Sepuluh tahun yang berat, aku telah melewati kecamuk yang menyiksa. Pada fase awal, tiga tahun pertama, aku diliputi berbagai pertanyaan yang tidak terjawab.
Bagi siswa yang baru mulai beradaptasi dengan kehidupan remaja, tentu saja sulit memahami rasa itu sebagai cinta. Lagipula, kehilangan itu terasa wajar karena terbiasa dengan hadirnya.
Fase kedua, tiga tahun berikutnya, aku mulai menyadari perubahan, perasaan baru dan berbeda hadir dalam hidupku. Aku pun mulai mengerti dan menerima perasaan kacau itu sebagai cinta; jatuh cinta adalah pengalaman wajar yang akan dilalui oleh semua remaja, ketertarikan sesaat yang akan hilang seiring waktu berlalu.
Tiga tahun berikutnya berganti bagai angin lalu. Tidak ada yang berubah, aku masih memikirkan manusia yang sama tanpa keraguan. Sembilan tahun telah berlalu, seharusnya perasaan itu hilang pelan-pelan bersama udara.
Sekali lagi, aku tidak menemukan jawaban mengapa perasaan itu masih bertahan. Logika mulai goyah, tidak ada keselarasan antara hati dan otak yang tersisa.
Kepercayaan diri yang selama ini aku bangun, luruh dan hancur seketika. Aku melimpahkan semua kesalahan ini padanya dalam diam; tidak jarang aku hanyut dalam dilema dan terombang-ambing antara mencintai dan membencinya.
Benar-benar melelahkan, sesekali aku ingin menyerah pada ego dan harga diri, lalu memohon pada Ayah atau Bunda, atau salah satu dari mereka agar mengatur perjodohanku dengannya, atau diam-diam memilihnya untukku.
Tapi aku memilih untuk menyelamatkan ego dan harga diriku karena tidak mampu berkompromi dan mengatasi penolakan. Sejauh ini, aku masih seseorang dengan image di luar jangkauan; wanita yang selalu diperjuangkan.
🍁🍁🍁
Setahun belakangan ini, aku semakin terusik karena namanya seringkali menjadi topik pembicaraan orangtuaku. Baru-baru ini, Bunda mengunjungi keluarganya yang hampir 10 tahun menetap di Kuala Lumpur, Malaysia.
Ibuku belum berubah, masih sangat mengagumi Sayed Ryan Idroes. Ryan memang mengagumkan, bahkan telah meraih gelar dokter spesialis di usia yang masih sangat muda, 27 tahun.
Meski keluarga kami saling mengunjungi, tapi dia tidak pernah kembali sejak kepergiannya karena melanjutkan SMA di London, lalu meneruskan pendidikan di Cambridge University.
Aku juga tidak pernah mendatanginya ketika liburan karena tidak ingin terluka; tidak ingin terpana untuk kedua kalinya, tidak ingin terusik oleh kehadirannya.
Tanpa melakukan apapun, Ryan juga masih mengusik ketentramanku. Meski satu dekade telah berlalu, aku belum bisa melupakan jejak dan kenangannya yang selalu manis untuk dikenang.
Aku hanya ingin menyimpannya sebagai sejarah bahwa seseorang pernah hadir dan menemaniku melewati hari-hari yang paling menyedihkan karena kepergian orang-orang berharga dari hidupku.
Aku terlalu pengecut dan tidak memiliki keberanian untuk menemuinya; aku takut tidak akan bisa melepaskannya. Selain itu, memulai kembali cerita yang telah usai bukan pilihan terbaik.
Bagaimanapun, kenangan manis itu berakhir menyedihkan. Dia yang pernah menyembuhkan kesedihanku, juga meninggalkan luka yang sama.
Sejak saat itu aku mulai berpikir, tidak seharusnya membawa orang asing masuk terlalu jauh dalam kehidupanku. Sejak saat itu aku menjaga jarak dengan siapapun karena tidak ingin terluka dengan alasan apapun.
Sejak saat itu aku mengabaikan segala bentuk komunikasi darinya; tidak pernah menanggapi e-mail dan tidak pernah merespon semua surat yang aku terima. Meski harus kuakui, aku membaca semuanya sehingga update tentang perkembangannya bahkan sebelum mendengar dari orangtuaku.
