La La Café
"Nasi goreng seafood dan jus mangga, Ara pesan apa ?", ucap Ryan ketika waitress menyodorkan menu.
"Orange juice", request-ku pada karyawan café yang langsung pergi usai menerima order-an.
Aku ingin menghentikan waktu pada detik ini, meski kami tidak banyak bicara dan hanya saling mengamati. Semakin aku melihatnya, semakin aku terseret dan merasakan sesuatu yang menyakitkan. Diam-diam aku bertanya dalam hati, apa tindakanku selama 10 tahun ini sangat keterlaluan dan tidak termaafkan.
"Ara banyak berubah", ucapnya.
"Em, iya", aku menjawab pertanyaan yang tidak perlu jawaban.
"You've become more arrogant. How could you ignore me for almost ten years?", ucapnya yang mempertanyakan mengapa aku mengabaikannya selama hampir 10 tahun ini.
"Explain!", lanjutnya.
"I need your explanation", ucapnya lagi.
"I have no answer", sahutku pelan.
"I don't owe anyone an explanation for being how I am, right?", lanjutku seperti bertanya sembari menahan kesal meski sebenarnya aku tidak berhak kesal.
Saat itu aku benar-benar kekanak-kanakan dan mengatakan semua yang bertentangan dengan hati. Sedetik kemudian, aku menyesali semua perkataanku. Tapi, kata-kata yang sudah keluar tidak mungkin ditarik kembali. Sungguh, aku benar-benar menyesal karena terus-menerus bertindak bodoh.
Anyway, life is always unpredictable. Dulu aku tidak pernah berpikir akan mampu melewati hari tanpa hadirnya, ternyata ego membuat semuanya menjadi mungkin, bahkan aku bertahan tanpa pernah mengetik sebaris pesan untuknya.
Mendengar perkataanku, pupilnya langsung bereaksi dan mengintai mataku sehingga aku terintimidasi. Tanpa sadar setitik embun mulai menggenang meski tidak sempat jatuh. Jika aku tidak memalingkan wajah, mungkin aku akan menangis sekali lagi.
"Tell me why you treated me like a stranger ?", tuturnya yang mempertanyakan mengapa aku memperlakukannya seperti orang asing sambil menatap mataku.
"Apa Abang benar-benar udah jadi orang asing bagi Ara?", tanyanya lagi.
"Atau Ara terlalu sibuk sampai gak sempat meluangkan waktu 5 menit aja untuk balas e-mail atau sekedar nulis satu kalimat. If it was too hard, at least you can pretend that you're still care", lanjutnya.
Ucapannya membuat sebulir air mata tidak lagi tergenang, tapi jatuh berderai. Aku sudah menangis dua kali dalam sehari; gagal menyembunyikan emosi karena suatu alasan yang tidak dapat terjabarkan.
Dia sama sekali tidak tahu apa-apa. Tidak pernah tahu bagaimana kehidupanku selama 10 tahun ini, sekeras apa aku mencoba bertahan dan sedalam apa kerinduanku padanya.
Meski hanya setetes air mata yang jatuh berderai, harga diriku hancur seketika. Bagaimana bisa aku menangis di depan seseorang yang telah meninggalkanku selama 10 tahun.
Sungguh memalukan sekaligus merusak citraku sebagai perempuan berhati dingin.
"Ya, mungkin memang sibuk, tapi juga gak benar-benar sibuk. Dan, memang jarang cek e-mail", ucapku.
Anggap saja perkataanku sudah meringkas segalanya. Anggap saja, hanya itu yang ingin dia dengar. Maklumi saja aku yang tidak baik dalam mengutarakan isi hati. Meskipun, diam-diam aku berharap Ryan akan mengerti kata-kata yang tidak sempat aku ucapkan.
"Sejak kapan Ara jadi sejahat ini ?", lanjutnya dengan nada yang mulai santai.
"Bukannya udah jahat dari dulu ?", jawabku dengan nada bertanya.
"Jangan sekarang, kita bahas ini nanti. Sekarang makan dulu, pasti lapar, kan ?", lanjutku sebelum dia sempat merespon sambil meraih sendok dan mendaratkan sesuap nasi goreng untuknya.
Tanpa penolakan, dia membuka mulutnya setelah menarik napas panjang. Tanpa sadar aku tersenyum melihat perubahan raut wajahnya.
Dan lagi, aku kembali tersadar tidak ada yang berubah. Mungkin tidak akan pernah berubah. Dia masih bisa membuat aku tersenyum dengan nyaman tanpa banyak usaha.
Dia masih bisa membuat aku berhenti memikirkan hal lain ketika bersamanya. Aku merasakan kedamaian yang telah lama sirna dari dalam diriku.
"Are you still with me ?", ucapnya sambil menjentikkan jarinya.
Aku tertegun dari angan-angan dan harapan yang jauh. Ketika melihatnya, aku berharap untuk mempertahankannya di sisiku. Tanpa kesadaran, tanpa rasa syukur, aku masih meminta terlalu banyak. Bukankah pertemuan ini adalah salah satu hadiah terbaik ?
Dering handphone, memecah suasana, panggilan masuk dari Bunda. Aku biasa mematikan mobile data saat tidak diperlukan, sehingga mereka akan melakukan panggilan singkat agar aku memeriksa pesan. Ibuku juga melakukan hal serupa, menyuruhku melihat WhatsApp dan membeli list bahan dapur yang baru saja dikirimkannya.
Membeli perlengkapan dapur merupakan salah satu pekerjaan rumah yang harus aku lakukan karena kami berbagi tugas.
Kali ini list-nya lebih panjang karena lusa ada tahlilan untuk memperingati kematian nenek dan kakek yang diadakan setiap tahunnya selama 12 tahun terakhir ini. Ya, tidak terasa sudah 4.383 hari berlalu sejak kepergian mereka.
"Mau diantar pulang duluan ?", tanyaku ketika di parkiran.
"Ara masih sama, gak pengertian dan gak akan berubah", jawabnya yang hanya kutanggapi dengan lirikan.
"Ke mana ?", lanjutnya.
"Beli bahan dapur dan singgah ke minimarket", jawabku.
Tanpa menjawab pertanyaanku, Ryan mencuri kunci dari tanganku sekali lagi. Perjalanan menuju tempat tujuan memakan waktu 25 menit karena lalu lintas di pusat kota mulai padat menjelang sore.
Dia lebih dulu singgah ke Masjid Raya Baiturrahman untuk shalat ashar sebelum mengantarku ke tempat tujuan. Aku menunggu di luar, tidak bisa memasuki pekarangan masjid karena mengenakan celana meski bajuku longgar melewati lutut.
Sembari menunggu, aku memilih jalan kaki menuju tempat tujuan untuk melengkapi daftar pesanan bunda.
Aku mengetik sebuah pesan singkat untuk Ryan untuk pertama kalinya, memintanya menyusul jika sudah selesai. Meski tidak pernah menyimpan nomornya, angka-angka itu benar-benar di luar kepala.
Tidak lama, bayangannya muncul bersama eskalator yang bergerak naik. Anehnya, pemandangan itu membuatku tersenyum seperti orang bodoh. Dia tidak perlu melakukan apa-apa, hanya cukup berdiri dari kejauhan, aku sudah bahagia.
Belanja bersamanya terasa seperti mimpi, dia terlihat sangat manis ketika mengikutiku bersama troli. Huft, aku baru saja berharap bisa menikahinya. Benar, dia tidak pernah gagal membuat harapanku tumbuh dan terukir semakin dalam.
🍁🍁🍁