Lulla tidak tahu apa yang sudah ia perbuat sampai seseorang yang ia sukai sedang dirawat di UGD. Ingin rasanya ia melupakan yang terjadi siang tadi di kantin kampus. Tapi nyatanya ia terus menerus teringat kelakuannya selama melamun di depan ruang rawat Oktano.
"Kenapa kau sedih sekali? Dia hanya keracunan makanan basi, bukannya overdosis obat."
Miya sudah duduk di sampingnya setelah selesai mengurus biaya pengobatan Oktano. Maklumlah, orang tua Oktano jarang ada di rumah, itulah kenapa Miya, yang hanya berstatus sebagai tetangga harus ikut mengurus si bayi besar yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit, entah sekecil apapun masalah yang lelaki itu hadapi.
"Oktano sudah baik-baik saja kok, dia sudah bisa main game sambil tiduran sekarang."
"Apa dia boleh pulang?"
"Tentu, hanya sakit biasa kok. Semua orang juga pasti pernah keracunan makanan basi, hanya saja makanan yang Oktano telan terlalu banyak."
Lulla semakin menunduk. "Miya,"
"Ya?"
"Apa Oktano akan memaafkanku?"
"Apa maksudmu?"
"Aku yang meracuni Oktano." Lulla tidak tahan lagi untuk tidak mengaku.
"Aku yang memberinya roti kadaluarsa, dan aku juga yang memaksanya untuk makan semua roti yang ku bawa."
Miya membatu.
"Aku bawa beberapa roti kadaluarsa dari rumahku, dan sekotak susu basi."
"Lulla, kau baik-baik saja?" Miya mendekati Lulla yang bahunya sudah bergetar.
Lulla tidak menangis, dia hanya sedang trauma pada kelakuannya sendiri.
"Lulla, kenapa kau begini? Apa yang terjadi padamu?"
Lulla menggeleng.
"Kau harus berhenti, oke? Jangan jadi orang yang mengerikan, semuanya akan takut padamu." Miya menepuk-nepuk pundak Lulla, ia turut terpukul.
Setelah dirasa cukup untuk menenangkan sahabatnya, Miya merenggangkan kembali jarak duduk mereka.
"Ceritakan padaku kenapa kau bisa sampai seperti ini?"
"Aku menelepon Oktano tadi malam, ingin menanyakan apa yang Hana bicarakan denganku kemarin, tapi dia memutuskan teleponnya sepihak. Aku marah, itu saja."
"Kau marah dan berusaha mencelakai Oktano?"
"Balas dendam itu adil menurutku."
Miya geleng-geleng mendengarnya. "Tidak Lulla, kau tidak boleh membalas perlakuan buruk orang lain padamu. Tuhan akan membalaskannya untukmu dengan sangat adil."
Lulla tertunduk lagi, malu mengakui tapi Miya benar seratus persen.
"Aku tanya lagi, apa yang membuatmu sampai berbuat sejauh ini?"
"Oktano menolakku."
"Kau sungguhan suka padanya?"
Ia mengangguk, membenarkan pertanyaan yang belum pernah ditanyakan orang lain selama ini.
"Aku memberi hadiah dan juga pernyataan cintaku di hari ulang tahunnya, tapi dia tidak merespon apapun."
"Astaga Lulla," Miya menutup mulut dengan kedua tangan, sedih sekali mendengarnya.
"Setelah ku berikan hadiah itu, dia justru mengenalkanku pada orang lain, berharap aku dan orang itu bisa dekat dan jadi pasangan yang serasi. Siapa yang tidak marah diperlakukan seperti itu? Dia bahkan tidak mau mengatakan apapun soal hadiahku."
Miya lagi-lagi menutup mulutnya, sesekali memijat pelipis saking pusingnya dengan jalan pikiran Oktano seperti yang diceritakan Lulla.
"Aku rasa kalian butuh waktu untuk bicara."
