"Lulla," Miya keluar dari dalam kamar Oktano.
"Bagaimana, Miya? Apa dia sudah memaafkanku?" Tanya Lulla penuh harap.
Sayangnya, Miya menggeleng. "Aku tidak menanyakannya karena ku harap kalian punya waktu sendiri untuk bicara."
Lulla lantas menunduk sedih.
"Tapi aku punya kabar gembira untukmu."
Lulla jadi mendongak lagi, menelisik senyum sahabatnya yang sulit dipahami.
"Dia masih menyimpan hadiahmu."
Sorot mata Lulla sedikit berbinar, tapi ia tidak mau tersenyum. Malu atas semua perbuatan buruknya.
"Benarkah? Lalu apa katanya?"
Tangan Miya terulur untuk mengusap kepala Lulla, sangat gemas dengan kisah cinta milik teman baiknya ini.
"Aku tidak bisa mengatakan apakah dia suka padamu atau tidak, tapi karena dia masih menyimpan hadiahmu, ku rasa kau tahu sendiri jawabannya."
Lulla menatap Miya sekali lagi. Miya sendiri balas tersenyum lembut. Sayangnya, jauh di dalam hati, ia sendiri masih ragu kalau Oktano juga suka padanya.
"Dan juga dia punya alasan sendiri kenapa tidak bisa terlalu dekat denganmu, coba kau tanyakan nanti saat bicara dengannya."
Hanya ini yang bisa Miya lakukan agar Lulla berhenti bersikap buruk. Kalau dia tidak mengatakan apapun selepas keluar dari kamar Oktano, Lulla pasti akan mengamuk lebih parah lagi. Setidaknya harus ada orang yang menghentikan semua drama ini, agar tidak ada lagi yang terluka.
"Kau baik-baik saja?" Miya masih mengelus kepala Lulla.
Lulla mengangguk, tersenyum tipis.
"Berjanjilah padaku tidak akan ada kejadian buruk lagi setelah ini."
---
Di taman belakang perpustakaan, ada Lulla dan Oktano yang duduk saling berhadapan dalam diam. Lulla sedang sibuk memandangi para pejalan kaki di jalan setapak dekat sini, sementara Oktano sedang sibuk memandangi Lulla.
"Kau bilang mau bicara, Lulla."
"Ya, tapi aku tidak tahu darimana memulainya."
Oktano terkekeh. "Memangnya kita ada masalah apa sampai kau mengajakku bicara begini?"
Lulla ikut tersenyum melihat Oktano dengan binar-binar bahagia di wajahnya. Dia pasti benar-benar sudah sembuh.
"Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?"
"Ya, dokter merawatku dengan baik."
"Maaf, itu semua salahku. Andai saja aku tidak memaksamu makan apa yang ku bawa kemarin, kau pasti tidak akan dibawa ke rumah sakit."
Oktano membuka mulutnya mendengar penuturan Lulla. Memang benar saat itu Lulla memaksanya memakan semua roti dan sekotak susu yang ia bawa, tapi Oktano sendiri tidak tahu kalau semua makanan itu sudah basi. Ia tidak bisa membedakan makanan yang basi dan tidak kalau tidak ada baunya sama sekali.
Namun, terlepas dari semua itu, yang lebih mengagetkan adalah....
Lulla dengan sengaja melakukannya.
"Tidak apa-apa, Lulla. Itu hanya masalah kecil. Jangan salahkan dirimu." Ucap Oktano santai, meski sebenarnya ia masih syok atas pengakuan si gadis di hadapannya.
Sayangnya itu justru membuat emosi Lulla makin naik ke ubun-ubun.
"Kenapa kau selalu saja bilang tidak apa-apa? Kalau saja aku sampai membunuhmu, apa kau juga akan bilang tidak apa-apa? Mungkin keluargamu akan balik membunuhku!"
Oktano yang kebingungan langsung mendekap Lulla ke dalam pelukannya. Ia sebenarnya malu melakukan ini pada Lulla, terlebih karena gadis itu adalah orang yang ia sukai.
Tapi daripada teriakan Lulla didengar semua orang yang lewat, justru bisa menimbulkan kesalahpahaman yang lebih besar nantinya.
"Kau harusnya tanyakan kenapa aku berbuat begini! Kau harusnya menyalahkanku!" Lulla meremat kerah kemeja Oktano, mengguncangnya dengan kuat.
"Ban mobilmu juga aku yang melakukannya, sketsa wajah Hana di buku sketsamu juga aku yang merobeknya!"
"Salahkan aku sekarang, cepat!"
Tapi semua yang Lulla inginkan tidak terjadi, karena Oktano justru semakin mengeratkan pelukannya. Tidak ada pukulan atau makian yang ia terima sama sekali.
"Aku sudah memaafkanmu. Tolong jangan begini lagi, Lulla. Kau tidak hanya menyakiti orang lain, tapi juga dirimu sendiri. Tolong hentikan."