Kepulangan kami disambut oleh ibu Ryan, Tante Syarifah Andalusia yang familiar dengan sebutan Tante Lusi. Sesekali aku menyebutnya mommy ketika ingin dibelikan sesuatu.
"Anak gadis cantikku", ucap Tante Lusi ketika aku menghampirinya.
Aku menyodorkan tangan untuk menyalaminya, ia malah lebih tertarik mencubit pipiku sebelum meraih tanganku.
Tidak lama bunda datang dari arah dapur dengan beberapa gelas minuman dan cemilan. Aku tidak menemukan keberadaan Ayah dan Om Sofyan yang mungkin tengah berada di warung kopi.
"Kenapa anak tante jadi sekurus ini ?", ucapnya.
"Karena patah hati", jawabku jujur.
"Siapa laki-laki jahat itu ? Kasih tau tante!", tanyanya.
"Ara kurus karena perjuangan scientist gak mudah", jawabku asal.
"Nih ambil, masih suka kan ?", lanjutnya sambil menyerahkan bingkisan yang berisi berbagai jenis coklat.
"Thank you", ucapku sambil melemparkan flying kiss pada Tante Lusi.
Ryan dan Bunda melongo heran melihat reaksi berlebihan yang sama sekali tidak menggambarkan respon alamiah-ku terhadap orang lain dalam keadaan normal.
Setelah menerima coklat, aku beranjak ke kamar untuk menyingkirkan debu dan keringat yang menempel.
"Si kembar apa kabar ?", tanya Tante Lusi pada Bunda.
Aku masih bisa mendengar percakapan mereka tentang adikku sebelum menutup pintu kamar. Ya, aku memiliki dua adik laki-laki kembar tidak identik, Ilham Ahmad dan Irham Ahmad; yang saat ini sedang menempuh pendidikan di salah satu international boarding school. Mereka jarang pulang ke rumah ketika weekend, kecuali long weekend atau libur semester atau saat krisis uang saku.
Aku merebahkan diri di atas tempat tidur usai mandi. Aku lelah, kantuk pun menyergap. Lalu menarik selimut dan tertidur. Aku memejamkan mata dengan nyaman selama satu jam sebelum dikejutkan oleh Bunda.
Aku terpaksa bangun dan duduk di tempat tidur dengan mata yang masih terpejam. Setelah beberapa menit, aku melirik jarum jam yang baru menunjukkan pukul 19.20 WIB.
"Bun, Ara makan nanti", jawabku sembari menarik kembali selimut.
"Mana boleh ? Gak enak sama Tante Lusi dan keluarganya", lanjut bunda.
"Tante Lu...?", seketika aku terperanjat dari amnesia sesaat.
Bunda pergi setelah memastikan kesadaranku benar-benar utuh. Setelah kepergiaannya, aku melirik gelang yang masih melingkari pergelangan tanganku. Ah, keterlaluan. Dia hanya ingin memenjarakan jiwaku, mengamankanku, tanpa niat merangkulku dengan kesungguhan.
Sepertinya aku masih tetap menjadi bayangan dari seorang sahabat terbaikku yang telah lebih dulu pergi, Syarifah Riana Putri; adik kandung Ryan yang meninggal karena leukemia pada usia yang masih sangat muda.
Tidak pernah terlintas di benakku jika gadis periang itu akan pergi secepat itu, bahkan sebelum sempat mengenakan seragam sekolah dasar pertamanya yang baru diperoleh sehari sebelum kepergiannya.
Dia terlalu cepat pergi, terlalu tiba-tiba, sehingga meninggalkan luka yang dalam bagi keluarga, terutama Ryan dan orangtuanya. Tante Lusi bersikap sangat manis padaku karena mungkin melihat sosok putrinya dalam diriku. Aku memiliki mata putri kesayangannya. Begitupun Ryan, baginya kehadiranku hanya pelipur kerinduan pada mendiang adiknya.
Kekesalan yang miris, meski benci menjadi pemeran pengganti, tetap saja duniaku kembali berwarna setelah itu. Aku kembali bisa melihat keindahan dunia yang sempat hilang selama dua tahun karena suatu kecerobohan yang tidak akan terlupakan.
Meski tidak berhak kesal, apalagi marah, aku masih kesal dan marah. Aku melepaskan gelang itu dan menyimpannya dalam sebuah kotak, menempatkannya ke dalam laci.
Sudah seharusnya, tidak memberinya kesempatan lain untuk mematahkan hatiku karena dia tidak akan pernah melihatku sebagai cinta. Selamanya, kisah ini akan menjadi cinta sepihak yang seakan-akan memiliki harapan, tapi itu hanya maya, tidak pernah nyata.
Suara ketukan pintu menyadarkanku dari perang batin yang tidak pernah menuai ujung. Aku terus memperumit masalah yang sebenarnya tidak rumit.
Patah hati itu lumrah, tapi aku masih tidak bisa menerima realita menyakitkan itu. Ego dan harga diriku tidak mengizinkannya.
"May I come in ?", tanya Ryan yang memintan izin untuk masuk ke kamarku.
"Em", jawabku.
Tapi sepertinya dia berubah pikiran sesaat kemudian. Dia hanya berdiri di pintu setelah membuka pintu, lalu membuat gestur agar aku keluar. Seperti tarikan magnet, aku mengikuti saja lambaian tangannya. Aku benar-benar sudah gila, goyah semudah ini.
