berdamai dengan realita menyakitkan itu.
🍁🍁🍁