Chereads / Keajaiban untuk Hati / Chapter 2 - Nona Squad

Chapter 2 - Nona Squad

Menjelang akhir perkuliahan, aku tidak lagi memiliki alibi untuk menghindari Ghina Rahman, Cut Tania, dan Feera Medina Said; anggota NoNa Squad yang merupakan kelompok pertemananku sejak TK yang terdiri dari tujuh orang.

Dua anggota lain saat ini tidak berada di Indonesia; Vanny Ariska tengah menempuh pendidikan di Australian National University dan Aliya Putri Harun sedang memperjuangkan gelar sarjana kedokteran di Seoul National University. Selain itu, ada mendiang Syarifah Riana Putri, yang telah pergi sekitar 15 tahun lalu.

Meski mereka adalah sahabat terdekatku, belakangan ini aku hanya ingin menjauh dan menghindar karena mereka memihak keluargaku, terutama Bunda. Aku muak dengan semua rencana dan pertanyaan bodoh yang selalu mereka ajukan; cinta, tipe ideal, random man, dan blind date.

Tapi semua pembenaran atas tindakanku telah sirna; aku tidak lagi memiliki jadwal kuliah, tugas atau jadwal laboratorium. Semua alasan clichรฉ itu kini sudah expired.

Hari ini pun mereka melakukan hal serupa, melibatkan Reza Pratama Harun dalam pertemuan NoNa Squad.ย  Aku sangat yakin Bunda terlibat dalam rencana memuakkan ini.

Aku meninggalkan pertemuan itu usai menghabiskan minuman dan kembali ke laboratorium untuk mematikan furnace yang berfungsi mengeringkan sampel. Kali ini bukan alibi, melainkan kejujuran yang tidak dibuat-buat.

Mereka tidak mempercayaiku dan mengikutiku hingga ke lab penelitian. Tindakan itu tidak mengejutkan dan sudah sering terjadi. Mereka terlalu gigih, tidak pernah menyerah untuk menjebakku dalam berbagai rencana perjodohan klasik.

Kedua orangtuaku tidak jarang ikut terlibat dalam rencana-rencana itu. Kata-kata seperti dia baik dan dari keluarga baik-baik, mapan, tampan dan terpelajar, lebih menyerupai bom yang meledak tepat di telinga.

Ghina, Feera dan Tania, mereka menyusulku dan setia menunggu di ruang istirahat laboratorium hingga pekerjaanku selesai hanya untuk mengomel. Tidak ada cara untuk menghindar, seandainya saja aku bisa teleportasi dan menghilang.

Dengan berat hati, aku menemui mereka, mendengar omelan yang mereka sebut sebagai pencerahan. Aku belum sempat duduk dengan nyaman, amukan itu sudah menusuk telinga; membombardirku dengan berbagai pernyataan dan pertanyaan. Sesuai dugaan, kalimat pembuka yang sama terulang dari mulut Ghina.

"Kali ini alasannya apa ?" , Ghina mengawali.

"Dia bukan random man, tapi seorang Reza Pratama Harun, material husband dan menantu idaman semua orangtua" , tambah Tania.

"Dia juga naksir Ara dari dulu", ucap Feera.

"Kita semua kenal Bang Reza, keluarga kalian pun dekat, dia juga sepupu Aliya", lanjut Ghina.

"Untuk laki-laki modern yang pernah tinggal di Amerika, dia cukup agamis", sambung Feera.

"Mana ada laki-laki agamis yang gak keberatan makan berdua sama yang bukan mahramnya ?", jawabku.

"Dia bukan ustadz, Ara pun bukan ustadzah. Manusia gak ada yang sempurna, Ra", ucap Ghina yang berhasil memojokkanku.

"Sekarang kita logis aja deh, ada gak pilihan lain yang lebih baik dari Bang Reza atau ada gak orang lain yang Ara suka ? Kalau ada, kita akan berhenti ikut-campur", lanjut Tania.

Aku terdiam sesaat karena pernyataan Tania, ucapannya mendekati realita dan fakta yang tidak ingin kuakui. Seseorang yang aku sukai, aku tidak ingin membicarakannya karena terlalu memalukan.

"Belajar buka hati, belajar suka, lagian orangtua kalian sama-sama setuju. Gak ada salahnya dicoba, kan juga gak langsung nikah", lanjutnya.

"At least, coba! Hubungan harus diusahakan oleh dua pihak. Kalau gak dicoba, kita gak akan pernah tahu", lanjut Feera.

Ghina hanya menatapku dalam diam, mungkin mulai lelah mengulang perkataan yang sama untuk kesekian kalinya. Hanya saja aku masih tidak paham mengapa kesendirianku menjadi sesuatu yang harus dikhawatirkan. Aku masih muda, wajar jika masih ingin sendiri.

Aku juga mulai diam dan hanya menyimak omelan Tania dan Feera yang mengalir lancar seperti mobil yang melaju di jalan tol yang lengang tanpa kendaraan lain.

Tidak ingin memperpanjang masalah ataupun mempersulit keadaan yang sudah sulit untuk ditangani. Membiarkan mereka mengatakan apapun yang ingin mereka katakan adalah pilihan terbaik; menyediakan telinga untuk mendengar, tapi tidak membiarkan otak mencerna ucapan itu.

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