Lulla menggeleng, sedikit tersenyum miring. "Tidak, ku rasa sudah cukup sampai di sini saja. Kalau Oktano benar-benar tidak mau menganggapku apapun, lebih baik aku sudahi saja semuanya."
"Aku juga tidak ingin melukainya lebih banyak lagi." Lulla menambahkan.
---
Miya menggulung lengan kemejanya, berjalan dengan muka luar biasa serius ke arah ranjang Oktano. Si lelaki yang katanya sakit sendiri dengan sangat tidak tahu malunya masih bermain game, padahal lengan kanannya baru saja disuntik oleh perawat.
"Oktano, sudah baikan?"
"Sudah kok, nanti aku bilang ke ayahku untuk mengganti uangmu." Oktano nyengir setelahnya, lanjut bermain game.
Miya jadi heran, apanya Oktano yang disukai Lulla? Tingkahnya masih seperti bocah, dan tingkat kepekaannya pada orang lain juga kurang. Ah tidak, mungkin justru ini salah satu aspek yang dibenci Lulla.
"Oktano, kalau ada orang bicara tolong diperhatikan dulu."
"Sebentar, nanggung."
Miya menghela napas. Sudah sejak lahir ia bertetangga dengan Oktano, tapi baru kali ini sikapnya membuat si gadis kesal setengah mati. Padahal dari dulu Oktano juga sudah menyebalkan.
Ah, jangan-jangan orang ini sikapnya berubah kalau di depan Lulla? Pantas saja Lulla jatuh cinta sampai seperti itu.
"Oke, ada apa?" Oktano meletakkan ponselnya di ranjang.
"Bagaimana perasaanmu ke Lulla?"
Oktano tentu saja kaget ditanyai begitu. Jarang sekali ada orang yang menanyakan tentang Lulla padanya.
"Kenapa tiba-tiba tanya tentang Lulla?"
"Jawab saja, dia pernah memberimu hadiah, kan?"
Oktano mengangguk.
"Lalu kau suka Lulla atau tidak?"
"Apa sih? Kenapa menanyakan hal pribadi begitu?"
"Heh, kita ini sudah menceritakan banyak hal sejak masih tk. Banyak hal yang lebih pribadi saja sudah kau ceritakan padaku."
Wajah Oktano memerah mendengarnya, pasalnya beberapa perawat ikut mendengarkan percakapan mereka. Bisa-bisa mereka akan salah paham terhadap perkataan si gadis kelewat blak-blakan ini.
"Dimana hadiahnya? Kalau tidak suka ya kembalikan saja, jangan melukai perasaan orang lain."
"Melukai bagaimana maksudmu?"
"Ya kalau ada orang yang memberimu hadiah, bukankah kau harus meresponnya?"
"Aku sudah berterima kasih pada Lulla, dan hadiahnya pun masih ku simpan. Apa masalahnya?"
Miya melongo saking gemasnya. "Kau masih menyimpannya? Kenapa? Kau suka padanya?"
"Iya." Oktano mengaku pada akhirnya.
"Lalu kenapa diam saja?"
Oktano menghela napas sejenak, ia menatap langit-langit ruang UGD. Ia tidak terbiasa bicara gamblang soal perasaannya sendiri.
"Jujur saja aku bingung. Aku suka Lulla, dia manis, kelakuannya juga lucu."
Sudah dicelakai saja masih bisa bilang gadis itu lucu.
"Tapi aku bingung ketika menerima hadiah itu, aku belum siap kalau dia juga suka padaku. Aku takut tidak bisa membahagiakannya."
"Sesederhana itu jalan pikiranmu?" Miya sudah siap menggetok kepala Oktano dengan tangan kosong.
"Ada alasan lain, tapi aku tidak bisa mengatakannya."
Dan tanpa buang waktu, Miya pamit keluar sebentar. Ia harus memberitahu Lulla tentang ini.