Kalau kalian pikir Lulla sudah menyerah, maka kalian salah. Masih dengan sedikit harapan yang ia miliki, Lulla kembali mendial nomor Oktano. Kali ini Lulla sudah mengisi pulsanya. Berkali-kali menelepon, masih tidak ada jawaban. Ingin sekali rasanya semua pesan berisi umpatan yang tidak terkirim tadi ia kirim ulang, agar Oktano tahu apa yang ia rasakan sekarang.
Tapi di panggilan yang entah sudah ke berapa kalinya, Oktano akhirnya bersedia mengangkat telepon.
"Halo? Ada apa?"
"Oktano, aku mau bicara."
Panggilan berakhir.
Lulla ingin menangis saja rasanya begitu panggilan diputus sepihak, tapi tidak jadi begitu Oktano balik meneleponnya.
"Halo Lulla? Maaf aku baru saja selesai briefing, jadi kau mau bicara apa? Aku sudah di luar aula sekarang."
"Kenapa kau tidak mengabariku kalau ikut pertukaran pelajar?"
Oktano diam saja tidak menjawab.
"Kau lupa sebelum ini kita pernah bicara? Kenapa tidak kau katakan hari itu?"
"Maaf, aku sungguh minta maaf."
"Aku benci sekali padamu, tahu! Kau tidak berubah. Meskipun Miya sudah bicara denganmu, meskipun aku sudah bicara denganmu. Kenapa kau masih saja begini?"
"Aku tidak mengerti, Lulla."
"Kau selalu saja tidak pernah menjelaskan kesalahanmu, kau selalu lari."
"Lulla, apa aku berbuat salah padamu? Tolong katakan apa salahku, aku tidak akan tahu kalau kau tidak mengatakannya."
Lulla memijit pelipisnya.
"Vincent. Kau memberikan nomorku dan memintaku berkenalan dengannya."
"Dia menyukaimu."
"Aku tidak menyukainya."
"Baiklah, aku minta maaf. Aku seharusnya tidak mencampuri urusan pribadimu."
Lulla berdiri di dekat jendela kamarnya, menatap langit malam yang dipenuhi bintang.
"Aku baru saja memberimu hadiah saat itu, tapi kau mengenalkanku padanya. Ku pikir kau menolakku."
Ada jeda sebentar sebelum Lulla meneruskan kalimatnya. Ia menarik napas dalam-dalam.
"Tapi sejujurnya aku tidak apa meski kau menolakku, Oktano. Kau hanya perlu jujur padaku, katakan semuanya langsung padaku agar aku mengerti."
Bulir-bulir air mata kembali turun ke pipi, dan Lulla masih menatap bintang-bintang yang ada di langit. Ia semakin sedih mengingat bintangnya yang paling berharga tidak ada di sampingnya kini.
"Maaf, sekali lagi aku minta maaf."
"Kau menyukaiku atau tidak, Oktano?"
"Apa?"
"Kalau kau tidak menyukaiku, sebaiknya jangan minta maaf. Aku tidak akan memaafkanmu."
Oktano lantas terkekeh di seberang telepon, menertawakan kalimat Lulla yang terdengar merengek.
"Aku minta maaf."
"Ku bilang jangan!"
"Kalaupun aku menyukaimu, aku bisa apa Lulla? Banyak yang menyukaimu juga di sekitarku, aku tidak pernah berpikir punya kesempatan lebih jauh."
Lulla mendadak gemetar ketika mendengar Oktano bilang menyukainya juga. Ia mendengarnya langsung dari mulut Oktano, dan rasanya benar-benar luar biasa melegakan.
"Menurutmu, dalam skala satu sampai seratus, berapa persen kemungkinannya kau akan memilihku sementara banyak orang juga menginginkanmu?" Tanya Oktano di seberang telepon.
"Seratus." Balas Lulla tanpa pikir panjang.
Oktano meneguk ludahnya kepayahan, ia kehabisan kata-kata. "O-oh. Be-benarkah?"
"Karena yang ku sukai itu kau, jadi aku pasti memilihmu." Lulla menjawab tanpa ragu-ragu.
Ia sudah menyiapkan jawaban seperti ini sejak lama, andai hari dimana Oktano mengungkapkan perasaannya datang.
"Tapi Lulla, apa yang kau maksud tadi dengan aku menolakmu? Aku tidak pernah melakukannya."