"Sedang apa, Lulla?"
Suara berat Oktano membuyarkan lamunannya di kelas yang sepi. Jam kuliah baru akan dimulai 30 menit lagi, tapi entah kenapa Lulla sudah berada di sini seorang diri.
"Kau sendiri kenapa ke sini?"
"Karena kita satu kelas nanti."
Oh iya. Lulla lupa. Pikirannya kacau. Apa yang ia ingat hanyalah memori tentang hadiah yang ia berikan pada Oktano saat itu.
Merenung seorang diri selama berhari-hari nyatanya tidak membuat Lulla menemukan jawaban. Apakah Oktano menolaknya? Lupa tidak membuka kadonya? Atau hadiahnya justru langsung dibuang ke tong sampah?
Haaaah, sebenarnya Lulla punya salah apa sih sampai diabaikan begini?
"Kau tahu, ban mobilku sudah tiga hari ini kempes terus. Aku sampai tidak berani membawanya lagi ke kampus."
Oktano yang malang justru menceritakan keluh kesahnya langsung ke pelaku.
Tapi Lulla yang sopan dengan hati-hati bertanya. "Apa itu ulah orang jahil?"
Oktano menggeleng. "Entahlah, tapi kalaupun iya, aku sudah memaafkannya."
Jantung Lulla rasanya berhenti berdetak saat itu juga.
"Kenapa?"
"Huh? Apanya?"
Lulla menarik napas dalam-dalam. "Kenapa kau memaafkannya semudah itu? Perkarakan saja dia ke polisi!"
Oktano memandangi Lulla khawatir. "Kau kenapa? Tenanglah, itu hanya masalah sepele."
Kenapa Oktano harus begini? Di saat niat jahat sudah menguasai kepalanya, di saat ia yakin bahwa balas dendam adalah cara terbaik untuk memusnahkan perasaannya sendiri, tapi Oktano mengacaukan segalanya.
Haha, dimaafkan?
Untuk apa orang seperti Lulla mendapatkannya?
"Aku titip tas ya, Lulla. Mau ke toilet sebentar." Ucap Oktano buru-buru pergi.
Lulla sendiri tidak terlalu ingin tahu kenapa Oktano buru-buru, ia justru lebih penasaran kenapa buku sketsa Oktano terus menyembul keluar dari dalam tas sejak tadi.
Jadilah Lulla mengambilnya.
"Keren."
Memang, semua gambar yang ada di buku sketsa milik Oktano sangatlah keren. Setiap sudut-sudut sulitpun digambar dengan detail. Yah, namanya juga sedang jatuh cinta. Mau aslinya gambar Oktano tidak bagus pun akan tetap mengesankan di mata gadis ini. Ia sendiri dengan cepat membolak-balik halaman demi halaman yang ada, memunculkan beberapa gambar daun, ranting, burung yang sedang bertengger di atas atap, dan juga wajah manusia.
Sebentar, kenapa familiar ya?
Lulla mendekatkan wajahnya ke buku sketsa itu, berusaha melihat dengan jarak lebih dekat sosok perempuan yang digambar Oktano.
"Siapa sih ini?"
Sekelebat ingatannya tentang foto Hana yang pernah ia lihat di sosial media lantas membuatnya geram.
"Ini Hana?"
Wah, lucu sekali. Bahkan kedekatan Oktano dan Hana sudah sampai pada level ini. Pantas saja hadiah yang ia berikan didiamkan saja, tidak ditanggapi, ditolak mentah-mentah.
"Jadi mereka benar-benar ada sesuatu?"
Lulla masih bermonolog sendiri, tapi kali ini bukan raut sedih yang ia tunjukkan. Sebuah senyum miring menghiasi wajahnya ketika jemarinya sibuk merobek sketsa wajah Hana dari buku itu.
Lulla berubah pikiran.
Ia akan buat perhitungan sungguhan dengan yang namanya Hana itu.
"Jangan pernah main-main denganku."
Beruntungnya ketika Oktano kembali, lelaki itu tidak menyadari perubahan posisi buku sketsa di dalam tasnya. Lulla juga berharap demikian, semoga Oktano tidak akan sadar bahwa ia sudah merobek salah satu lukisan berharganya.