Bagi mahasiswa tingkat akhir, bukan lagi rahasia jika tidak ada jeda antara semester tujuh dan delapan. Aku mulai mengerjakan penelitian sejak dinyatakan lulus seminar proposal pada pertengahan semester lalu, tapi belum juga merampungkannya.
Aku telah membuat target untuk mengukuhkan gelar sebagai sarjana sains pada bulan Mei; aku masih memiliki waktu tiga bulan untuk menyelesaikan segalanya.
Kegiatan kampus selama beberapa bulan ini lebih banyak kuhabiskan di lab penelitian dengan progress yang baik. Banyak hal berjalan sesuai rencana, kontras dengan hati.
Seiring waktu berlalu, tidak ada yang berubah. Kenangan tentangnya tidak memudar, meski aku bungkam dalam diam.
Wajah datar tanpa emosi menyamarkan segalanya, kesedihan, kebahagiaan, atau kemarahan, semua terpendam. Aku telah terbiasa membenamkan diri saat manusia lain terlelap dalam damai, lalu menangis tanpa alasan sebelum tertidur.
Setiap kali melihat mataku bengkak, mereka akan berpikir bahwa aku tidur terlalu lama atau tidak tidur sama sekali.
Sebelumnya, aku hanya anak manja dengan berbagai keluhan. Sejak hari pertama memasuki dunia SMP, aku berhenti mengeluh dan berubah menjadi orang yang berbeda, karakter dingin tiba-tiba melekat padaku, hidup seakan tidak membutuhkan orang lain dan hampir melupakan manusia adalah makhluk sosial.
Keluarga menafsirkan perubahan itu sebagai bentuk kedewasaan dan kemandirian. Mereka tidak menyadari kendala yang aku hadapi, tidak melihat luka yang membekas dalam hati. Kehidupanku nampak membosankan bagai permukaan air kolam yang tenang tanpa kehidupan, seolah-olah semua baik-baik saja.
Tidak seorangpun melihatku jauh lebih dekat hingga ke dalam hati, kecuali segelintir manusia langka yang telah lama pergi. Kehidupanku nampak sempurna dari jauh, sehingga tidak seorangpun bertanya tentang keinginanku karena semua telah diatur dengan baik.
Mungkin itu adalah salah satu alasan yang menjadikanku seperti sekarang, hidup sesuai rencana-rencana luar biasa. Aku tidak bisa menyalahkan mereka, bagaimanapun aku terlahir seperti ini; tidak memiliki keinginan ataupun tujuan hidup yang jelas sejak awal.
🍁🍁🍁
Tidak terasa Februari akan segera berakhir, sudah hampir tiga bulan waktu tersita untuk merampungkan penelitian.
Hari ini pun, aku masih bergelut di lab sejak pagi, bahkan agar lebih efisien, aku memilih shalat dan makan siang di ruang istirahat laboratorium; tempat sakral bagi mahasiswa penelitian untuk mengambil jeda sambil menunggu running sample.
Aku meraih bekal makan siang dengan tidak berselera, pikiranku sedang kacau dan jiwaku melayang jauh. Sungguh, hidup menjadi lebih rumit setelah cinta mengusik hidup.
Seringkali, rasa penasaran tentang hari-hari yang dijalaninya meliputiku. Aku belum menerima surat atau e-mail darinya selama tiga bulan terakhir.
Aku menutup kotak bekal dan mematikan furnace yang baru saja menimbulkan suara, lalu meninggalkan laboratorium lebih awal karena sedang tidak bisa fokus.
"Ara...", panggil seseorang tiba-tiba ketika aku berada di tempat parkir.
Aku terhenti dan terpaku, suara itu benar-benar tidak asing. Tiba-tiba, ritme jantungku berubah tidak beraturan. Sungguh, aku sangat kacau dan mulai berhalusinasi.
Aku harus melakukan konsultasi dengan psikiater karena pikiranku terus mengalami distraksi; kesulitan membedakan ilusi dan realita. Aku terus melihatnya dan kali ini yang terburuk, bayangannya tidak menghilang dalam hitungan detik dan semakin mendekat.
"Gak, enggak, aku belum gila", batinku.
Aku berpaling dan menghentikan ilusi bodoh itu, tapi hadirnya masih sangat nyata di hadapanku.
"Ara...", suara itu.
Aku mendengarnya sekali lagi dan merasakan seseorang menarik lenganku ketika aku berpaling dari halusinasi yang menyerat itu.
"Ah, keterlaluan...", lirihku frustasi dan nyaris menangis sambil menepis keras tangannya.
"Ara...",ucapnya.
"Hah...?", jawabku yang masih melongo heran.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, lalu memejamkan mata, mencoba menangani semua ketidakwarasan dan mengembalikan seluruh kesadaran.
Tiba-tiba, aku merasakan sentuhan tangan seseorang yang mengelus lembut kepalaku. Aku tertegun dan mengangkat wajah, aku benar-benar menemukan wajah seseorang yang sangat aku rindukan. Tanpa penghalang, air mata berderai tanpa alasan.
Kondisi mentalku tidak baik-baik saja. Perasaanku bercampur-aduk menjadi kesatuan yang rumit, meluap keluar tanpa sekat pembatas.
Hampir saja aku mendekat dan menghambur ke dalam pelukannya, tapi tidak terjadi. Sedetik kemudian, aku tersadar bahwa keadaan telah berubah.
Aku bukan lagi adik kecil yang bebas menyentuhnya, aku adalah perempuan dewasa yang harus memiliki batas dan menjaga kehormatanku.
"Ara kenapa?", tanyanya.
"Hah, gak kenapa-napa", jawabku.
"Terus kenapa?", tanyanya sambil menunjuk ke arah wajahku yang masih sembab.
"Oh, a-aa, itu, itu tadi kayanya ada debu, jadi ya, ya gitulah", jawabku asal dan agak terbata.
"Mau langsung pulang ?", tanyanya lagi.
"Terus ?", jawabku.
"Lapar..", lanjutnya.
"Mau makan dulu sebelum pulang ?", tanyaku.
Ryan mengangguk pelan sambil tersenyum, lalu meraih kunci dari tanganku. Aku sama sekali tidak bisa tersenyum karena masih merasa semuanya tidak nyata. Kejadian seperti ini, sudah beberapa kali menipu dan menjeratku dalam ilusi yang tiada akhir.
Kami pergi ke sebuah café yang terletak tidak jauh dari kampus. Dalam perjalanan ke sana masih ada perasaan aneh yang berkecamuk dalam batinku. Bukankah itu hal wajar, siapupun pasti merasakan hal yang sama jika berada di posisiku.
Dia masih sangat familiar dengan jalan di area Banda Aceh karena ini adalah kunjungan keduanya setelah berimigrasi. Delapan bulan yang lalu untuk pertama kalinya dia kembali ke Aceh dan tinggal selama sembilan hari.
Saat itu aku tengah menjalani kegiatan volunteering di pedalaman Kalimantan selama sebulan, sehingga kami tidak bertemu meskipun dia menginap di rumahku selama dua hari sebelum bertolak kembali ke Malaysia.
Sejak saat itu, ilusi dan halusinasi mulai membayang-bayangi dan mengacaukan realitaku. Aku kesal karena takdir mempermainkanku dan tidak mengizinkan kami bertemu saat itu.
🍁🍁🍁