Pasti ada yang salah dengan diriku. Aku yang bertekad melupakannya, tapi bertindak sebaliknya. Meski tidak pernah menanggapi, aku menyukai semua surat itu, bahkan pernah membaca ulang surat-surat itu ketika sangat merindukannya.
Benar, itu adalah tindakan bodoh, tapi siapa yang bisa mengatasi kerinduan. Tindakan-tindakan bodoh itu membuat kehadirannya terus bersarang dalam hati.
Di tengah kebingungan dan ketidaktahuan panjang dalam bersikap, aku berusaha keras menutupi perubahan sekecil apapun, bersikap tenang menyembunyikan gejolak yang telah meruntuhkan dinding hati.
Aku mengelabui semua orang dengan menunjukkan ekspresi wajah datar tanpa emosi. Sehingga, tidak seorangpun menyadari bahwa cinta telah mengubahku menjadi manusia bodoh nan emosional yang tidak mampu melihat dunia selain dia.
Ibuku sering mempertanyakan sikapku yang nampak tidak terpengaruh dengan semua surat Ryan. Kenyataannya, aku hanya seorang penipu ulung yang mahir berbohong sejak otak memproduksi dopamine, pheromone, vasopressin, serotonin, dan oxytocin.
Aku juga sanggup membohongi diriku sendiri karena tidak ingin berharap, lalu dikecewakan. Tidak akan aku izinkan orang lain bertindak semena-mena dan mematahkan sayapku. Sungguh, tekad luar biasa yang tidak pernah terealisasi. Meski telah mencoba sekuat tenaga, perasaan bukan sesuatu yang bisa dikendalikan.
Setiap kali menerima kabar darinya, seluruh diriku terusik. Ada kerinduan yang dalam, ada keinginan yang besar untuk membalas semua surat itu. Tapi, aku menahannya dengan baik meski sangat tersiksa. Mengambil langkah menjauh saat menginginkan hal sebaliknya. Aku mengalami kekacauan yang sulit dijabarkan.
Belakangan ini semua terasa ganjil, banyak hal mengusik ketenangan. Kehidupanku berubah drastis, segalanya menjadi lebih sulit dikendalikan. Aku kehilangan diriku yang dulu. Kerinduan ini benar-benar membuat aku lelah, tapi ego memaksaku tetap menahan sakit merindu.
🍁🍁🍁
Semester tujuh yang menguras pikiran dan tenaga, membantuku mengalihkan hati. Menyibukkan diri dengan berbagai rutinitas dan tugas kuliah, mengisi waktu luang dengan menikmati hobi, kegiatan organisasi dan volunteering activities agar lebih lelah. Rasa lelah membantuku mengosongkan pikiran dan terlelap dengan cepat.
Seperti itu, hari-hariku berlalu selama beberapa tahun belakangan ini. Aku masih menerima kabar darinya, meski tidak sesering dulu. Dia tidak hanya menulis, tetapi juga menyertai beberapa foto yang membingkainya di tengah suasana berbagai kota di Eropa yang dikunjunginya; foto-foto itu diakui sebagai hasil jepretan sahabat terbaiknya yang suatu saat akan diperkenalkan padaku.
Meski Ryan menceritakan segalanya melalui suratnya dan menunjukkan pemandangan kota yang ingin aku kunjungi, aku tidak pernah mengirim balasan. Seharusnya, aku mengakhiri ego dan ketakutan konyol ini. Sesekali, aku menertawakan kekonyolanku, hidupku saja sudah seperti lelucon.
Sekali saja, aku ingin memberanikan diri; berani patah hati jika harus patah hati, berani menunggu jika harus menunggu, berani melepaskan jika harus melepaskan. Pada akhirnya, aku hanya seorang pengecut yang tidak pernah memiliki keberanian menghadapi realita itu. Aku selalu menghindar, sehingga tidak ada yang berubah.
Mungkin dia hanya akan menjadi sejarah, baik dulu begitupun sekarang. Ya, sejarah manis yang akan aku kenang sewaktu-waktu.
🍁🍁🍁