Kami pergi ke ruang makan, di sana juga sudah ada ayah dan Om Sofyan, ayah Ryan. Aku benar-benar larut dalam renungan panjang yang melelahkan sampai tidak menyadari kepulangan mereka.
Aku melemparkan senyuman pada semua orang yang ada di sana seolah semua baik-baiknya. Tidak, aku memang baik-baik saja.
"Ara, sehat ?", tanya Om Sofyan yang hanya kutanggapi dengan anggukan dan senyuman.
Makan malam berlangsung seperti biasa diisi dengan obrolan ringan dan diselingi suara tawa renyah karena pembicaraan ayah dan Om Sofyan.
Sesekali bunda dan Tante Lusi menimpali, sedangkan aku dan Ryan hanya berperan sebagai pendengar yang baik. Lagipula, tidak ada yang perlu ditanggapi. Usai makan malam, kami berkumpul di ruang keluarga sebelum akhirnya beranjak ke kamar.
🍁🍁🍁
Aku bangun kesiangan dengan mata sembab karena menangis tanpa alasan hingga menjelang dini pagi. Aku kebingungan dan kelelahan, menahan semuanya terlalu menyebalkan.
Haruskah aku jujur, mengatakan semuanya tanpa perasaan takut. Sekali saja, aku ingin mengungkapkan perasaanku sebelum semakin tersiksa karena terus menahannya. Tapi bagaimana dengan rasa malu yang harus aku pikul seumur hidup jika Ryan hanya menganggapku sebagai seorang adik.
Aku pergi ke ruang makan masih dengan mengenakan piyama. Duduk sambil memandangi makanan yang telah bunda siapkan. Aku tidak merenungi makanan, tapi hanya mencoba mengalihkan pikiran ke tempat lain. Ah, semoga rasa sakit dan kekacauan ini cepat berakhir.
"Tumben belum mandi ? Gak ke lab hari ini ?", tanya bunda.
"Gak, Bun", jawabku singkat.
"Hari ini bunda mungkin pulangnya agak telat dari rumah sakit", lanjutnya seraya meninggalkanku di meja makan.
"Jangan lupa sarapan!", tegasnya sebelum menghilang di balik pintu.
Suasana di rumah sudah sepi, aku hanya tinggal sendiri. Ryan dan keluarganya pergi berziarah ke makam Riana yang tidak terlalu jauh dari rumahku, ayah juga pergi bersama mereka. Seharusnya, aku juga ke sana tapi tidak punya tenaga untuk bergerak, rasanya dunia berputar lebih kencang dari biasanya.
Aku memutuskan kembali ke kamar dan berbaring. Aku benar-benar kelelahan secara fisik maupun mental. Seketika aku teringat keadaan sampel yang masih berada dalam furnace. Aku langsung menghubungi Andika Azlan, anggota peer-group kimia anorganik untuk mengamankan sampel penelitianku.
Aku benar-benar tertidur setelah memperoleh konfirmasi dari Dika bahwa sampel penelitianku telah diamankan.
Sekitar 1-2 jam kemudian, aku merasakan tangan seseorang menyentuh keningku. Dari suaranya aku tahu, itu adalah Tante Lusi; hanya suaranya yang dapat kudengar, kelopak mataku tidak bisa terbuka.
Aku ingin bangun, tapi seluruh kendali motorik tidak berfungsi seakan telah musnah. Apa yang merasukiku hingga tumbang di saat seperti ini. Keringat dingin bercucuran, aku masih bisa merasakannya.
Aku juga sadar, ia meletakkan tangannya di pipiku, mencoba membangunkanku, tapi tidak ada reaksi dariku. Dalam kepanikannya, ia berteriak memanggil Ryan.
Aku bisa mendengar langkah Ryan mendekat ke kamarku. Dia langsung menarik bantal yang menjadi tumpuan kepalaku, lalu menempatkan kakiku pada posisi yang lebih tinggi.
Dia meraih tanganku yang masih dingin dan memijatnya, lima menit kemudian aku bisa membuka mata meski kaki tidak bisa digerakkan.
"It's Ok. You'll be fine after an hour", ucapnya mencoba menenangkan kepanikanku yang gagal menggerakkan kaki.
Perkataannya benar, aku bisa menggerakkannya kembali secara normal setelah 40 menit meski masih agak kram. Aku kira semuanya telah membaik, sudah tujuh tahun aku terbebas dari serangan mendadak dan kehilangan kendali atas diriku sendiri.
Hari ini terulang, peristiwa yang tidak ingin lagi aku alami.
Aku meminta agar kejadian ini dirahasiakan sebelum tante Lusi meninggalkan kamarku, jika tidak kebebasanku akan segera sirna.
Ryan masih menetap usai membiarkan pintu terbuka; duduk dalam diam tanpa mengatakan apapun, aku pun membisu dan menghindari matanya.
Jika tidak, aku pasti akan menangis. Jika tidak, aku pasti akan jujur dan membuat pengakuan. Jika tidak, aku mungkin akan meraih tangannya dan memintanya untuk tinggal selamanya.
"Jangan sakit!", ucapnya lalu pergi.
🍁🍁🍁